JAKARTA - Saksi ahli dalam sidang lanjutan dengan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, menyebut Joko adalah korban informasi sesat terkait penghapusan red notice.

Tim penasihat hukum terdakwa Joko Tjandra menghadirkan satu orang saksi ahli meringankan yakni pakar hukum pidana Profesor Mudzakir SH, dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Ketua Majelis hakim Muhammad Damis mempersilahkan tim penasihat hukum terdakwa Soesilo Aribowo untuk memulai pemeriksaan keterangan dari saksi ahli mengenai bagaimana perkara red notice Joko Tjandra secara hukum menurut pemahaman pakar hukum.

Soesilo menanyakan persoalan red notice yang merupakan deklarasi dari interpol untuk mencari seseorang yang telah melarikan diri. Kemudiaan ada istilah Daftar Pencarian Orang (DPO), itu adalah semacam catatan negara mencari yang bersangkutan karena diduga telah melakukan tindak pidana.

Lalu, Soesilo mengumpamakan kalau si A, kemudian bertemu dengan si B. Si A swasta si B swasta, kemudian si A tidak tahu menahu bahwa si B berhubungan dengan C dan D.

Sementara D adalah orang yang mempunyai otorisasi di bidang red notice, yaitu di wilayah kerjanya ada di Mabes Polri di dalam Divisi Interpol. Sementara DPO ada di wilayah Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.

"Nah si A ini karena saking pengennya pulang, dia mencoba komunikasi sama si B, kemudian cari tahu, cobalah cari tahu apakah saya red noticenya masih ada gak," kata Soesilo di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diikuti oleh Gresnews.com, Kamis, (18/2/2021).

Soesilo melanjutkan, kemudian si B berupaya dengan tidak diketahui oleh si A karena si A juga memberikan uang ke si B. Lalu B menghubungi C dan D. Ternyata menurut D bahwa red notice atas nama si A sebenarnya tidak perlu diurus sudah dibuka.

"Kemudian si B tetap bersepakat minta uang ke si A. Pertanyaan saya, apakah yang seperti ini, si A ini telah menjadi korban si B karena tanpa upaya pun red notice sduah dibuka otomatis?," tanya Soesilo.

Kemudian, Mudzakir menerangkan bahwa ini pertanyaan pokoknya siapa yang memberi inisiatif serta untuk melakukan apa? Jadi adakah inisiatif dari A, atau itu inisiatif B. Berarti ada bagian tertentu bahwa B membangkitkan niat orang agar mau menguruskan nasibnya terkait red notice.

"Tapi kalau itu benar berdasarkan info sudah terhapus gak masuk didalamnya. Kalau menurut ahli masih dikuak dan diprovokasi dan seterusnya, apakah itu sebagai korban. Tadi ahli teorinya satu, inisiatifnya siapa, dan kemudian apa menjanjikan sesuatu ke yang bersangkutan sehingga menjanjikan itu. Kalau dia tahu bahwa disitu sudah ga ada red notice," jelasnya.

Jadi, kata Mudzakir, artinya yang dijanjikan berikutnya ke si A adalah informasi atau sesuatu yang tidak benar. Akibatnya dia (A) mengeluarkan dana untuk diberikan ke B dan yang lainnya. Atas dasar itu bagian dari proses perbuatan tadi, menurut ahli si A ini korban dari pada proses sesuatu yang seolah-olah menjadi ada.

"Jadi kalau benar seperti itu. A sebagai korban proses informasi gak benar. Sehingga dia harus terpaksa mengeluarkan uang," tandasnya.

Dalam dakwaan, Joko S Tjandra didakwa dengan tiga dakwaan akumulatif. Pertama menyuap sebesar US$500 ribu dari sebesar US$1 juta yang dijanjikan Joko sebagai pemberian kepada Pinangki Sirna Kumalasari untuk mengurus Fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung.

Tujuannya agar pidana penjara yang dijatuhkan kepada Terdakwa Joko berdasarkan Putusan PK pada Juni 2009 lalu tidak bisa dieksekusi. Harapannya ketika Terdakwa Joko S Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.

Kemudian Joko dengan H. Tommy Sumardi yang disidang terpisah yaitu, memberikan uang SG$200ribu dan US$270 ribu kepada Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte yang menjabat Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri

Sementara uang US$150 ribu diberikan kepada Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo, yang menjabat Kepala Biro Kordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri .

Suap diberikan agar kedua pejabat kepolisian tersebut menghapus nama Joko S Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi,.

Dakwaan kedua bersama dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya menyuap US$10 juta terkait pengurusan Fatwa MA dengan 10 action plan. Dakwaan ketiga bersama dengan Pinangki dan Andi Irfan Jaya terkait pemufakatan jahat menyuap Jaksa Agung dan ketua MA. (G-2)

BACA JUGA: