JAKARTA- Profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam penanganan kasus bentrok dengan pengawal Habib Muhammad Rizieq Shihab beberapa pekan lalu mendapat sorotan. Terlebih enam orang anggota Front Pembela Islam (FPI) tewas ditembak polisi.

"Ya, memang patut dipertanyakan (profesionalisme Polri). Karena langkah-langkah awal itu kan tidak terlihat untuk menunjukkan olah TKP (Tempat Kejadian Perkara) yang ilmiah. Tidak ada lokasi yang diawal itu bisa diidentifikasi persis dan diberi garis polisi, misalnya," kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid kepada Gresnews.com, Sabtu, (26/12/2020).

Usman melanjutkan, dengan adanya garis polisi tidak boleh ada orang yang melewati garis polisi itu. Selain itu polisi juga tidak memperlihatkan lokasi persis kejadian, mobil persis, orang-orang yang bisa menjadi saksi sebagai bukti.

"Hal semacam itu menimbulkan tanda tanya besar bahwa benar ngga apa tidak yang dikatakan oleh polisi. Banyak yang meragukan itu, hampir semua kalangan. Nah itu yang sekarang Sedang diselidiki oleh Komnas HAM," jelasnya.

Menurut Usman, atas penanganan peristiwa itu, profesionalisme Polri sangat menurun tajam. "Yang pasti untuk kasus itu jelas bermasalah," tegasnya.

Selanjutnya, perihal mobil korban atau yang dianggap tersangka sampai saat ini belum diperlihatkan dengan jelas. Menurut Usman seperti yang telah diungkapkan bahwa lokasi persis, barang bukti persis harusnya semua di garis polisi. Di olah TKP secara ilmiah. Dikerahkan ahli forensik, ahli-ahli sidik jari, sidik kaki.

"Jadi pendekatannya harus berbasis ilmiah bukan berbasis klaim-klaim, cerita sepihak begitu. Itu yang saya kira sejak awal memang menimbulkan keragu-raguan. Apakah yang disampaikan oleh polisi benar?," tuturnya.

Jadi, menurutnya, selama ini apa yang dikatakan oleh pihak polisi baru sekedar perkataan saja tapi belum bisa dibuktikan secara fakta. "Belum. Belum bisa. Belum bisa dipercaya derajat keilmiahannya itu. Tingkat keilmiahannya itu," cetus Usman.

Usman menyarankan agar Komnas HAM dalam menginvestigasi kasus itu difokuskan ke sana. Supaya lebih kuat nanti kesimpulan, apakah peristiwa itu merupakan masalah pembunuhan, penyiksaan, penyiksaan dan pembunuhan dan seterusnya. Siapa yang melakukan, dimana dilakukannya, siapa saksinya, apa buktinya, siapa keterangan ahlinya nanti yang bisa menjelaskan.

"Jadi hal-hal semacam itu saya kira yang perlu di garis bawahi. Yang pasti itu, sekilas jelas diragukanlah apa yang di klaim dalam konferensi pers pertama," ujarnya.

Selain itu, menurut Usman yang harus ditekankan adalah apakah ada penyiksaan atau tidak pada saat peristiwa itu terjadi.

Sementara menurut Pakar Hukum Ahli Pidana Universitas Indonesia Tengku Nasrullah mengatakan apakah benar ada kontak senjata? Sekarang ini begitu banyak beredar foto-foto, video tentang korban 6 orang itu.

"Saya tidak melihat kalau 6 korban itu, kalau memang FPI ada senjata, kenapa dari pihak polisi tidak ada satupun yang luka, yang korban? (Sedangkan) FPI 6 enamnya meninggal dengan peluru yang sama, dititik yang sama," kata Nasrullah kepada Gresnews.

Nasrullah mengatakan tidak ingin berpihak kepada Polri maupun FPI tapi prihatin dengan sumber daya manusia, oknum-oknum yang ada di kepolisian.

Menurutnya ulah oknum polisi ini mengerikan, orang-orang, manusia yang sakit jiwa yang membunuh orang lain seperti itu. Menyiksa segala macam, menyeret. Itu tidak boleh ada didalam tubuh Polri.


Kalau dia pelakunya adalah anggota Polri, dia harus dipecat dan dihukum, hukum mati. Karena apa? Kejahatan yang dia lakukan itu mengerikan.

Kalau bila terus ada disitu akan terulang-terulang. Karena ini kalau orang tidak sakit jiwa, tidak mungkin melakukan kejahatan seperti itu.

"Masa kita melindungi orang-orang yang psikopat. Itukan psikopat itu. Coba bisa menyiksa orang kayak begitu! Apa kita boleh membiarkan didalam tubuh Polri ada manusia manusia psikopat kaya begitu? Tidak boleh," tegas Nasrullah.

Jadi, menurutnya, ini bukan persoalan mengkritik Polri atau membela FPI. Ini persoalan ada manusia psikopat didalam tubuh Polri. Kalau tidak ada kelainan jiwa tidak mungkin dia bisa menyiksa orang sampai seperti itu. Luka-luka dipunggung, lebam, sampai kemudian di dor- dor.

"Itukan ada gangguan jiwa pelakunya. Jangan-jangan dia sudah terbiasa dengan perilaku kayak begitu," ucapnya.

Kemudian, Nasrullah mengatakan, `Hai Pak Jokowi, enam orang ini anak bangsa loh! Enam orang ini putra-putri terbaik bangsa loh! Putra-putra Indonesia loh! Enam orang ini punya bapak punya Ibu. Enam orang ini tidak berbeda dengan Gibran! Dan sama enam orang ini anak-anak yang seperti bagaimana Gibran punya bapaknya punya ibunya- coba bapak Jokowi bayangkan apabila terjadi pada Gibran seperti itu. "Gimana rasanya Pak Jokowi?`", cetusnya.

Oleh karena itu tegakkan keadilan. Jangan ada sedikitpun manipulasi fakta, jangan ada sedikitpun perlindungan yang diberikan pada pelaku kejahatan. Dan tegakkan hukum sebaik-baiknya. Agar tidak ada lagi anak anak bangsa kedepan yang seperti itu.

Sekarang, kata Nasrullah, pertanyaannya adalah ada apa Polri itu turun melakukan pemantauan terhadap perjalanan Habib Rizieq. Siapa tim itu, tim mana itu, Polri atau bukan? Perintah siapa itu memantau Habib Rizieq dengan cara-cara seperti itu?

"Saya rasa pelaku eksekusi yang psikopat tadi. Itupun tidak mengeksekusi begitu saja tanpa ada petunjuk lebih lanjut sebelumnya," tuturnya.

Nasrullah mempertanyakan, bagaimana dia berani membunuh enam orang kalau tidak ada perintah menghabisi atau apa? Persoalannya siapa yang memerintahkan itu? Usut tuntas, buka selebar lebarnya.

"Kadang-kadang kan untuk perkara P21 kan itu kan ada berbagai pihak yang datang ke kejaksaan, bilang ini merah putih, misalnya. Akhirnya dipaksakan itu lima perkara itu," terangnya.

Nasrullah menegaskan bahwa polisi harus bisa menjelaskan kalau memang Kapolda mengatakan ada kontak senjata dengan polisi. Masa yang mengintai itu adalah polisi. Untuk apa intai Habib Rizieq? Kenapa sampai dikejar kayak begitu? Habib Rizieq belum tersangka saat itu. Masih dipanggil sebagai saksi. Terus ada apa? Andai saja itu kegiatan intelejen, tidak ada istilahnya bisa terdengar kontak senjata antara polisi dengan FPI.

"Karena intelijen itu kan pakaian sipil. Bagaimana kita tahu itu aparat penegak hukum? Nah itulah yang saya bilang stress
kalau kita lihat negara seperti itu," ungkapnya.

"Kalau saya jelas jelas mengatakan bahwa Komnas HAM harus bergerak, independen, harus berani," pungkasnya. (G-2)

BACA JUGA: