Dampak di Balik Temuan Investasi Fiktif BKPM Rp15,22 Triliun
JAKARTA – Publik terhenyak. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengungkap adanya investasi fiktif senilai Rp15,22 triliun.
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2020 BPK menyebut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) diduga memanipulasi data investasi itu pada tahun 2020.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho mengatakan ada dua implikasi terkait laporan BPK tersebut.
"Pertama, tentu ini mempengaruhi daya tarik bagi investasi asing atau investor untuk bisa menanamkan modal di sini, terutama investasi yang sifatnya mengedepankan good government," kata Andry kepada Gresnews.com, Selasa (6/7/2021).
Menurut Andry, sekarang ini investasi sudah mengarah kepada Environment Social Government (ESG) yang cukup baik.
"Jadi saya rasa dengan kejadian ini harusnya memang Kementerian investasi dan BKPM perlu melihat kembali apakah ada sistem atau perencanaan yang kiranya justru meloloskan bentuk investasi atau penanaman modal seperti ini," jelasnya.
Andry juga mendukung rekomendasi BPK dan, kata dia, perlu adanya evaluasi yang secara transparan bisa diberikan kepada publik terkait dengan investasi fiktif tersebut.
"Apakah memang proses manipulasi data investasi itu terjadi. Ini menjadi salah satu pekerjaan rumah untuk Kementerian Investasi," terangnya.
Kemudian yang kedua, menurut Andry, dengan temuan BPK ini Kementerian Investasi harus berhati-hati karena mengingat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang sudah diluncurkan oleh pemerintah terkait dengan relaksasi perpajakan itu juga memberikan pengaruh terhadap kondisi perbaikan ekonomi dan industri.
"Jangan sampai pada akhirnya capaian ekonomi yang kita targetkan tidak tercapai. Di sisi lain bisa jadi program PEN yang disalurkan dalam bentuk relaksasi perpajakan itu juga tidak cukup efektif karena ternyata ditemukan model seperti ini," ujarnya.
Andry menilai, bahwa hal ini menjadi salah satu hal yang perlu menjadi perhatian khusus oleh Kementerian Investasi. Pemerintah memerlukan evaluasi dan pengawasan agar kasus seperti ini tak terulang.
"Karena kalau hal ini tidak menjadi perhatian dan tidak menjadi salah satu hal yang dianggap urgent ketakutannya adalah investor tidak percaya lagi terkait dengan birokrasi yang ada di Indonesia. Jadi saya harap hal itu tidak terjadi di masa yang akan datang," pungkasnya.
Tiga Temuan Penting
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap dugaan penyimpangan realisasi investasi di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) selama 2019. Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Achmad Hafisz Tohir sebelumnya mengungkap, dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2020 yang dilaporkan BPK, terdapat tiga temuan penting mengenai data investasi yang diduga dimanipulatif.
Pada temuan pertama, terindikasi dugaan manipulasi data realisasi penanaman modal 2019 senilai Rp15,22 triliun. Hal ini mengakibatkan laporan capaian realisasi penanaman modal BKPM 2019 tidak akurat dan berpotensi menyesatkan pihak yang berkepentingan dalam mengambil keputusan strategis.
Kemudian, berikutnya ada 1.086 pelaku usaha yang memiliki 1.251 izin usaha efektif dengan bidang usaha terlarang untuk kegiatan penanaman modal. Dampaknya berpotensi memunculkan adanya potensi masalah hukum dalam pelaksanaan penanaman modal pada bidang usaha yang dilarang pemerintah.
Selanjutnya, temuan ketiga, terdapat 4.103 penanaman modal asing (PMA) yang tidak memenuhi persyaratan nilai penanaman modal minimal. Akibatnya kegiatan penanaman modal ini memiliki potensi bermasalah dan tak memenuhi syarat untuk diakui, dilaporkan dan dicatat sebagai realisasi PMA.
Data BKPM pada awal 2020 lalu mengklaim realisasi investasi mencapai Rp809,6 triliun. Angka ini telah melampaui target yang ditetapkan oleh pemerintah yakni Rp792 triliun. Realisasi itu terdiri dari penanaman modal dalam negeri Rp386,5 triliun dan penanaman modal asing sebesar Rp423,1 triliun.
Berpotensi Muncul Persoalan Serius
Sementara itu, pengamat hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) seharusnya bekerja profesional bukan seolah-olah bekerja.
Ia juga mempertanyakan fungsi pengawasan di BKPM hingga munculnya kasus ini. "Kan setiap organisasi pemerintahan itu selalu ada tiga unsur. Ada pengurusnya, ada pelaksana dan pengawas. Selalu ada tiga, ada Direktorat, Dirjen, ada kesekjenan atau sekretariat kelembagaan," kata Fickar kepada Gresnews.com, Senin (5/7/2021).
Menurut Fickar, secara internal sebenarnya dalam BPKP bisa saling mengontrol. Ketika ada keluar seharusnya data yang keluar itu data yang sudah didukung oleh bukti-bukti, data-data yang riil.
BKPM dalam menyajikan data janganlah seolah-olah banyak pihak yang berinvestasi padahal tidak. Perlu ada mekanisme terukur pemberian izin oleh BKPM. Artinya tidak semua pemohon izin itu diberikan kalau kemampuan realisasinya juga tak ada.
"Buat apa dikasih izin tapi tidak dikerjakan. Bhkan bisa lahir kejahatan baru, jual izin, udah dapat izin kemudian mereka lelang lagi. Siapa yang menjalankan izin ini, artinya perizinan itu hanya menjadi komoditi. Saya kira yang terjadi begitu," sambung dia.
Fickar menduga ada banyak perizinan permodalannya dikeluarkan tetapi sebenarnya usahanya tidak ada. Bahkan dia mensinyalir ada banyak mafia perizinan usaha.
"Buat apa sudah keluar izin tapi nggak ada realisasinya. Artinya memang itu mau dijadikan komoditi izin. Bisa jadi dijual pada orang. Orang yang mau ini, investor baru dijualnya kepada investor baru itu," tuturnya.
Menurut dia, kepala BKPM itu harus dipanggil dan dimintakan pertanggungjawabannya. Karena BKPM itu adalah pintu masuk dari perizinan usaha dan investasi di Indonesia.
"Kalau cuma bohong-bohongan ya buat apa juga kan, bahkan menjadi kacau," ujarnya.
Kemudian, Fickar membeberkan terkait izin usaha yang terlarang pada temuan kedua. Ketika investasi dibuka tidak semua usaha yang diperbolehkan. Ada usaha-usaha yang memang didorong supaya maju dan berkembang ada juga usaha-usaha yang negatif atau dilarang.
"Nah yang dilarang ini, saya lebih pada usaha-usaha yang dekat dengan manipulasi. Saya kira kalau ini kemudian juga dijadikan ukuran keberhasilan BKPM, ini sangat menyedihkan. Artinya BKPM nggak kerja, dia cuma menampung orang mendaftar aja. Buat apa kalau jadi menteri BKPM itu. Mestinya kan ada seleksi, betul nggak investor ini masuk ke bidang-bidang usaha yang memang diperbolehkan," bebernya.
Kalau memang tidak diperbolehkan, kata dia, seharusnya jangan menjadi list negatif daftarnya. Ini yang harus diumumkan secara luas. Supaya orang tahu semua dan orang bisa sama-sama mengontrol, masyarakat bisa sama-sama mengontrol. Misalnya, usaha ini sebenarnya dilarang oleh negara termasuk bidang usaha-usaha yang negatif. Sehingga tidak boleh dimasuki oleh investor asing.
Dari sosialisasi seperti itu merangsang orang untuk mengontrol perkembangan dunia usaha. Usaha itu bukan hanya melulu orang masukan uang, karena uang pun sekarang bisa direkayasa. Orang tidak punya modal terus masuk Indonesia, dia pinjam ke bank, karena orang asing, akhirnya diberikan kredit dengan mudah.
"Jadi menurut saya ini juga kesalahan pemerintah, kekeliruan BKPM yang tidak membuka informasi secara luas kepada masyarakat agar masyarakat juga ikut mengawasi perkembangan investasi di Indonesia. Memang pasti ada, mereka bilang ada segi negatifnya kalau memang orang tahu. Tapi juga ada positifnya artinya mereka juga bisa mengontrol bidang-bidang usaha yang memang boleh," ungkap Fickar.
Menurut Fickar, bila ada indikasi pelanggaran hukum maka biasanya diselesaikan secara administrasi karena investasi perizinan itu hukum administrasi. Hukum administrasi pada dasarnya semua tidak boleh dilakukan kecuali yang diizinkan dan yang diizinkan biasanya diatur oleh peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang tidak diizinkan itu biasanya dilarang. Seperti orang yang berinvestasi uang untuk mengembangkan usaha minuman keras. Kemudian tidak mengikuti administrasi perizinan maka sanksinya bukan mendenda tapi mencabut izinnya dan mengembalikan usahanya pada bidang yang diperbolehkan.
"Sulitnya kan di situ, dunia usaha itu seperti memelihara macan, harus pelan-pelan supaya terarah. Kalau nggak memakan dirinya sendiri. Modal itu begitu. Dari situ sebenarnya lahir korupsi, kolusi, nepotisme. Kalau nggak hati-hati, aturannya nggak ada," kata dia.
Intinya, kata Fickar, yang dilarang dibidang usaha secara administratif itu memang tidak boleh. Tapi bukan ranah tindak pidana bila terjadi pelanggaran dan sanksi hukumannya itu didenda dan mencabut izinnya.
"Jadi bukan pidana dalam pengertian ini kejahatan kemudian dia dibawa ke pengadilan dan dihukum sekian tahun. Nggak begitu," tuturnya.
Tapi bagaimana pun juga hal itu berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi dan penegakan hukum. "Apapun, termasuk ekonominya harus ada etikanya, aturan mainnya kalau nggak ini jadi hutan rimba Indonesia. Dikuasai oleh orang-orang yang mengedepankan dan menghalalkan segala cara dan akhirnya meruntuhkan nilai-nilai yang ada juga," pungkasnya.
Sementara itu, Gresnews.com telah mencoba mengkonfirmasi pihak BKPM baik Kepala BKPM Bahlil Lahadalia maupun juru bicara BKPM Tina Talisa. Namun tidak ada tanggapan atau jawaban ketika dihubungi lewat telepon maupun Whatsapp. (G-2)
- Biayai Sembilan Group Berujung Kredit Macet, Kejaksaan Mulai Penyidikan Kasus Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
- Polri Diminta Usut Tuntas Kasus Investasi Bodong OSO Sekuritas