JAKARTA - PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) menegaskan tak menoleransi adanya dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh jajaran direksinya. Kasus yang dimaksud adalah penyimpangan pengalihan izin usaha pertambangan (IUP) batu bara seluas 400 hektare di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, yang diduga merugikan negara hingga Rp92 miliar.

Penyidikan perkara itu telah berlangsung sejak 2018 dan kini dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Senior Vice President (SVP) Corporate Secretary Yulan Kustiyan menegaskan ANTM menghormati proses hukum yang tengah berjalan tersebut.

"Kami juga akan sangat kooperatif dalam proses hukum yang tengah dilakukan oleh Kejaksaan RI," kata Yulan ketika dikonfirmasi oleh Gresnews.com, Kamis (17/6/2021).

Yulan berkata ANTM sangat mematuhi program pemerintah untuk menjadikan perusahaan yang memiliki good corporate governance. "Sejak awal, kami menjauhi segala bentuk kecurangan," jelasnya.

Menurut Yulan, hal itu diimplementasikan guna menciptakan iklim yang positif, produktif, dan efektif. ANTM tidak menoleransi adanya penyimpangan wewenang dari pengurus yang mengatasnamakan perusahaan.

Penyidik Kejagung telah melakukan pemeriksaan terhadap beberapa orang saksi sejak sepekan terakhir. Kali ini saksi yang diperiksa yaitu W, selaku Direktur Operasional ANTM.

"Saksi diperiksa terkait mekanisme/Standard Operating Procedure (SOP) akuisisi PT Citra Tobindo Sukses Perkasa (CTSP) oleh PT Indonesia Coal Resources (ICR)," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI (Kapuspenkum) Leonard Eben Ezer Simanjuntak yang akrab disapa Leo, Kamis (17/6/2021).

Menurut Leo, sebelumnya ada saksi lain yang juga diperiksa kemarin. Ia adalah AA selaku mantan Komisaris ANTM. Saksi diperiksa terkait mekanisme SOP akuisisi.

Adapun para saksi diperiksa, kata Leo, berkaitan dengan perkara yang sedang diselidiki untuk mengungkap fakta tersebut.

Sebelumnya penyidik Kejagung juga menahan empat dari enam orang saksi yang statusnya dinaikkan menjadi tersangka.

"Setelah selesai pemeriksaan empat dari enam orang yang diperiksa (yang juga berstatus sebagai tersangka dalam perkara ini), dilakukan penahanan Rumah Tahanan Negara untuk waktu 20 terhitung 2 Juni 2021 sampai dengan 21 Juni 2021," kata Leo.

Ia menyebut keempat tersangka yang ditahan salah satunya adalah mantan Direktur Utama ANTM periode 2008 sampai 2013 berinisial AL. Selain itu, ada juga HW selaku Direktur Operasional ANTM, BM selaku mantan Direktur Utama PT ICR tahun 2008 sampai 2014, dan MH selaku Komisaris PT Tamarona Mas Internasional (TMI) sejak 2009 sampai sekarang.

"Terhadap tersangka BM dilakukan penahanan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sedangkan tiga orang lainnya yaitu AL, HW, MH dilakukan penahanan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung," ujarnya.

Dalam perkara ini penyidik Kejagung telah menetapkan enam tersangka. Dua tersangka belum dilakukan penahanan karena tak hadir pemeriksaan. Mereka adalah AT selaku Direktur Operasional PT ICR dan MT selaku Direktur PT CTSP.

Adapun, para tersangka dikenakan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pembarantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Perkara tersebut berawal ketika Direktur Utama PT ICR periode 2008-2014 berinisial BM mengakuisisi PT TMI.

PT TMI ini memiliki izin perusahaan batu bara di Mandiangin, Sarolangun. Adapun tujuan dari akuisisi ini dalam rangka mengejar ekspansi akhir tahun PT ICR pada 2010.

Menurut Kejagung, dalam proses pengalihan IUP ini telah terjadi dugaan persekongkolan dalam proses pengalihan izin usaha yang melibatkan sejumlah perusahaan.

Tersangka BM melakukan pertemuan dengan tersangka MT selaku penjual (kontraktor batu bara) pada tanggal 10 November 2010 dan telah ditentukan harga pembelian yaitu Rp92,5 miliar padahal belum dilakukan due diligence.

Kemudian MoU disepakati di Jakarta pada 19 November 2010 dengan sejumlah perusahaan untuk mengakuisisi PT CTSP. Namun PT ICR, yang merupakan anak usaha ANTM, tidak memiliki dana.

Untuk itulah PT ICR meminta tambahan modal kepada induknya sebesar Rp150 miliar.

Penambahan modal tersebut disetujui melalui keputusan direksi yang dikoordinir oleh tersangka Dirut PT Antam Tbk Alwinsyah Lubis (AL) pada 4 Januari 2011 tanpa melalui kajian menyeluruh. Penambahan modal yang disetujui sebesar Rp121,97 miliar.

Bukti tidak dilakukannya kajian internal oleh PT Antam Tbk secara komprehensif adalah ditemukan yang diduga surat fiktif. Yakni surat keputusan (SK) Bupati Sarolangun Nomor 32 tahun 2010 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT TMI tanggal 22 Desember 2010. (G-2)

BACA JUGA: