JAKARTA - Masih ingat dengan kasus korupsi ekspor benih bening lobster yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo?

Kali ini persidangan sudah memasuki agenda penuntutan. Jaksa menuntut anak angkat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu dengan hukuman 5 tahun penjara serta denda Rp400 juta.

Tuntutan itu hanya satu tahun lebih berat dari vonis Habieb Rizieq Shihab yang dinyatakan bersalah menyebarkan berita bohong terkait hasil tes swab dalam kasus RS Ummi hingga menimbulkan keonaran.

Namun Edhy menolak tudingan jaksa.

"Saya merasa tidak salah dan tidak punya wewenang terhadap itu, sudah delegasikan. Semua bukti persidangan sudah terungkap tidak ada," kata Edhy usai menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (29/6).

Namun, Edhy menyatakan tetap bertanggung jawab atas kasus dugaan suap ekspor benih lobster dan menanggapi tuntutan Jaksa KPK dalam nota pembelaan.

"Tapi saya tidak bisa kontrol semua kesalahan yang dilakukan oleh staf-staf saya. Sekali lagi kesalahan mereka adalah kesalahan saya, karena saya lalai. Keputusan ini, tuntutan ini akan saya jalani terus sampai besok tanggal 9 kami mengajukan pembelaan setelah itu ada proses putusan," ungkap Edhy.

Ia menyatakan, dalam tuntutan seharusnya tidak ada pertimbangan yang memberatkan. Politikus Gerindra ini menegaskan kasus dugaan suap ekspor benih lobster dilakukan oleh para anak buahnya.

"Saya tidak merasa (pertimbangan yang memberatkan), karena saya tidak tahu apa yang dilakukan anak buah saya. Saya juga tahu di persidangan ini bagaimana mereka mengatur permainan menyarankan orang, kalau saya mau korupsi banyak hal yang bisa saya lakukan," tegas Edhy.

Edhy dinilai telah terbukti menerima suap Rp25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster atau benur.

Jaksa meyakini suap diberikan guna mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) dan para eksportir benur lainnya.

"Menyatakan terdakwa Edhy Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP," kata jaksa Ronald F Worotikan saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (29/6).

Edhy juga dituntut pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak Edhy selesai menjalani masa pidana pokok. Adapun, dalam menjatuhkan hukumannya, jaksa mempertimbangkan sejumlah hal.

Untuk hal yang memberatkan, Edhy Prabowo dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan KKN. "Terdakwa selaku penyelenggara negara yaitu menteri tidak memberikan teladan yang baik," ungkap jaksa.

Sementara itu untuk hal meringankan, Edhy dinilai bersikap sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum, dan sebagian aset sudah disita.

Permen Penjerat Edhy

Dalam kasus ini, sesungguhnya Edhy terjerat dengan peraturan yang ia keluarkan sendiri. Yakni aturan pelarangan ekspor benih bening lobster (BBL). Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.

Keputusan pelarangan ini sempat menjadi polemik hingga muncul kasus suap yang menjerat Edhy Prabowo yang pernah menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Edhy pada Rabu (25/11/2020) dini hari. Dia ditangkap KPK di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, sepulangnya dari kunjungan ke Amerika Serikat.

Penangkapan Edhy sendiri, diduga berkaitan dengan korupsi ekspor benih lobster atau benur. Pada Juli lalu, kebijakan Edhy Prabowo untuk melegalkan ekspor benih lobster memang sempat menuai beragam pro dan kontra termasuk ditentang menteri sebelumnya.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti lah yang menutup rapat keran ekspor benih lobster. Sebab, dia menganggap hal tersebut justru bisa merugikan negara, masyarakat, dan juga nelayan.

Membela Nelayan?

Pendapat itu berbeda dengan Edhy yang mengaku telah melakukan kajian mendalam tentang masalah ekspor benih lobster. Alasan KKP mengizinkan ekspor benih lobster pada era Edhy justru untuk membantu belasan ribu nelayan kecil yang kehilangan mata pencarian akibat terbitnya Permen KP 56/2016. Permen tersebut melarang pengambilan benih lobster baik untuk dijual maupun dibudidaya.

Edhy juga membantah anggapan Permen KP No.12 tahun 2020 yang mengatur soal ekspor benih lobster condong ke kepentingan korporasi. "Ekspor ini tidak hanya melibatkan korporasi tapi juga nelayan karena penangkap benihnya nelayan," kata Edhy di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (24/6/2020).

Ia menjelaskan ada 13 ribu nelayan yang menggantungkan hidup dari mencari benih lobster. Diakuinya hal ini memang menjadi perdebatan karena akibat ekspor dilarang nelayan tidak bisa makan.

Benarkah nelayan lebih sejatera? Sayangnya ada jalan panjang rantai distribusi udang laut ini panjang sehingga nelayan masih jauh dari predikat sejahtera.

"Nelayan dapat Rp5.000 per ekor, pengepul Rp50 ribu per ekor. Kalau eksportir jual sampai ratusan ribu per ekornya dan untungnya sampai miliaran," kata Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Rianta Pratiwi, dalam SAPA MEDIA bertema Memahami Potensi Lobster dari Perspektif Kelautan dan Sosial secara virtual, Jakarta, Senin (30/11/2020).

Belum lagi lobster tidak bisa ditangkap sepanjang tahun. Hanya pada waktu tertentu saja nelayan menangkap lobster di laut. Maka untuk memenuhi kebutuhannya, nelayan penangkap lobster juga melakukan pekerjaan lain. Semisal bertani, berkebun atau bahkan menangkap ikan jenis lain. (G-2)

 

BACA JUGA: