JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana akuisisi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) oleh PT Medco Energy International Tbk (MEDC) mendadak jadi sorotan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (bidang perbankan). Yang menjadi pangkal soalnya adalah terungkapnya data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait adanya pinjaman sebesar US$400 juta (Rp5,2 triliun) dari Bank Mandiri kepada Medco. Dana yang dipinjamkan Mandiri ke Medco ini diduga berasal dari pinjaman yang dikucurkan China Development Bank (CDB).

Seperti diketahui, CDB mengucurkan pinjaman sebesar US$3 miliar atau setara Rp40 triliun kepada tiga bank BUMN yaitu Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI) Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dari jumlah itu, Bank Mandiri menerima sebesar US$1 miliar atau setara Rp13,5 triliun. Nah diduga sebagian dana inilah yang dipinjamkan ke Medco.

Masalahnya, seperti dikatakan pemerintah, pinjaman itu sendiri digunakan untuk pembiayaan infrastruktur, sementara dikhawatirkan pinjaman Mandiri ke Medco justru dipakai untuk pembiayaan non-infrastruktur alias untuk mendanai akuisisi 76% saham Newmont.

Atas dasar itulah, anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Muharam meminta OJK untuk memantau bahkan mengaudit penggunaan pinjaman tersebut. Termasuk juga di dua bank lainnya yaitu BNI dan BRI. Ecky mengatakan, pinjaman tersebut diduga digunakan tidak sesuai dengan tujuan awal yakni, pendanaan infrastruktur. "Cenderung lebih banyak diberikan kepada perusahaan-perusahaan manufaktur," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, Jumat (15/4).

Terkait pinjaman dari Mandiri ke Medco yang diduga untuk mendanai pembelian saham Newmont, Ecky menilai, juga merupakan sebuah kesalahan. Dia mengatakan, dalam dunia perbankan pinjaman kredit dilarang digunakan untuk membeli saham.

"Saya belum tahu perjanjian kreditnya satu per satu, namun kalau pinjaman kepada China patut dipertanyakan, apa tujuan dan rencana strategis, rencana kerjanya perbankan yang disetujui OJK, jangan sampai itu dadakan, apalagi pinjaman tersebut tidak sesuai dengan rencana semula, maka OJK harus mengaudit  terkait realisasi pinjaman tersebut, apakah sesuai perencanaan dari perbankan," kata Ecky.

Terkait audit itu, Ecky juga meminta OJK memperhatikan secara khusus pinjaman yang dikucurkan Bank Mandiri kepada Medco. "Saya mendesak OJK lakukan audit sesuai rencana atau kalau melanggar ketentuan peraturan perbankan harus dijadikan temuan oleh OJK," tegasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean menilai, pemerintah harus bertanggung jawab atas peminjaman dana dari bank BUMN yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, khususnya kucuran dana dari Bank Mandiri ke Medco. "Seharusnya dana dari bank nasional yang notabene bersumber dari pinjaman juga, kenapa tidak dialihkan ke perusahaan BUMN kita seperti Antam (Aneka Tambang-red). Kenapa harus ke Medco? Ini kan aneh dan patut dicurigai," kata Ferdinand kepada gresnews.com, Sabtu (16/4).

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies Marwan Batubara juga mencium kejanggalan yang sama seperti Ferdinand. Dia menegaskan, rencana aksi korporasi Medco yang menggunakan dana dari Bank Mandiri itu menyalahi amanat Konstitusi.

"Tolak akuisisi saham Newmont oleh Medco Energy melalui dana kredit Bank Mandiri dari pinjaman China. Pemerintah jangan boleh merestui. Yang harus beli holding BUMN tambang. Itu amanat konstitusi," kata Marwan kepada gresnews.com, Jumat (8/4), per sambungan seluler.

Marwan mengatakan negara akan sangat dirugikan jika bukan perusahaan holding BUMN yang mengakuisisi saham NNT. "Percuma buat holding BUMN tambang kalau di dalam negeri cuma jadi penonton," katanya.

Mencium gelagat amis rencana aksi korporasi itu, Ketua Komisi VI DPR (bidang BUMN) Ahmad Hafisz Tohir mengatakan pihaknya akan memanggil direksi ketiga bank BUMN yakni Bank Mandiri, BNI dan BRI.

"Masih diperpanjang rapatnya. Minggu depan rencananya tiga pimpinan bank BUMN akan kita panggil kembali ke Komisi VI DPR RI," kata politisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) itu kepada gresnews.com, Jumat (8/4).

PENGUASAAN BUMN OLEH ASING - Sementara itu sebelumnya, Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) juga mempertanyakan, langkah atau kebijakan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dipimpin Rini Soemarno yang menyalurkan dana kredit hasil pinjaman tiga bank BUMN, dari China Development Bank (CDB) ke pihak Indosat Tbk.

Anggota Komisi VI DPR dari fraksi PDI Perjuangan Darmadi Durianto mengatakan, penyaluran dana tersebut dinilai kurang tepat sasaran. Pasalnya saham Indosat mayoritasnya adalah milik asing, yaitu Ooredo Asia Pte.Ltd, perusahaan asal Qatar.

Darmadi menjelaskan, sebelumnya  Menteri BUMN Rini Soemarno menyampaikan bahwa peminjaman dana dari China digunakan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. "Sekarang kenapa harus disalurkan ke Indosat untuk membiayai asing? Pemerintah Indonesia hanya punya 14 persen, jadi penyaluran kredit yang salah sasaran ," kata Darmadi.

Kementerian BUMN, lanjut Darmadi, semestinya melakukan kajian dari berbagai aspek terlebih dulu sebelum memberikan dana kepada Ooredo. Utamanya kajian terhadap aspek finansial. "Perusahaan yang enggak jelas kinerjanya, Ooredo perusahaan Qatar, sahamnya dimiliki Ooredo milik Qatar," jelasnya.

Pengamat Politik Pusat Kajian Ekonomi dan Politik dari Universitas Bung Karno (UBK) Salamuddin Daeng mengatakan, pinjaman China yang dialihkan pihak BUMN ke perusahaan seperti Indosat dan Medco yang diduga bukan untuk pembangunan infrastruktur adalah kurang tepat.

Salamuddin menduga, sejak awal pinjaman dari CDB itu memang bukan untuk infrastruktur karena China memang tidak tertarik berinvestasi ke pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Karena itu terjadilah pengucuran dana pinjaman itu ke Indosat dan Medco.

"Kalau saya melihat pinjaman dana tersebut sengaja dialihkan agar BUMN bisa mengambil alih saham yang ada di perusahaan swasta tersebut, apabila mengalami bangkrut," kata Salamuddin, kepada gresnews.com.

Salamuddin menegaskan, jika dugaannya benar, maka pemberian pinjaman semodel ini akan membahayakan BUMN Indonesia. Pasalnya jika terjadi gagal bayar, tiga bank BUMN itu bisa dikuasai sepenuhnya oleh China Development Bank (CDB).

"Jadi dengan pinjaman dari China untuk pengembangan dan pembangunan di BUMN akan berdampak pada negara kita dengan memberikan peluang bagi China untuk menguasai perusahaan BUMN kita," jelasnya.

Menurutnya, seharusnya pemerintah Indonesia tidak tergiur dengan pinjaman dana dari China Development Bank (CBD) dari negara China tersebut.

Seperti diketahui, aliran pinjaman dari CDB ke tiga bank BUMN itu, belakangan diketahui memang tidak dikucurkan untuk pembiayaan infrastruktur seperti yang dijanjikan. Selain kejanggalan Medco dan Indosat, muncul juga sejumlah nama perusahaan yang akan menerima kredit dari bank BUMN dari pinjaman CDB.

PT Indah Kiat, misalnya, dikabarkan mendapatkan pinjaman dari BRI sebanyak US$175 juta (Rp2,2 triliun), dari Bank Mandiri sebanyak US$50 juta (Rp655 miliar), dan dari BNI sebanyak Rp1,067 triliun. PT Indah Kiat adalah salah satu anak perusahaan Sinar Mas Group.

Selanjutnya, perusahaan yang kerap dikaitkan dengan keluarga Jusuf Kalla, PT Bosowa Energy, mendapatkan kredit dari BRI sebanyak US$143 juta (Rp1,8 triliun) dan PT Semen Bosowa sekitar US$55,7 juta (Rp730 miliar).

Grup Medco yang dikendalikan oleh Arifin Panigoro sendiri diduga akan mendapatkan pinjaman dari Bank Mandiri sebesar US$50 juta (Rp655 miliar) untuk PT Medco E&P Tomori Sulawesi dan US$345 juta (Rp4,5 triliun) untuk PT Medco Energy International, Tbk (MEDC).

BACA JUGA: