JAKARTA - Saksi Kepala Bidang (Kabid) Jejaring Inovasi Maritim Kemenko Maritim (JIMKemkoM), Anton Setyo Nugroho menyebutkan ada permintaan uang partisipasi dari Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Andreu Misanta Pribadi untuk menjadi rekanan ekspor benur lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebesar Rp 3,5 miliar terhadap PT Anugerah Bina Niha (PT ABN). Namun PT ABN hanya menyanggupi sebesar Rp2,5 miliar.

Hal itu diungkapkan didalam sidang lanjutan korupsi ekspor benih lobster KKP dengan agenda pemeriksaan saksi dan terdakwa Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dengan ketua sidang Albertus Husada. Menurut Anton ada tambahan modal dari pengusaha untuk berpartisipasi dalam ekspor benih bening lobster (BBL).

"Andreu bilang apa soal uang partisipasi?" tanya Anggota Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Siswandoyo di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diikuti oleh Gresnews.com, Selasa (11/5/2021).

Menurut Anton ada kebiasaan yang terjadi dalam pengurusan ekspor BBL di KKP yaitu adanya uang partisipasi. "Ada uang partisipasi yang menjadi kebiasaan pengusaha ekspor dalam pengurusan ini," jawabnya.

Kemudian, Anton menjelaskan untuk harga atau biaya partisipasi tersebut bervariasi, sekarang mulai dari Rp3,5 miliar. Dahulunya harganya Rp5 miliar hingga Rp10 miliar.

"Pak Andreu menyampaikan ada yang Rp3,5 miliar dan sebagainya," jelasnya.

Hal itu dibenarkan oleh Anton sesuai dengan keterangan dalam BAP-nya yang mengatakan bahwa "Andreu bilang, namun harus ada uang partisipasi Ton. Kemudian saya jawab berapa bang nilai partisipasinya? Kata Andreu yang dulu-dulu bisa mencapai Rp5-10 miliar yang ini cukup Rp3,5 miliar saja,".

Menurut Anton, yang dia pahami uang partisipasi itu adalah sebagai hal yang lumrah dalam proses perizinan ini.

Kemudian, Ketua Majelis Hakim Albertus Husada menanyakan kepada saksi Anton mengenai apa maksud imbalan uang partisipasi itu. "Imbalan uang tadi?" cecar hakim.

Lalu Anton menjawab bahwa menurutnya uang itu sebagai modal partisipasi. "Saya pikir itu sebagai modal partisipasi," jawabnya.

Albertus Husada kemudian kembali mengatakan kepada saksi bahwa dia adalah ASN yang seharusnya telah mendapat gaji berkecukupan. Tapi saksi malah mengurus izin dari perusahaan swasta.

Hakim juga mengatakan bahwa saksi Anton telah mengurus status kepindahannya dari dinas di Menkomaritim ke KKP.

"Kan sudah dikenalkan di Hotel Alana, kok malah mengurus izinnya PT ABN. Kok diperhamba oleh Direktur Utama bernama Sukanto Ali Winoto. Rusak ASN begini semua," kata hakim Albertus.

Hakim mempertanyakan integritas saksi sebagai ASN karena terlibat dalam kepengurusan izin perusahaan swasta. Karena tidak mencerminkan integritas dan profesionalisme aparatur negara. Sehingga hakim meminta panitera mencatat keterangan saksi tersebut sebagai sebuah catatan besar dan fakta baru dipersidangan.

"Kok hal yang lumrah. Itu catat besar di berita acara itu. Ini saksi apa ini. Ini fakta baru," tukasnya.

Sementara itu, Jaksa Siswandoyo menanyakan kembali setelah ada penyampaian biaya Rp3,5 miliar. "Apa saksi memberitahukan ke Sukanto?" cecarnya.

Menurut Anton, bahwa Sukanto mengatakan bahwa dia tidak bisa kalau setinggi itu biayanya. Sukanto hanya sanggup membayar biaya tersebut sebesar Rp2,5 miliar. Kemudian Anton menyampaikan hal itu ke Andreu bahwa ABN hanya sanggup berpartisipasi sebesar Rp2,5 miliar.

Kemudian Anton menjelaskan mengenai uang partisipasi itu adalah apabila kalau mau ikut dalam pengurusan ini harus berpartisipasi seperti itu. Karena saksi Anton menyampaikan ke Pak Kanto ini sebagai bagian modal yang harus dikeluarkan dalam proses perusahaan.

Kemudian, atas jawaban Sukanto hanya sanggup memberikan Rp2,5 miliar, Andreu Minsanta mengatakan tidak apa-apa.

PT ABN sudah memasukkan pengajuan izin, dan sudah presentasi. Pembicaraan mengenai uang itu sebelum presentasi. Kemudian uang diserahkan setelah presentasi dilakukan oleh Sukanto secara bertahap.

Menurut Anton uang partisipasi PT ABN dari Sukanto itu, Anton serahkan ke Andreu sebesar Rp100 juta sebagai ucapan terimakasih. Uang Rp100 juta itu di berikan secara bertahap sebanyak 4 kali. Sedangkan yang sebesar Rp2,5 miliar dia serahkan secara bertahap sebanyak 3 kali. Penyerahan uang pertama diserahkan kepada ajudan Andreu yang bernama Yonas.

"(Pertama) Rp1 miliar di parkiran mobil stasiun Gambir Jakarta, Mei 2020," kata Anton.

Penyerahan kedua, pada Juni 2020 sebesar Rp750 juta di Restauran Hotel Sahid, Jakarta yang diterima oleh Iwan Febrian sebagai uang partisipasi.

Kemudian, penyerahan uang yang ketiga, diserahkan kepada Iwan Febrian di restoran hotel Sahid. Sisanya, di restoran Hotel Sahid Jakarta. Sekitar Juli, diserahkan melalui Iwan Febrian.

Iwan Febrian adalah adik Miftah Sabri dan rekan sesama aktifis mahasiswa ketika kuliah bersama Anton.

Kemudian, uang yang sebesar Rp100 juta diserahkan kepada Andreu pada Juli 2020 ketika diruang kantor Andreu lantai 15 Gedung Bina Bahari IV KKP.

Atas perbuatan tersebut, Edhy Prabowo didakwa telah menerima suap dari Suharjito pengusaha PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) sebesar US$103 ribu dan Rp 760 juta dalam kurun waktu bulan Mei hingga November 2020 silam dan para eksportir BBL lainnya.

Suap diberikan dengan maksud agar Edhy Prabowo mempercepat proses rekomendasi persetujuan pemberian izin budidaya sebagai salah satu syarat pemberian izin ekspor benur kepada PT Dua Putera Perkasa Pratama milik Suharjito.

Uang suap itu diberikan melalui perantara staf khusus menteri KKP, Andreau Misanta Pribadi dan Safri. Kemudian Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, serta Ainul Faqih selaku staf pribadi Iis Rosita Dewi, istri Edhy yang juga anggota DPR-RI. (G-2)

BACA JUGA: