JAKARTA- Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU), Yenti Garnasih dalam sidang kasus dugaan suap terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Joko Tjandra dengan terdakwa jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Dalam sidang tersebut, Yenti menjelaskan soal pelaku dalam kejahatan TPPU. Itu disampaikannya saat JPU memberikan contoh kasus saat seorang aparatur sipil negara menerima pemberian uang sebesar US$500 ribu yang lebih besar dari penghasilannya.

"Kemudian diberikan rekannya US$50 ribu, sisanya US$450 ribu. Kemudian uang yang hasil dalam bentuk dolar langsung ditukar rupiah di money changer dengan menyuruh orang lain tapi atas nama yang bersangkutan juga, kemudian uang di rupiahkan. Maka uang itu digunakan untuk membelikan kendaraan, kemudian transfer ke saudaranya, kemudian digunakan belanjakan mobil, kemudian bayarkan kartu kredit," papar JPU di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta yang dihadiri Gresnews.com, Jumat (18/12).

Yenti menjelaskan apabila uang US$500 ribu itu berasal dari hasil kejahatan, maka siapapun yang terlibat saat proses mentransfer dan membelanjakannya adalah pelaku TPPU aktif.

"Siapapun yang menerima adalah (pelaku) pasif, tapi tetap kembali kepada pasalnya bukan hanya unsur objektif saja," jelas Yenti.

Menurutnya, yang terpenting dalam penetapan seseorang sebagai pelaku pasif TPPU adalah terpenuhinya unsur subjektif. Contohnya, orang yang disuruh untuk menukarkan uang ke money changer patut menduga bahwa uang tersebut berasal dari hasil kejahatan. Bahkan bila uang tersebut digunakan untuk berobat sekalipun.

Kuasa Hukum Pinangki, Aldres Napitupulu juga bertanya tentang unsur menyembunyikan asal usul perbuatan.

"Tadi kan saudara ahli sudah menerangkan bahwa dipakai untuk berobat pun, singkatnya adalah pencucian uang. Kemudian yang mau saya tanya kalau hal seperti itu, unsur menyembunyikan atau menyamarkan asal-usulnya di perbuatan yang mana ya, bu?," tanya Aldres.

Kemudian Yenti menjelaskan bahwa misalnya, uang hasil korupsinya itu sudah tidak ada. Kemudian dia menggunakan untuk membayar biaya perobatan. Dia paling tidak telah menyamarkan bahwa uang itu sudah tidak ada pada dia lagi.

"Karena kita menggunakan teori yang pertama kali filosofinya adalah menikmati hasil kejahatan," kata Yenti menjelaskan.

Kemudian, Aldres melanjutkan pertanyaannya kembali. Bagaimana kalau disumbangkan ke lembaga sosial. "Apakah dengan diberikan kepada pihak lain sama sekali tidak kembali kepada si pemilik uang, Apakah dengan diberikan ke lembaga-lembaga sosial termasuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, itu aja?," cecar Aldres.

Menurut Yenti, menikmati itu jangan diartikan bahwa hanya dapat saja. Tapi termasuk untuk membeli, menjual, membayar. Kalau dalam bahasa sosial seolah-olah itu tidak menikmati. Dia mencontohkan misalnya, orang habis gajian. Apa kata masyarakat, orang mau menikmati hasil jerih payah dengan mentraktir, itu kan menikmati.

Jadi kembali dalam bahasa sosial bahwa hukum itu juga tidak lepas dari yang dibentuk itu. Hal itu termasuk menikmati hasil kejahatan, juga berobat.

"Harusnya kan dia bayar berobat pakai uangnya sendiri. Kali ini dia bayar berobat pakai uang hasil kejahatan," jelas Yenti.

Termasuk, kata Yenti, ketika ditransfer ke rekening sendiri, itu juga pencucian uang juga.

Selain itu, tim penasihat hukum Pinangki lainnya, Jefri Moses mempertanyakan berkenaan dengan pembuktian predikat crime. Predikat crime itu sangat penting. Salah satunya tadi diilustrasikan, jangan sampai nanti disuatu hari, ketika barang-barang yang sudah di kita, tahu-tahunya bukan dari predikat crime, yang tadi dituduhkan diawal.

Jefri coba menanyakan dengan sebuah contoh. Misalkan, seseorang dituduhkan dengan predikat crime hasil korupsi Rp100 ribu. Kemudian dituduhkan dalam proses TPPU-nya didakwakannya mengkonsumsi atau menggunakan uangnya lebih daripada predikat crime yang dituduhkan. Misalnya Rp200 ribu.

"Pertanyaan saya, terhadap Rp100 ribu lebihnya apakah juga dibebankan pembuktian juga atau itu termasuk TPPU juga?," tanya Jefri ke saksi Yenti.

Yenti pun menegaskan bahwa itu tidak masuk TPPU. Tapi TPPU itu ada hasil kejahatan kalau hal dalam korupsi. Ini yang dia sampaikan, bahwa dalam hal korupsi itu penyitaannya berbeda karena hukum di Indonesia punya pasal 18 sebagai kuasi perdata, uang pengganti.

Uang pengganti secara perdata seperti diketahui bahwa uang pengganti itu bukan hanya digantikan oleh dia sendiri bahkan oleh siapa pun.

Maka kalau untuk korupsi dan TPPU kalau dia akan menyitanya dengan TPPU, barang-barang itu disita dengan TPPU yang nanti kalau terbukti akan diputus, dirampas menurut putusan pengadilan itu memang dari hasil kejahatan. Tetapi kalau disitanya melalui pendekatan korupsi memang bisa jadi yang disita juga bukan dari hasil korupsi.

Karena sudah disepakati bahwa di Indonesia kan seperti itu, yang diikuti adalah bahwa untuk uang pengganti itu, sejumlah itu, bahkan itu kuasi perdata, sudah diakui sejak tahun 1999. "Jadi seperti itu untuk pendekatan penyitaannya yang berbeda," tutur Yenti.

Lanjut Jefri, bila sisa uang Rp 100 ribu bukan dari suatu tindak pidana yang didakwakan, bagaimana?

Menurut Yenti, tidak apa-apa. Hal itu biasanya dikembalikan dalam putusan nanti bahwa yang disita bukan hasil korupsi dan dikembalikan.

"Sebetulnya Anda (Jefri) mempermasalahkan apanya, nggak masalah itu yang Rp100 ribu itu dari yang itu, mungkin dari yang ini," terang Yenti.

Selanjutnya, kata Jefri, misalnya ada seseorang yang sedang didakwa TPPU, dia memiliki sumber uang lainnya yang memang pada saat itu tidak pernah dilaporkan. Bukan dari hasil pekerjaan dia tapi misalnya, dari warisan orang tua, bentuknya warisan. Namun memang tidak pernah dilaporkan.

"Kemudian secara kehidupan sehari-hari, baik dari tahun-tahun sebelumnya secara profil orang ini mampulah untuk mengakomodir hidup dia lebih daripada gaji dia. Hal tersebut apakah juga akan menjadi masalah dalam pembuktian TPPU?," cecar Jefri.

Yenti pun menuturkan bahwa ini sudah masuk pada pembuktian. Artinya pada dakwaan, penyidik sudah mengumpulkan bukti-bukti itu, kan ada bukti. Menurut penyidik itu buktinya dari TPPU, itu kan. Kalau berkaitan dengan pernyataan ini adalah terdakwa membela bahwa itu bukan dari TPPU.

Nanti silahkan saja, apakah ada yang bisa mematahkan bukti yang disampaikan oleh JPU. Sampaikan saja dengan cara-cara, baik dalam pembuktian diawal proses.

Kemudian hukum di Indonesia sudah menambah dengan pembuktian terbalik untuk negara-negara tertentu. Meskipun itu tidak seluruh dunia tapi Indonesia sudah dengan beberapa negara sudah mengambil pembuktian terbalik.

"Itu yang bisa dimanfaatkan. Bisa tidak mematahkan apa yang menjadi bukti dari Jaksa. Itu saja, seperti biasa," tandasnya.

Pinangki Sirna Malasari didakwa menerima uang senilai US$500 ribu dari komitmen fee US$1 juta. Uang tersebut diterima Pinangki dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa di Mahkamah Agung (MA). Fatwa MA diperlukan agar Djoko Tjandra bisa lepas dari eksekusi pidana penjara kasus korupsi hak tagih Bank Bali.

Pinangki diancam Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31/1999 diubah Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor subsider Pasal 11 UU Tipikor.

Selain itu, Pinangki didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dia diancam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Dan didakwa melakukan pemufakatan jahat dan dijerat Pasal 15 jo Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor. (G-2)

BACA JUGA: