Musala yang terletak di tengah perkampungan padat penduduk, persis berseberangan dengan rel kereta api di kawasan Jalan Bukit Duri Tanjakan RT 02 RW 08 Tebet, Jakarta Selatan, itu tampak sepi, sesepi jalan menuju ke tempat itu. Beberapa pasang mata terlihat curiga ketika ada orang asing yang melalui jalan tersebut. Terlebih jika kedapatan berkunjung ke sebuah rumah berpagar hitam dengan warna dasar dinding coklat muda itu.

Musala itu dikenal warga dengan nama musala An-Nur, bangunan yang kerap digunakan sebagai tempat kegiatan ibadah jamaah Ahmadiyah. Di dinding musala yang sebenarnya merupakan sebuah bangunan rumah tersebut terpasang papan segel bertuliskan "Bangunan ini disegel".

Rumah tersebut memang telah disegel Suku Dinas Penataan Kota Jakarta Selatan sejak Rabu 8 Juli 2015 lalu. Saat gresnews.com mencoba menyambangi tempat tersebut, Muhammad Dian (38), lelaki berperawakan tenang yang merupakan seorang pengurus dan mubalig di musala tersebut, menerima dengan terbuka kedatangan gresnews.com.

Ditemani anak perempuannya, Khadijah, lelaki asal Cirebon Jawa Barat itu berbagi cerita mengenai kekisruhan jemaah Ahmadiyah yang di pimpinnya. Muhamad Dian mengatakan bahwa musala An-Nur Sudah ada sejak tahun 1980-an dengan total jamaah berjumlah sekitar 250 orang.

"Sebenarnya hubungan kami dengan warga sekitar baik-baik saja, meskipun memang jelas ada yang tidak suka dengan keberadaan kami di sini," katanya.

Bentuk ketidaksukaan warga antara lain ditunjukkan dengan cibiran atau kata-kata yang tidak pantas. "Sering saat berpapasan dengan warga dibilang setan atau kata-kata lain yang menyakitkan," tambahnya.

Bahkan ada orang tua dari salah satu jamaahnya yang dihadang saat akan menuju musala untuk beribadah. Menurut Dian, sebenarnya segala sesuatu yang terjadi sekarang ini adalah karena adanya sikap kekanak-kanakan yang dibiarkan.

"Sifat kekanak-kanakan ya itu tidak bisa menerima perbedaan, menyelesaikan masalah dengan otot bukan dengan berkomunikasi yang baik," jelasnya.

Dian menyesalkan penyegelan terhadap musala tempat dia dan jamaahnya beribadah. Hal tersebut berimbas langsung pada jamaahnya. "Jumlah jamaah turun drastis semenjak disegel, bagaimana mau datang dan beribadah kalau sudah dihadang begitu?" keluhnya.

Dengan adanya segel tersebut, kata dia, justru memperburuk situasi dan membuat situasi tidak kondusif. "Justru setelah penyegelan massa jadi lebih banyak datang terutama pada hari Jumat saat kami akan beribadah salat Jumat," ungkap Dian.

Saat ditanya mengenai makna dari toleransi, sang mubalig sempat diam dengan mata menerawang sejenak. Menurutnya toleransi adalah adanya kelonggaran atau ruang bagi orang lain untuk melakukan sesuatu dalam hal ini beragama. "Pada dasarnya agama itu adalah agar bisa berbagi," kata Dian menutup pembicaraan.

(Edy Susanto/Gresnews.com)

BACA JUGA: