JAKARTA - Sidang kasus korupsi importasi tekstil pada Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tipe B Batam, Kepulauan Riau, kembali berlanjt dengan agenda masih pemeriksaan saksi. Dalam persidangan kasus yang ditaksir merugikan negara sekitar Rp1,6 triliun itu menghadirkan tiga saksi dari Pegawai Bea Cukai Pusat dan pihak swasta pada Jumat (15/1/2021).

Mereka adalah Kasubdit Intel Muhammad Amin, Kasubdit Penyelidikan Bea Cukai Pusat Winarko Subagyo serta Narto dari pihak swasta.

Winarko Subagyo menyampaikan fakta yang didapat ada dua sangkaan. Serta ada fakta lain yang didapat dari pengakuan atau keterangan Rohman dan Irianto yakni adanya bukti pemalsuan pada dokumen Kepabeanan.

"Fakta yang lain Pak, itu dari keterangan si Rohman, kemudian juga Irianto terkait dengan Certificate of Origin (CoO) itu juga kita dapat bukti itu dipalsukan. Dan itu kalau CoO adalah dokumen pelengkap pabean pak, yang harus dilampirkan didokumen PPAKSET," kata Winarko di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diikuti Gresnews.com, Jumat (22/1/2021).

Menurut Winarko ada tiga modus yang dilakukan. Dari penyidikan berdasarkan keterangan Rohman dan Irianto terungkap modusnya berupa perbuatan perubahan sertifikat asal barang, perubahan packing list serta jumlah jenis yang berbeda pada Februari 2020 lalu.

"Jadi keterangan dari Rohman dan Irianto itu kegiatan yang dilakukan atas 3 dokumen PPAKSET yang di NHI tadi, di bulan awal maret itu sudah dilakukan mulai Desember 2017, sehingga untuk dokumen PPAKSET beserta dokumen pelengkapnya itu juga dijadikan barang bukti dan melakukan penyitaan," jelasnya.

Dari hasil pemeriksaan Unit Tanjung Priok ada tiga dokumen impor terkait kain 27 kontainer telah disandingkan, serta sebelumnya juga ditemukan empat dokumen impor yang didapat dari chat WA maupun email. Akan tetapi barangnya telah terkirim dan tidak ditemukan barang buktinya.

"Yang masih ada dan sebelumnya itu sekitar tiga atau empat (dokumen impor). (Dan) terakhir tiga dokumen dan barang yang kita sita itu dari chat WA dan email," ungkap Winarko.

Barang bukti yang tersita tersebut oleh penyidik Bea Cukai didapat kekurangan bea masuk atau pajak impor dari 27 kontainer tersebut yang kemudian dihitung oleh ahli Kepabeanan.

"Untuk nilai kekurangan biaya masuk dan pajak impor Itu yang sudah dihitung hanya kain yang di 27 kontainer," terangnya.

Menurut Winarko hingga saat ini baru 2 tersangka yakni Irianto dan Rohman, penyidik bea cukai kemudian menemukan pidana lainya diantaranya ada transaksi rekening terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas nama Irianto.

"Untuk pidana lain kita juga mendapatkan untuk transfer-transfer uang yang dimiliki oleh Irianto dan juga rekening atas nama orang lain itu ditanggal 25 Juli kami juga melakukan TPPU-nya Pak," tuturnya.

Sementara itu Muhammad Amin bersama tim pernah memprofil dua perusahan PT Plant Indobatam dan PT Piter Garmindo. Keduanya bergerak dibidang importir dan produsen yang memiliki pabrik dan beberapa karyawan.

"Karena dia impor tekstil maka boleh melakukan impor dari Kementerian Perdagangan. PT ini pernah dilakukan mungkin di Batam, karena kesalahan jumlah di bulan Desember 2019," tutur Amin.

Menurutnya perusahaan tersebut tidak memproduksi garmen dalam kapasitas besar, sehingga melakukan import kain dalam jumlah besar. Kain itu kemudian ditampung disebuah gudang dikawasan Cakung, Jakarta.

"Importasinya tidak dilakukan di Batam," jelas Amin.

Setelah dianalisa diketahui bahwa hasil produksi Plant Indobatam dikirim ke Jakarta. Namun di Jakarta tidak pabrik untuk produksi hanya ada sebuah gudang.

Dalam perkara ini, Jaksa telah mendakwa lima orang diantaranya empat orang oknum pejabat Bea Cukai Batam yakni, Mokhammad Mukhlas, Kamaruddin Siregar, Dedi Aldrian, Hariyono Adi Wibowo serta pengusaha pemilik PT Flemings Indo Batam (FIB) dan PT Peter Garmindo Prima (PGP), Irianto.

Kelimanya diduga melakukan korupsi dengan modus merubah isi kontainer berupa impor tekstil premium dari China kedalam tekstil bertipe Polyester serta melampirkan dokumen secara tidak benar sehingga merugikan negara Rp1,6 triliun rupiah.

Perkara bermula dari upaya pencegahan yang dilakukan Bidang Penindakan dan Penyidikan KPU Bea dan Cukai Tanjung Priok terhadap 27 kontainer milik PT FIB dan PT PGP pada 2 Maret 2020 lalu.

Korupsi dilakukan dengan merubah dokumen impor berupa invoice, packing list, serta menggunakan Certificate of Origin (CoO) atau Surat Keterangan Asal (SKA) yang tidak benar, yang bertentangan dengan sejumlah aturan yang berlaku di Indonesia.

Selain itu, dalam dokumen pengiriman kontainer disebutkan bahwa kain tersebut berasal dari Shanti Park, Myra Road, India, dengan kapal pengangkut berangkat dari Pelabuhan Nhava Sheva di Timur Mumbai, India.

Namun, faktanya kapal tersebut tidak pernah singgah di India dan kain-kain tersebut berasal dari China.

Fakta lainnya juga diketahui bahwa puluhan kontainer berisi kain brokat, sutra dan satin berangkat dari Pelabuhan Hong Kong, China dan singgah di Malaysia, lalu berlabuh di Batam.

Setibanya di Batam, muatan kontainer yang berisi kain premium tersebut dibongkar dan dipindahkan ke kontainer yang berbeda di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di Kawasan Pabean Batu Ampar tanpa pengawasan oleh Bidang P2 dan Bidang Kepabeanan dan Cukai KPU Batam.

Setelah seluruh muatan dipindahkan ke kontainer yang berbeda, kemudian diisi dengan kain-lain yang berbeda jenis dengan muatan awal.

Peti kemas itu diisi dengan kain polister yang harganya lebih murah dan kemudian diangkut menggunakan kapal lain menuju Pelabuhan Tanjung Priok. (G-2)

 

 

BACA JUGA: