JAKARTA - Nasib PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) berada di tubir jurang. Upaya penyelamatan yang dilakukan pemerintah dan jajaran direksi belum juga membuahkan hasil. Utang Garuda Indonesia menyentuh Rp70 triliun. Bahkan, setiap bulan, potensi utang terus bertambah lebih dari Rp1 triliun.

Kabar tak sedap juga terdengar pekan lalu. Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan sementara perdagangan saham (suspensi) GIAA di seluruh pasar, terhitung sejak sesi satu perdagangan efek 18 Juni 2021. Suspensi dilakukan akibat penundaan pembayaran surat utang.

Emiten maskapai penerbangan itu telah menunda pembayaran jumlah pembagian berkala sukuk yang jatuh tempo pada 3 Juni 2021 dan telah diperpanjang pembayarannya dengan menggunakan hak grace period selama 14 hari, sehingga jatuh tempo pada 17 Juni 2021.

Upaya masih terus dilakukan, salah satunya melakukan efisiensi yakni berupa program pensiun dini. Tercatat ada 1.099 pegawai ikut program tersebut.

Hal itu diungkapkan Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (21/6/2021).

Namun Irfan mengatakan, jumlah pilot dari total pegawai Garuda Indonesia yang mengajukan pensiun dini masih terbilang sedikit dan belum sesuai harapan.

"Jumlah karyawan ini harus sesuai dengan alat produksi, nah alat produksi ini bergerak. Masih kita hitung," tuturnya.

Meski masih menghitung jumlah pegawai yang pas dalam kondisi darurat saat ini, Irfan menegaskan jumlah pegawai yang ikut program pensiun dini itu masih kurang. Namun dia mengaku tidak bisa menjawab berapa jumlah pengurangan karyawan yang dibutuhkan Garuda Indonesia saat ini.

Anggota Komisi VI DPR RI Mukhtarudin dalam rapat dengar pendapat antara Komisi VI DPR dan jajaran direksi Garuda Indonesia juga meminta untuk mengoptimalkan kinerja keuangan.

"Manajemen jangan ragu, kalau rute penerbangan merugikan sebaiknya ditutup saja," kata Mukhtarudin.

Mukhtarudin melihat Garuda Indonesia sedang sakit. Namun dalam kondisi sakit ia tetap bekerja dan berjalan jauh. Sehingga orang yang sakit perlu istirahat dan mengurangi aktivitasnya.

"Saya kira itu penting dilakukan, kalau tidak, tentu kurang baik bagi Garuda di masa depan," pungkasnya.

Pangkal Masalah

Pengamat BUMN Defiyan Cori mengatakan ada dua persoalan utama sehingga terjadi krisis keuangan PT Garuda. "Pertama, soal pengelolaan Garuda. Jadi supervisor pengelolaan Garuda itu berkaitan dengan manajemen internal. Yang kedua, itu berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan terhadap maskapai Garuda ini," kata Defiyan kepada Gresnews.com, Sabtu (19/6/2021).

Untuk bisa mengurai persoalan tersebut harus menilik ke belakang terlebih dahulu. Pertama, kesalahan perusahaan Garuda Indonesia adalah ketika di-stock split sahamnya dari kepemilikan utuh negara melalui Initial Public Offering (IPO) pada saat menteri BUMN dijabat oleh Dahlan Iskan.

"Ini langkah bahwa tidak pas Garuda Indonesia di-IPO kan ke publik karena saham 100 persen itu adalah saham publik. Kenapa harus dijual lagi, di-stock split (dipecah sahamnya) dijual ke perusahaan efek Indonesia. Ini logikanya sudah sesat pikir," jelas Defiyan.

Menurutnya, hal itu karena 100 persen saham negara seperti BUMN, seperti Pertamina, dan PLN pun milik publik, milik negara. Negara dalam artian dijalankan oleh pemerintah, ada rakyat dan ada wilayahnya.

Kemudian berkaitan dengan kepemilikan 100 persen saham BUMN itu milik rakyat, milik pemerintah dan milik daerah-daerah. Ini kesalahan pertama yang ia catat dan ketika itu yang menolak IPO Garuda dipecah sahamnya dan diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia saat itu adalah Fraksi Hanura. Satu-satunya fraksi yang menolak ketika IPO Garuda pada era Menteri BUMN Dahlan Iskan.

"Itu yang pertama harus kita review, harus kita flashback, harus kaji ulang, kesalahannya sudah pada saat IPO dan anda bisa lihat adakah BUMN-BUMN yang berkinerja baik setelah itu, tidak ada satu pun," terangnya.

Defiyan membeberkan, apa fungsi dan manfaat memecah saham negara kalau tidak ada perbaikan kinerja. Begitu pula di BUMN perbankan tidak ada yang berkinerja baik. Malah sahamnya dipermainkan di bursa dan akhirnya negara yang dirugikan, karena pengelolaan BUMN tidak profesional.

"Hanya kemudian menjadi bagian untuk mencari capital gain untuk kepentingan orang-orang tertentu. Itu yang pemilik sahamnya sudah sebagian besar sebagian saham negara terus dimiliki oleh beberapa korporasi swasta, pribadi maupun asing," bebernya.

Selanjutnya, Defiyan menegaskan bahwa faktor utama yang mempengaruhi terjadinya krisis keuangan atau kerugian Garuda soal manajemen ada pada kebijakan komisaris dan direksi Garuda yang tidak tepat saat membeli atau menyewa menyewa pesawat pada perusahaan-perusahaan yang tidak cocok untuk diterbangkan di wilayah NKRI, berbadan besar. Apalagi bandara-bandara di Indonesia tidak dilengkapi kemampuan untuk menerima pesawat-pesawat itu.

"Bandara kita di dalam negeri ukurannya, landasan pacunya tidak cocok tidak sesuai dengan pesawat-pesawat. Sehingga rugi Garuda di sana, tidak hanya rugi bahan bakarnya yang besar, tiketnya mahal ditambah lagi penerbangan keluar negerinya juga sudah berbiaya mahal dan sudah tidak ditempat dijalur-jalur yang padat, berisi. Itu yang pertama dan ini harus ditindaklanjuti oleh pemeriksaan atau penyelidikan secara hukum menurut saya," jelasnya.

Belakangan terungkap adanya intervensi yang menguntungkan perusahaan tertentu, mengangkat perusahaan intermediary milik Sutikno Sudaryo di luar pengetahuan tim pengadaan pesawat dalam proyek pengadaan di Garuda Indonesia 2004-2014, yakni pengadaan dan pemeliharaan mesin Rolls-Royce, 21 unit pesawat Airbus A 330 Series, 25 unit Pesawat Airbus A 320 Series, pesawat Airbus 25, 18 unit CRJ dan 16 unit ATR.

Perusahaan perantara yang dikendalikan Sutikno antara lain Connaught International Pte Ltd ) (Kenot), PT Ardhyaparamita Ayuprakarsa, dan Summerville Pasific Inc (perusahaan terafiliasi dengan Kenot). Perkara ini juga melibatkan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar.

Belum lagi pada 2018 juga terungkap kasus pemolesan pada laporan keuangan Garuda Indonesia hingga mendapatkan sanksi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Serta sejumlah skandal lainnya seperti perseteruan Garuda Indonesia dengan Content Creator Rius Vernandes dan turunnya peringkat Garuda Indonesia pada ajang World Airline Awards.

Lalu, kasus penyeludupan sepeda motor Harley Davidson dan Sepeda Brompton yang terjadi November 2019. Selain itu, masih ada kisruh pada akuisisi PT Garuda Indonesia melalui anak usaha Citilink terhadap Sriwijaya Air yang menyebabkan kedua maskapai tersebut menghentikan kerjasamanya. Muncul pula kasus terkuaknya kesewenang-wenangan Dirut Ari Askhara pada jam terbang pramugari serta pemotongan biaya dalam layanan penumpang cukup menjadi alasan kuat dalam pencopotan jabatan Ari Askhara sebagai Dirut Garuda Indonesia.

Intervensi Politik

Defiyan berpendapat atas hal itu, apa yang harus diupayakan dalam konteks manajement, menurutnya, jangan diulangi lagi memilih direksi dan komisaris yang tidak kompeten, tidak punya kapasitas dan kapabilitas dalam mengelola BUMN.

Defiyan menilai pembagian-pembagian kursi komisaris maupun direksi itu berdasarkan dukung-mendukung pada saat pemilihan presiden saja. Baginya hal ini fatal dalam pengelolaan BUMN yang harus dikerjakan secara independen, professional, transparan dan akuntabel.

"Itu yang menjadi permasalahan besar kita bahwa intervensi politik sangat dominan, sementara intervensi profesionalnya mulai berkurang di dalam melakukan kebijakan-kebijakan strategis terutama untuk menempatkan para jajaran direksi dan komisaris. Ini membuat Garuda Indonesia menjadi semakin buruk performance-nya atau kinerjanya," tegasnya.

Persoalan yang kedua, keadaan Garuda tambah diperparah oleh kebijakan pandemi Covid-19. Salah satu yang menurutnya membuat Garuda semakin parah kinerjanya dan buruk adalah pengenaan tes rapid kepada para calon penumpang sebelum naik.

"Itu saja sudah salah menerapkan penggunaan tes," ujarnya.

Kemudian sebagian besar lagi ternyata banyak kasus tes antigen palsu beredar, yang menjadi bagian terpenting terdongkraknya maskapai swasta, karena ada kongkalikong dengan surat antigennya.

Sementara Garuda diperketat dengan surat antigennya, maskapai lain sebagai pesaing jalur domestik dibiarkan calon penumpangnya membawa surat antigen palsu untuk masuk ke pesawat untuk bisa terbang dari suatu bandara ke bandara lain, dari satu tujuan ke tujuan yang lain.

Kebijakan ini ada pada domainnya menteri perhubungan yang seharusnya bisa mengintervensi sebagai salah satu pemegang saham teknis. Karena itu bagian yang mengambil kebijakan berkaitan dengan industri penerbangan Indonesia.

Selanjutnya, kata Defiyan, berkaitan dengan posisinya sebagai persero ini berarti sebenarnya ada dua sisi. Ada dua pilihan, pemerintah membiarkan Garuda bangkrut seperti pengalaman PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) Tbk.

Merpati Nusantara Airlines resmi berhenti beroperasi pada 1 Februari 2014 akibat masalah keuangan dan berbagai utang. Tercatat, MNA menanggung utang sebesar Rp10,95 triliun.

Setelah sempat berbenah pada tahun 2019, Merpati tak juga bisa pulih. Bahkan Kementerian BUMN berencana untuk membubarkan perusahaan yang masih memiliki aset mencapai Rp1,32 triliun, berkurang dari aset 2014 sebesar Rp2,46 triliun dan pada 2012 sebesar Rp2,79 triliun. Data tersebut mengacu data kinerja BUMN periode 2015 (setahun setelah tutup).

Kedua, atau Garuda mau mengambil alih suspensi yang dilakukan oleh Bursa efek Indonesia dan mengajak masyarakat untuk kembali membeli saham, menyertakan modal untuk menyelamatkan Garuda.

Semangat masyarakat Indonesia untuk menyelamatkan Garuda masih ada. Karena kepentingan Garuda bukan hanya kepentingan bisnis tapi kepentingan nama besar Indonesia dan bagian dari perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. (G-2)

BACA JUGA: