JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa pemilik PT Gramarindo Group, Maria Pauline Lumowa, merugikan keuangan negara sebesar Rp1,2 triliun. Maria melakukan pencairan letter of Credit (LC) ekspor fiktif ke BNI 46 Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 2002-2003.

Maria mengajukan pencairan LC dengan melampirkan dokumen ekspor fiktif BNI 46 Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sehingga melanggar buku pedoman ekspor Bab III halaman 22.1 (IN/0075/INT tanggal 29 April 1998).

"Atas perbuatannya, Maria didakwa telah memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasinya," kata jaksa Sumidi saat membacakan surat dakwaan terhadap Maria di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang dihadiri Gresnews.com, Rabu (13/1/2021).

Yakni memperkaya terdakwa Maria, lalu memperkaya orang lain yaitu saksi Adrian Herling Waworuntu, memperkaya korporasi yaitu PT Jaka Sakti Buana Internasional, PT Bima Mandala, PT Mahesa Karya Putra Mandiri, PT Parasetya Cipta Tulada, PT Infinity Finance, PT Brocolin International, PT Oenam Marble Industri, PT Restu Rama, PT Aditya Putra Pratama Finance dan PT Grahasali.

Maria merupakan salah satu pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif yang sempat buron sejak 2003 atau selama 17 tahun.

Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai US$136 juta dan 56 juta euro atau sama dengan Rp1,7 triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.

Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari orang dalam karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd, Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd, dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.

Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor.

Jaksa pun mendakwa Pauliene melanggar Pasal 2 UU Tipikor dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun pidana penjara pada dakwaan pertama serta didakwa melanggar Pasal 6 UU Nomor 15 Tahun 2002 terkait Tindak Pidana Pencucian Uang.

"Perbuatan terdakwa Maria sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Konupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP," ucap Jaksa.

Selain itu, dia juga diancam pidana Pasal 6 ayat (1) huruf a, b Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU Nomor 15 tahun 2002 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana pencucian uang.

Sebelumnya saat dugaan L/C fiktif ini dilaporkan ke Mabes Polri, Maria sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003. Yakni satu bulan sebelum Maria ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.

Belakangan Maria diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.

Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014.

Rupanya Maria sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Sehingga kedua permintaan itu ditolak oleh Belanda yang justru memberikan opsi agar Maria disidangkan di Belanda.

Pelarian Maria berakhir saat ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019. Melalui diplomasi hukum delegasi pemerintah yang dipimpin Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly berhasil menyelesaikan proses ekstradisi buronan Maria Pauline Lumowa pada Juli 2020 lalu. (G-2) 

BACA JUGA: