JAKARTA - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, menggelar sidang lanjutan perkara kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC PT Garuda Indonesia tahun 2005 -2014. Dalam sidang dengan terdakwa mantan Direktur Teknik Garuda Indonesia Hadinoto Soedigno terungkap ada perubahan mendadak pada pertemuan ketiga hingga memilih pesawat Bombardier dari pada Embraer.

Sidang yang dipimpin Hakim Rosmina menghadirkan 1. VP Treasury Management, Albert Burhan, 2. Direktur Utama PT Citilink Indonesia, M Arief Wibowo, 3. Mantan Direktur Pemasaran Garuda, Sunarto Kuncoro, 4. Mantan Direktur Teknik, Batara Silaban, 5. Direktur Teknik Garuda Indonesia, Elisa Lumbantoruan.

Mereka menerangkan kembali terkait agenda meeting tim teknis dalam menentukan rencana pembelian pesawat Garuda Indonesia berkapasitas tempat duduk dibawah 100 penumpang. Ada dua jenis pesawat yang diperbandingkan yakni pesawat Embraer dengan Bombardir.

Saksi Albert Burhan menjelaskan kronologis penilaian dari tim teknis terhadap pesawat Embraer dan Bombardir dalam tiga kali pertemuan.

"Apa yang disampaikan pada Direksi, tim yang bekerja tadi itu hasilnya apa?," tanya Anggota Tim Jaksa penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diikuti oleh Gresnews.com, Jum`at (26/2/2021).

"Embraer lebih bagus daripada Bombardier," jawab Albert.

Ia menjelaskan hasil perbandingannya 56% untuk Embraer dan 44% untuk Bombardier dengan pembobotan lima kriteria. Embrayer unggul empat kriteria dan Bombardier unggul satu kriteria.

Dalam rapat pertama, tersebut direksi meminta untuk lebih diperdalam kajian teknisnya. Menurut Albert, waktu itu memang ada asumsi bahwa harga tiket akan lebih mahal kalau menggunakan Embrayer dibandingkan dengan Bombardier.

Load factor atau tingkat keterisian penumpang di setiap flight pada pesawat Embraer lebih tinggi dibandingkan dengan Bombardier.

"Nah inikan asumsi, itu yang kita minta di uji lagi, betul nggak dengan asumsi ini dan seberapa dekat dengan kemungkinannya bisa dicapai. Itu sebenarnya yang minta diuji," jelasnya.

Ketua Majelis Hakim, Rosmina menanyakan kepada Albert apakah itu asumsi saudara sendiri atau bukan?

"Ndak. Itu yang kita, sebagai direksi menanyakan, kenapa kalian telah mengatakan load factor di Embraer itu lebih tinggi dengan Bombardier," jawab Albert.

"Jadi artinya itu memang suasana yang timbul pada saat rapat?" tegas Rosmina.

Albert pun membenarkan hal itu. "Betul, Bu," jawabnya singkat.

Kemudian, Albert menerangkan bahwa yang faktual portfolio Embraer lebih baik dari Bombardier.

"Nah dari situ dibandingkan lebih sedikit. Inikan faktual kalau yang tadi asumsi," ujar Albert.

Tapi kemudian dalam pertemuan ketiga berubah, tim menyatakan Bombardier mengungguli embraer. Alasannya karena harga Bombardier lebih murah dan ada penambahan spesifikasi.

Menurut Albert, pada tanggal 22, tiba-tiba skor dari Bombardier lebih bagus dari pada Embraer. Ia sempat kaget dan ngotot mempertanyakan perubahan itu.

Dia mengatakan bahwa tim yang sama melakukan analisa dengan metode sama, dengan sumber informasi sama pula. Dalam dua kali pertemuan mengatakan Embrayer lebih bagus daripada Bombardier namun pada pertemuan ketiga berubah.

"Jadi saya bilang what`s the difference, dimana perbedaannya? Itu dijawab dengan mengatakan, ada informasi baru yang didapatkan oleh tim mengenai Bombardier yang memperbaiki dari sisi kinerja daripada pesawat. Baik itu dari sisi efisiensi kemudian juga tingkat keterisian load factor berarti dari sisi cost dan juga dari sisi harga tiket bisa lebih murah," sambungnya.

Menurut Albert kemudian direksi memilih Embrayer mempertimbangkan nilai ekonomis.

"Akhirnya yang saya ingat waktu itu, Pak Emir mengatakan bahwa saat ini dari data maupun secara faktual adalah harga. Sekarang dengan harga perbedaan US$3juta apakah kita berani membuat keputusan membeli barang yang lebih mahal US$3juta. Sementara yang lain-lain itu kan adalah sesuatu yang mesti dibuktikan dikemudian hari," jelas Albert.

Kemudian, lanjut Albert, pada waktu itu juga Emir bertanya pada Muhammad Arif Wibowo Mantan PLH Direktur Pemasaran dan Penjualan Garuda 2011-2012 dan Direktur Teknik dan Pengelolaan Garuda Indonesia 2007-2012, bisa tidak menjual tiket lebih mahal kalau memakai Embrayer.

"Dan dijawab oleh Pak Arif, kita sulit bagaimana pun penumpang mencari tiket yang lebih murah. Nah itu yang merubah dan ini sebenarnya keputusan kolegial. Akhirnya diputuskan disitu Bombardier," tukasnya.

Jaksa KPK mendakwa dalam dua dakwaan yakni kesatu, Hadinoto Soedigno selaku Direktur Teknik Garuda dan Direktur Produksi Citylink didakwa melakukan korupsi bersama dengan mantan Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar serta bersama Captain Agus Wahjudo.

Mereka diduga telah menerima uang fee dari rekanan Garuda yakni dari Airbus, Roll Royce dan Avions de Transport Regional (ATR) atas proyek pengadaan pesawat Airbus dan mesin pesawat Roll Royce tahun 2005-2014 lalu.

Uang suap senilai US$2,3 juta dan Euro477 ribu tersebut diserahkan melalui perantara atau broker yakni intermediary Connaught International Pte Ltd dan PT Ardhyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedardjo serta dari Bombardier Canada melalui Hollingsworld Management International Ltd Hongkong ( HMI) dan Summerville Pasific Inc.

Kemudian dakwaan kedua, Hadinoto Soedigno menyamarkan uang fee yang diterimanya dengan mentransfer ke rekening keluarga yakni ke rekening atas nama Tuti Dewi, Putri Anggraini Hadinoto dan Rulianto Hadinoto. Yang kemudian ditarik tunai untuk keperluan pribadi Hadinoto Soedigno.

Jaksa KPK menjerat Hadinoto dengan Pasal 11 Undang-Undang Tipikor pada Dakwaan kesatu dan Pasal Pasal 3 Undang-Undang Pencucian Uang pada dakwaan kedua dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun. (G-2)

BACA JUGA: