JAKARTA - Juru Bicara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, membantah keterangan Manajer Operasional PT ACK Ardi Wijaya yang menyebut Prabowo Subianto ada kaitannya dengan PT ACK hingga mendapatkan jatah pengiriman kargo (freight forwarding) khusus untuk ekspor benih bening lobster (BBL).

Ardi menyampaikan keterangan selaku saksi dipersidangan korupsi ekspor benih lobster di Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) 2020 dengan terdakwa mantan Menteri KKP Edhy Prabowo, Rabu, 28 April 2021, malam.

Menurut Dahnil, keterangan Ardi Wijaya itu tidak benar karena tidak beralasan sama sekali.

"Tidak benar, PT ACK itu bukan milik Pak Prabowo dan tidak ada kaitannya dengan Pak Prabowo," kata Dahnil ketika dihubungi oleh Gresnews.com melalui pesan singkat Whatsapp, Kamis (29/4/2021).

Dahnil melanjutkan nama Prabowo Subianto sering digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan tertentu dan itu patut disayangkan.

"Nama beliau sering dicatut orang-orang tertentu yang tidak bertanggungjawab untuk kepentingan pribadi mereka, kita sangat sayangkan perilaku-perilaku tersebut," tukasnya.

Pada hari sebelumnya, dalam persidangan suap ekspor benih lobster tersebut, Mantan Menteri KKP, Edhy Prabowo juga langsung membantah keterangan Ardi Wijaya yang menyebutkan bahwa PT ACK adalah milik Menhan Prabowo Subianto. Ia memberikan tanggapan atas keterangan saksi-saksi di persidangan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Rabu, 28 April 2021.

"Terhadap kesaksian Ardi Wijaya bahwa ACK milik pak Prabowo saya nyatakan tidak benar yang mulia," tegas Edhy di persidangan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diikuti oleh Gresnews.com, Rabu (28/4/2021) menjelang tengah malam.

Kemudian Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis menanyakan kepada Edhy mengenai perteleponan Ardi yang menyebut bahwa Prabowo Subianto adalah pemilik PT ACK. "Itu gimana?" tanya Hakim Damis.

Edhy pun langsung menjawabnya dengan mengatakan bahwa Suharjito lah yang menelpon Ardi Wijaya bukan dirinya.

"Itu Pak Suharjito yang telepon Pak bukan saya," tutupnya.

Sementara saat dikonfirmasi terpisah, Penasihat Hukum Edhy Prabowo, Soesilo Ariwibowo mengatakan bahwa melihat dari kronologis cerita Ardi Wijaya memang tidak nyambung.

"Memang nggak nyambung. Jadi kalau dilihat dalam cerita BAP tiba-tiba muncul, sependengaran Pak Ardi namanya tiba-tiba muncul Prabowo. Saya kira nggak ada itu dengan ACK khususnya," kata Soesilo kepada wartawan yang diikuti oleh Gresnews.com, Rabu (28/4/2021), jelang tengah malam.

Soesilo pun menjelaskan bahwa didalam BAP Ardi Wijaya tidak ada disebut nama Prabowo.

"Dan benar memang selama ini kalau kita baca BAP didalam fakta-faktanya juga nggak ada," jelasnya.

Selain itu, mengenai Ardi yang mendapat telpon dari Suharjito, Soesilo menjelaskan bahwa Suharjito keliru.

"Ya, Suharjito aja yang keliru dan diterima oleh Pak Ardi. Kita juga belum tahu Pak Ardinya benar apa nggak, Pak Suharjito benar atau nggak," tuturnya.

Hal itu, menurut Soesilo masih katanya-katanya saja hanya asumsi.

"Tapi Itu di BAP-nya Pak Ardi, saya kira agak janggal, kronologis juga agak lompat, tiba-tiba muncul nama Prabowo," tukasnya.

Ardi dalam perkara ini menjadi saksi untuk mantan Menteri Kelautan Edhy Prabowo yang didakwa menerima US$77.000 dan Rp24,625 miliar sehingga totalnya sekitar Rp25,75 miliar dari para pengusaha pengekspor BBL.

Atas perbuatannya tersebut, Edhy Prabowo juga didakwa menerima suap dari rekanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Suharjito sebesar US$103 ribu dan Rp760 juta dalam kurun waktu Mei hingga November 2020.

Suap diberikan dengan maksud agar Edhy Prabowo mempercepat proses rekomendasi persetujuan pemberian izin budidaya sebagai salah satu syarat pemberian izin ekspor benur kepada PT DPPP milik Suharjito.

Uang suap itu diberikan melalui perantara staf khusus Menteri KKP, Andreau Misanta Pribadi dan Safri, kemudian Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, serta Ainul Faqih selaku staf pribadi Iis Rosita Dewi, istri Edhy yang juga anggota DPR.

Atas perbuatannya itu, Edhy didakwa dengan Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan, atau Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. (G-2)

BACA JUGA: