JAKARTA - Tersangka penyuap mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Hiendra Soenjoto, rupanya sempat ingin menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun tak jadi lantaran ada pembisiknya sehingga ia mengurungkan niatnya.

Hal itu diungkapkan pengacara kakak Hiendra, Hengky Soenjoto, bernama Muhammad Bashori, saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (23/12/2020).

Bashori mengaku pernah dihubungi seseorang bernama Maqdir Ismail. Saat itu, Hiendra Soenjoto masih berstatus buronan alias masuk DPO.

Jaksa KPK Wawan Yunarwanto lantas membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Muhammad Bashori. Dalam BAP, Bashori mengaku pernah didatangi dua orang laki-laki yang kemudian memberikan telepon genggam padanya. Peristiwa itu terjadi pada 6 Juli 2020.

"Pak Bas ada yang mau bicara, saya meyakini orang itu adalah orang Multicon atau eks Multicon, setelah saya terima dan katakan `halo`, saya yakini orang yang bicara adalah Hiendra, Hiendra bilang `Pak Bas ini ada penjelasan Pak Maqdir, silakan bicara, ini saya berikan HP-nya`. Ini benar ada?" tanya jaksa Jaksa Wawan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diikuti Gresnews.com, Rabu, (23/12/2020).

Bashori menyebut BAP tersebut benar adanya. Namun, menurut Bashori, saat itu telepon langsung terputus. Kemudian tak lama berselang ada sambungan telepon kedua yang masuk ke dalam ponsel tersebut.

"Kemudian telepon terputus, saya tunggu lagi ada telepon masuk, itu memperkenalkan `Halo Pak Bashori, kenalkan saya Pak Maqdir`," kata Bashori.

Dalam percakapan itu, Maqdir memberikan nasihat tentang Praperadilan. Lalu Bashori menjelaskan ke dia. Hengky tidak akan melakukan praperadilan karena tidak ada prosedur yang dilampaui. Termasuk yang terkait bukti penggeledahan.

"Jadi karena saya selaku kuasa hukum Hengky gak ada alasan praperadilan terkait bukti," ujar Bashori.

Mengenai orang yang mengaku sebagai Maqdir Ismail, Bashori menyampaikan hal itu ke penyidik KPK. Dia tidak tahu apakah itu Maqdir atau bukan, karena orang itu mengaku namanya Makdir.

"Saya juga gak kenal. Pembicaraan itu awal terputus gak ada satu menit terputus sambung lagi-lagi," ulasnya.

Setelah peristiwa itu, Bashori mengaku tidak lagi berkomunikasi dengan Hiendra atau pun orang yang memperkenalkan diri sebagai Maqdir. Bahkan, Bashori juga saat itu tidak mengajukan praperadilan untuk kakak Hiendra, Hengky Soenjoto.

Kendati demikian, Bashori mengaku sempat dihubungi seseorang saat hendak ke KPK. Dalam sambungan telepon, orang tersebut meminta bertemu sebelum datang ke KPK.

"Apa saudara janjian sama Maqdir di Jakarta pada waktu mau memberikan keterangan di KPK?" tanya jaksa Wawan.

"Saya tidak ada janjian, cuma saya diarahkan ada orang yang menghubungi saya. Jadi sepanjang perjalanan (ke Jakarta), saya dikontak orang dan itu pun saya infokan ke KPK," kata Bashori.

Bashori juga menjelaskan saat bertelepon dengan orang yang diduganya sebagai Hiendra. Dalam percakapan, Hiendra menjelaskan panjang lebar, dia tak terlibat dalam perkara suap ini.

"Dia menyampaikan kalau cerita panjang lebar terkait perkara yang dialaminya tak ada kaitannya antara dia dengan Nurhadi, karena versi beliau itu direkayasa dan dia merasa dizalimi," beber Bashori.

Setelah itu, bos PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) itu menanyakan kepada Bashori soal penggeledahan yang dilakukan penyidik KPK di rumah kakaknya, Hengky.

"Saya sampaikan `Pak saya diminta Hengky untuk koperatif pada KPK, bapak lebih baik serahkan diri sendiri. Karena yang dibuat susah mama-nya sakit, Hengky sakit, semuanya jadi masalah` itu yang saya sarankan beliau," imbuhnya.

pa respon Hiendra? Jaksa membacakan BAP Bashori. Dalam BAP itu dia menyatakan, Hiendra mengaku ingin datang ke KPK, menyerahkan diri.

"Setelah mendengar kata-kata tersebut Hiendra Soenjoto mengatakan ke saya `sebenarnya dari awal kepingin datang ke KPK untuk menegaskan kalau saya nggak ada keterkaitan dengan perkara ini, cuma masalahnya orang-orang sekeliling saya menghendaki saya agar supaya menunggu proses sidang N maksudnya Nurhadi`, benar?" tanya jaksa KPK.

"Iya. Itu pembisik-pembisik luar, supaya dia tidak menyerahkan diri dulu," jawab Bashori.

Dia mengaku tidak tahu siapa yang dimaksud `orang-orang sekeliling Hiendra`. Hal itu tak ditanyakannya kepada Hiendra. Akhirnya, komisi antirasuah menetapkan Hiendra itu sebagai buronan dan memasukannya ke dalam daftar pencarian orang (DPO).

Dalam dakwaan Nurhadi dan Rekzy, jaksa penuntut umum KPK (JPU KPK) mengungkap Hiendra telah memberi suap senilai total Rp 45.726.955.000 kepada Nurhadi dan Rezky.

Suap tersebut diberikan agar Nurhadi dan menantunya mengurus perkara antara PT MIT dan PT Kawasan Berikat Nusantara (PT KBN) terkait sewa menyewa depo kontainer milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan seluas 26.800 meter persegi di wilayah KBN Marunda.

Selain itu, Hiendra juga menyuap Nurhadi untuk mengurus gugatan perdata yang diajukan Azhar Umar melawan dirinya terkait Rapat Umum Pemengang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT MIT. Di samping itu, Nurhadi dan Rezky juga didakwa menerima gratifikasi senilai total Rp 37.287.000.000 dari para pihak yang memiliki perkara di lingkungan pengadilan.

Atas perbuatannya itu, Nurhadi dan Rezky didakwa dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP dan Pasal 12 B UU Tipikor jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP. (G-2)

BACA JUGA: