JAKARTA - Terdakwa mantan Kadivhubinter Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte menegaskan tak ada fakta persidangan yang membuktikan dirinya terlibat dalam tindak pidana. Lantaran itu ia meminta dibebaskan dari segala tuntutan.

Hal itu ia tegaskan saat membaca duplik atau jawaban kedua atas replik Jaksa Penuntut Umum, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (1/3/2021).

Napoleon menuturkan isi replik jaksa mengungkap fakta bahwa pertemuan dirinya dengan terdakwa perantara suap Joko Tjandra, Tommy Sumardi terjadi pada awal April 2020.

"Kesimpulan penuntut umum bahwa kualifikasi peran dan perbuatan kami selaku pelaku yaitu, orang yang melakukan peristiwa pidana berupa menerima pemberitahuan atau janji untuk menghapus status DPO di imigrasi, merupakan kesimpulan yang tidak didukung dengan fakta hukum di persidangan," kata Napoleon di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diikuti oleh Gresnews.com, Senin (1/3/2021).

Napoleon melanjutkan bahwa sesuai fakta tidak ada surat atau yang tersirat mengenai penghapusan DPO Joko Soegiarto Tjandra dari NCB interpol.

"Faktanya tidak terdapat satu pun baik secara tersurat maupun tersirat dari ketiga surat NCB interpol yang meminta penghapusan DPO atau nama Joko Tjandra dari sistem ECS pada dirjen imigrasi," lanjutnya.

Selain itu enam lembar bukti terkait penyerahan uang dinilai Napoleon tidak dapat membuktikan adanya suap kepada Napoleon, dan tidak relevan dengan perkaranya karena red notice telah terhapus permanen sejak 10 Juli 2019 lalu.

"Keberadaan barang bukti berupa enam lembar tanda terima uang yang dimaksud hanya mendukung pembuktikan bahwa terjadi peristiwa penyerahan dan penerimaan uang dari Joko Tjandra kepada Tommy Sumardi. Sehingga tidak relevan bila dianggap atau diasumsikan merupakan rangkaian peristiwa yang tidak terpisahkan dengan isi dakwaan terhadap kami," jelas Napoleon.

Selain itu, Napoleon menyatakan selaku terdakwa dalam perkara ini berkesimpulan, bahwa replik JPU tidak didukung oleh argumentasi atau alasan yang kuat berdasarkan analisa fakta hukum persidangan yang relevan.

Napoleon menuturkan isi replik jaksa mengungkap fakta bahwa pertemuan dirinya dengan terdakwa perantara suap Djoko Tjandra, Tommy Sumardi terjadi pada awal April 2020.

Lanjut Napoleon, dapat dipastikan kominikasi antara Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi yang berakhir pertemuan dengan Brigjen Pol Prasetijo Utomo terjadi pada Maret 2020, bukan bulan April.

Atas hal itu, ia menegaskan bahwa pihak yang meminta uang Djoko Tjandra sama sekali tak berkaitan dengan dirinya.

Kemudian kata Napoleon, permintaan bantuan kerjasama antara Prasetijo dan Junjungan Fortes soal pembuatan draf surat telah terbukti dalam persidangan bahwa peristiwa itu terjadi tanpa sepengetahuan Napoleon.

"Oleh karena itu maka tidak dapat membuktikan adanya niat atau keterlibatan kami dalam peristiwa itu," kata Napoleon.

Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri ini juga menyampaikan uraian jaksa soal peristiwa permintaan uang Rp3 miliar tersebut berasal dari keterangan Tommy Sumardi.

"Bahwa uraian JPU pada peristiwa di mana kami minta uang Rp3 miliar adalah berasal dari keterangan Tommy Sumardi sehingga tidak dapat membuktikan peristiwa tersebut telah terjadi," ucapnya.

Uraian jaksa tentang penyerahan uang pada 28 April, 4 dan 5 Mei hanya bersumber dari keterangan Tommy Sumardi, dan tak memiliki pembuktian apapun.

"Oleh karena itu, kami sebagai terdakwa tetap pada nota pembelaan kami semula yang telah kami bacakan pada 22 Februari 2021," tukasnya.

Mantan Kadivhubinter Polri Irjen pol Napoleon Bonaparte sebelumnya dituntut 3 tahun pidana penjara dalam perkara dugaan suap Penghapusan Status DPO Joko Tjandra.

Jaksa menilai Napoleon telah terbukti menerima suap US$370 ribu dan Sing$200 ribu dari Joko Soegiarto Tjandra melalui Tommy Sumardi.

Napoleon dikenakan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Napoleon diduga telah sengaja membantu dengan imbalan uang tersebut. Dengan tujuan, nama Joko bisa bersih dari status DPO yang tercatat di Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi) atau red notice. Sehingga saat Joko kembali ke Indonesia, dirinya bisa bebas keluar masuk tanpa terdeteksi status red notice. (G-2)

BACA JUGA: