JAKARTA - Pandemi corona virus (Covid-19) membuat ekonomi dalam negeri melemah dan berdampak terhadap penerimaan pajak. Upaya meningkatkan pajak lewat optimalisasi intensifikasi maupun ekstensifikasi juga tersendat.

Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan realisasi penerimaan pajak sepanjang 2020 sebesar Rp 1.070 triliun, atau hanya mencapai 89,3% dari outlook akhir tahun sejumlah Rp 1.198,8 triliun. Dampaknya shortfall penerimaan pajak pada tahun lalu mencapai Rp 128,8 triliun.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan wajar penerimaan pajak sepanjang 2020 minus hingga 19,7% year on year (yoy).

Menurutnya, tahun lalu pandemi virus corona membuat perekonomian dalam negeri penuh ketidakpastian, sehingga ikut mengganggu setoran pajak.

“Pandemi selain memukul ekonomi juga menimbulkan ketidakpastian. Meski pemerintah sudah merevisi penerimaan pajak sebanyak dua kali, saya kira wajar tidak bisa mencapai target," kata Fajry dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Kamis (6/1/2021).

Kendati demikian, mengingat penanganan virus corona belum teratasi, pada tahun ini Fajry mengatakan penerimaan pajak sulit mencapai target 2021 sebesar Rp 1.229,6 triliun.

Terlebih pemerintah baru mengumumkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk wilayah Jawa dan Bali pada 11-25 Januari 2021.

Fajry juga yakin PSBB akan memukul perekonomian dan penerimaan pajak secara tidak langsung. Hal ini akan terus berlangsung hingga vaksinasi benar-benar dijalankan dan terbukti efektif.

Dengan kondisi sosial-ekonomi yang tersendat virus corona, Fajry mengatakan pemerintah tidak akan berani mengambil kebijakan tidak popular atau terlalu agresif untuk meningkatkan penerimaan pajak.

Namun demikian, Fajry menyampaikan salah satu upaya yang bisa dilakukan otoritas pajak di tahun ini yakni dengan menurunkan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP).

Menurutnya, ini bisa mendorong persaingan usaha yang sehat. Sehingga meningkatkan perputaran ekonomi yang pada akhirnya mengerek penerimaan pajak.

Ia menjelaskan masih ada potensi dari penurunan PKP. Berdasarkan laporan belanja perpajakan untuk tahun 2018 ada sekitar Rp 44 triliun potensi penerimaan yang digali karena ambang batas PKP masih terlalu tinggi.

Fajry menambahkan, pajak digital juga merupakan basis pajak potensial. Meski potensi penerimaanya tidak terlalu besar namun tidak mengganggu economic recovery karena mendorong equal playing field.

Ia berharap di tahun 2021, ada keputusan multilateral. Jika tidak, akan banyak negara yang akan mengambil opsi unilateral.

Langkah lainnya adalah peningkatan basis pajak terutama jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP). Selama ini, Indonesia masih bergantung pada penerimaan PPh Badan. Perlu optimalisasi dari sektor lainya, seperti sektor konstruksi. Salah satu caranya adalah dengan menghapus beberapa pungutan PPh Final.

Ia melanjutkan perlu lebih intens ke sektor cukai yang masih menjadi penyumbang penerimaan utama dari sisi kepabeanan dan cukai, yakni sekitar 80%. Penerimaan cukai mulai membaik karena masih mampu tumbuh positif 2,3% (yoy) di sepanjang tahun 2020.

"Hal ini disebabkan oleh perbaikan kebijakan tarif cukai dan efektifnya pemberantasan rokok illegal. Kedepannya, perlu adanya roadmap kebijakan cukai yang komprehensif dan mendukung ekstensifikasi yg terukur agar penerimaan cukai lebih optimal dan konsisten," katanya.

Dari sisi PNBP, pemerintah perlu fokus pada upaya intensifikasi dari objek-objek PNBP yang sudah ada karena potensinya besar. Pemerintah perlu mengoptimalkan penerimaan PNBP dari PNBP layanan di K/L dan pengelolaan aset negara, termasuk melakukan reasesmen kebijakan dan pengawasan terhadap PNBP SDA agar lebih optimal.

Ia menegaskan saat pandemi, berharap penerimaan pajak tinggi tentu bukanlah sikap yang bijak. Yang paling utama, pemerintah harus meningkatkan kepercayaan, memberikan optimisme dengan penanganan covid yang efektif dan stimulus fiskal yang tepat sasaran sehingga masyarakat merasakan kehadiran negara. Dengan begitu, diharapkan kesadaran membayar pajak masyarakat dapat meningkat.

Sebelumnya Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo mengatakan penerimaan pajak pada 2020 sangat terdampak oleh pandemi virus corona.

Pajak sebagai instrument fiskal pada tahun lalu lebih ditekankan kepada fungsinya sebagai regulerend.

"Terkait shotfall pajak, karena ekonomi mengalami penurunan dan pemberian insentif perpajakan. Covid-19 juga memberikan keterbatasan pelaksanaan ekstensifikasi dan intensifikasi ini sebetulnya elemen juga yang buat shortfall pajak muncul," kata Suryo dalam Konferensi Pers APBN 2020, Rabu (6/1).

Lebih lanjut, Suryo membeberkan sebanyak Rp 52,7 triliun insentif perpajakan dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2020 dihitung sebagai penerimaan pajak yang hilang.

Maka bila insentif itu tidak diberikan kepada wajib pajak, maka pajak bisa mengumpulkan penerimaan hingga Rp 1.122,7 triliun.

Secara rinci, insentif perpajakan pada tahun lalu diberikan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan dunia usaha yang terimbas pandemi.

Insentif diberikan dalam bentuk PPh Final UMKM dan PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN), angsuran sebesar 50% PPh Pasal 25, dan pembebasan PPh 22 Impor. (G-2)

BACA JUGA: