JAKARTA - Terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte menyebut sebagai korban kriminalisasi yang digeneralisir. Hal tersebut Napoleon ungpkap dalam sidang pledoi atau nota pembelaannya dalam kasus dugaan korupsi penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra dari daftar buronan atau DPO.

Napoleon mengatakan bahwa surat-surat NCB Interpol yang menjadi dasar Jaksa Penuntut Umum (JPU) tak bisa dijadikan dasar tuntutan. Lantaran Ia telah melaksanakan kewajiban, sesuai dengan tugas yang harus dilakukan NCB Interpol sebagaimana ketentuan perundang-undangan, peraturan Kapolri maupun Interpol.

"Bahwa kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melalui medsos yang memicu malpraktik dalam penegakan hukum. Berupa masifnya pergunjingan publik akibat sinisme terhadap kekuasaan yang telah menggenaralisir setiap simbolnya, sebagai pelampiasan hasrat ghibah. Sehingga memicu malpraktik dalam penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran marwah institusi," kata Napoleon di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diikuti oleh Gresnews.com, Senin (22/2/2021).

Napoleon menerangkan dalam surat nota pembelaannya tersebut bahwa tragedi dan malpratek itu datang saat masuknya Djoko Soegiarto Tjandra secara ilegal ke Indonesia melalui perkebunan perbatasan Kalimantan Utara pada 5 Juni 2020.

"Peristiwa tersebut disambut media massa secara masif dan berskala nasional sejak pertengahan Juli 2020 yang menuding pemerintah terutama aparat penegak hukum telah kecolongan," terangnya.

Menurut Napoleon, publikasi sebuah foto selfie Djoko Tjandra dengan Anita Kolopaking dan Prasetijo Utomo, publikasi selembar surat jalan yang ditandatangani Prasetijo Utomo, dan publikasi selembar surat bebas covid yang ditandatangani dokter Pusdokkes Polri di media massa telah menggulirkan tudingan publik kepada Polri.

Bahwa yang dianggap sebagai biang keladi tercorengnya kewibawaan pemerintah akibat kelemahan aparat hukum, terkait dalam perburuan terpidana yang buron selama 11 tahun.

Selanjutnya, kata Napoleon, publikasi di media massa sejak 16 Juli 2020 soal keberadaan surat NCB Interpol ke Dirjen Imigrasi nomor: B.1036.2020 tertanggal 5 Mei 2020 yang ditandatangani Ses NCB Nugroho Slamet Wibowo telah semakin menyudutkan Polri.

Terutama divisi Hubungan Internasional Polri yang Napoleon pimpin dianggap telah menghapus Red Notice Djoko yang menyebabkan leluasanya Djoko keluar-masuk Indonesia pada Juni 2020.

"Padahal faktanya, di dalam persidangan ini terbukti bahwa NCB Interpol tidak pernah menghapus Red Notice tersebut karena memang gak memiliki kewenangan untuk melakukannya" tuturnya.

Kemudian, katanya, lantaran demi mempertahankan kewibawaan institusi, pimpinan Polri menyikapi dengan bertindak cepat dan tegas dengan telah menghukum dirinya melalui Telegram Nomor ST.2076 tanggal 17 Juli 2020 karena dianggap telah gagal melakukan pengawasan terhadap staf.

Namun, tindakan cepat dan tegas pimpinan Polri tersebut belum cukup memuaskan publik. Justru membuat kecurigaan adanya perbuatan pidana.

"Sehingga memperkuat desakan publik kepada pimpinan Polri untuk melimpahkan perkara ini ke ranah hukum yang berujung pada persangkaan pidana korupsi kepada kami," ungkapnya.

Selain itu, Joko Tjandra akhirnya mengetahui bahwa Indonesia sudah mengajukan Red Notice yang baru sebagai pengganti Red Notice lama yang sudah terhapus secara permanen sejak tanggal 10 Juli 2019.

Besoknya, tutur Napoleon, Tommy Sumardi dijemput penyidik Bareskrim Polri untuk ditemukan dengan Joko Tjandra. Saat itu, Tommy diminta mengakui telah menerima uang sebesar Rp10 miliar dari Joko Tjandra sebagai uang jasa mengurus penghapusan Red Notice.

Rekayasa kasus ini pun dimulai, Tommy Sumardi tidak punya pilihan lain, kecuali berupaya mati-matian agar tidak dituntut karena telah menipu mentah-mentah Joko Tjandra dengan janji dapat mengurus Red Notice.

Napoleon melanjutkan untuk menghindar dari konsekuensi tersebut maka di hadapan penyidik Bareskrim Polri, Tommy Sumardi kemudian merekayasa cerita bahwa uang tersebut telah dibagikan kepada Napoleon.

Untuk lebih meyakinkan penyidik, Tommy menyatakan bahwa ia telah ditipu dan diperalat oleh Napoleon selaku Kadivhubinter.

"Pernyataan Tommy Sumardi justru mengungkap motifnya sendiri bahwa ia yang menipu Joko," ujarnya.

Kemudian, penyidikan Bareskrim pada 5 Agustus 2020 yang semula mengarah kepada perbuatan yang diduga dilakukan oleh Tommy Sumardi dan Kombes Pol Tommy Aria Dwiyanto sebagaimana laporan polisi nomor 0430, kemudian berubah sasaran dan langsung diarahkan kepada Irjenpol Napoleon Bonaparte.

"Memanfaatkan bukti rekaman CCTV di lantai 1 Gedung TNCC Mabes Polri, Tommy mengarang cerita bahwa kedatangannya dimaksudkan untuk bertemu dan menyerahkan uang kepada kami yang berkantor di lantai 11," ungkapnya.

Namun dalam fakta persidangan, Tommy Sumardi telah memanfaatkan Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo untuk memerintahkan Brigjen Junjungan Fortes agar membocorkan informasi dan surat-surat yang dibutuhkannya tanpa sepengetahuan Napoleon Bonaparte selaku Kadivhubinter.

Dalam kesimpulannya, Napoleon Bonaparte menyatakan bahwa setelah dirinya menguraikan nota pembelaannya tersebut. Dia berpendapat bahwa syarat objektif dan syarat subjektif pemidanaan sebagaimana isi surat tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat dipenuhi pada dirinya sebagai terdakwa.

Untuk itu, Napoleon Bonaparte selaku terdakwa dalam perkara ini tidak dapat dijatuhi pidana sebagaimana ketentuan pasal 183 KUHAP.

"Dengan demikian kami sebagai terdakwa tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana baik atas perbuatan kami maupun atas perbuatan terdakwa lain dalam perkara lain," tegasnya.

Menurutnya, dari kesimpulan yang dapat ditarik bahwa perbuatannya sebagai terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

Hal itu berdasarkan rumusan tindak pidana sesuai dengan dakwaan kesatu sebagaimana diatur dalam dan diancam pidana dala pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 a huruf A UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Napoleon memohon kepada majelis hakim, bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP dan seluruh nota isi pembelaan pledoinya tersebut, untuk dapat meluluskan seluruh permohonannya.

"Menerima seluruh isi nota pembelaan ini. Menolak seluruh isi surat dakwaan dan tuntutan dari Jaksa penuntut umum," kata Napoleon memohon majelis hakim.

Kemudian, menjatuhkan putusan bebas sebagaimana ketentuan Pasal 191 ayat 1 KUHAP atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 191 ayat 2 KUHAP terhadap dirinya.

"Memulihkan harkat dan martabat terdakwa sesuai ketentuan perundang-undangan," katanya.

Selain itu, Napoleon meminta kepada majelis hakim, bahwa dirinya telah menjalani seluruh proses persidangan dengan selalu hadir tepat waktu bersikap sopan dan menghormati lembaga peradilan.

Dia juga telah mentaati himbauan majelis hakim. Dengan telah membuktikan untuk tidak pernah sekecil apapun, dengan cara apapun untuk mempengaruhi Majelis Hakim dalam menentukan keputusan terhadap perkara ini.

Kemudian, Napoleon berharap janji majelis hakim apabila bukti materil tidak tercukupi dan tidak meyakinkan Majelis Hakim akan membebaskan dirinya dari segala tuntutan hukum.

Selain itu, Napoleon yang telah mengabdi selama 32 tahun kepada negara, dia menilai tanpa ada cacat sedikit pun. Karena telah berupaya menjadi tauladan bagi keluarga dan rekan-rekannya sesama polisi, untuk hidup bersahaja dan tidak bermewah-mewahan. Karena dirinya tidak punya dan tidak layak untuk melakukannya.

Belum tentu, kata Napoleon, yang menggerakan semua ini adalah orang-orang yang lebih baik daripada dirinya sebagai polisi.

"Bagi saya yang mulia, permasalahan ini sangat merendahkan martabat Keluarga. Persis seperti yang diucapkan oleh saudara-saudara saya, orang Bugis yang mengatakan matena siri, matena siri," tandasnya.

Dalam dakwaan Jasa, Joko Tjandra diduga menyuap Napoleon dan Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo untuk menghapus namanya dari daftar buronan agar bisa masuk ke Indonesia. Itu dilakukan agar Joko Tjandra dapat mendaftarkan Peninjauan Kembali kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Perbuatan tersebut dilakukan melalui perantara pengusaha Tommy Sumardi. Berdasarkan kesaksian Tommy, uang sebanyak US$370 ribu dan Sing$200 ribu diberikan kepada Napoleon, sedangkan US$150 ribu untuk Prasetijo.

Dalam perkara ini, Terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 jo. Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b, atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (G-2)

BACA JUGA: