JAKARTA - Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq ajukan Peninjauan Kembali atas vonis Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi.

MA menjatuhkan pidana 18 tahun penjara pada Lutfhi terkait perkara korupsi kuota impor daging sapi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Luthfi merasa diperlakukan tidak adil atas pidana 18 tahun yang dijatuhkan. Setelah menjalani pidana 7 tahun Lutfi mengaku telah menemukan alasan untuk ajukan PK.

Antara lain terdapat kekeliruan hakim yakni terkait ada 3 putusan yang memiliki kemiripan diantaranya dengan putusan Irman Gusman, Idrus Marham dan Lutfi Hasan Ishaq.

Tim kuasa hukum Luthfi Hasan, Sugiyono, menyatakan Irman dan Idrus dinyatakan tidak terbukti dalam kasus suap dan berubah menjadi gratifikasi. Sementara Luthfi Hasan dinyatakan menerima suap.

Hakim tidak pernah mengubah penilaian baik dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi. Sementara Irman dan Idrus Marham berubah dari suap kemudian dinyatakan terima gratifikasi.

"Hukuman mantan Ketua DPD RI Irman Gusman dikurangi dari 4,5 tahun menjadi 3 tahun dan Politisi Golkar Idrus Marham yang semula 5 tahun menjadi 3 tahun hukuman, sementara Luthfi malah dinaikan dari 16 tahun menjadi 18 tahun pidana penjara," kata Sugiyono dalam persidangan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diikuti Gresnews.com, Rabu (16/12/2020).

Dengan adanya kemiripan dan ketidakmiripan tersebut, Luthfi dan pengacaranya meminta agar hukuman direvisi.

Adapun terkait pencucian uang, pengacara Luthfi menyatakan tidak ada bukti adanya pidana asal yakni korupsi.

Menurut Sugiyono, JPU KPK telah gagal membuktikan bahwa asal aset berasal dari korupsi diantaranya berupa kendaraan Mitsubishi Grandis, VW Caravelle, Alphard, Volvo, Pajero, Nissan Frontier, Mazda, 2 buah Rumah di Jakarta selatan, 2 unit Cluster di Jakarta Timur serta tanah di kawasan Kebagusan Jakarta Selatan dan Bogor.

Serta penerimaan uang dari Yudhi Setiawan, tidak jelas karena yang bersangkutan tidak pernah menyampaikannya tujuan memberi uang.

Luthfi melalui pengacaranya memohon agar majelis membebaskan dari hukuman atas pidana korupsi dan pencucian uang yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung.

Adapun pihak Luthfi Hasan Ishaq dalam persidangan PK kali ini menyerahkan bukti-bukti berupa surat.

"Kami menyerahkan bukti berupa surat-surat yang mulia," tandasnya.

Di luar persidangan Sugiyono menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi seperti tadi sudah disebutkan didalam memori kasasi bahwa Luthfi Hasan Ishaq diputus atau divonis oleh Mahkamah Agung, suap. Padahal Luthfi tidak menerima uang dan tidak memiliki wewenang dibidangnya.

Misalnya dalam masalah kuota daging karena Luthfi Hasan Ishaq pada waktu itu adalah anggota l DPR yang bidang kerjanya adalah hubungan luar negeri, politik dan pertahanan.

Kemudian kedua adalah berkenaan dengan keberatan Luthfi mengenai divonis tindak pidana pencucian uang. Kenapa? Tadi sudah disebutkan tindak pidana pencucian uang biasanya disandingkan dengan pidana pokok.

Tindak pidana pokoknya adalah korupsi yang dulu didakwakan bersama-sama dengan Fathonah. Padahal Luthfi tidak menerima Rp1,3 miliar.

"Jadi bagaimana tidak menerima duit tapi bisa mencuci, mentransfer, menempatkan, membayar dan lain-lain. Jadi beliau keberatan," kata Sugiyono kepada Gresnews.com.

Kemudian, khusus tipikor yang terjadi sebelum tahun 2010, yaitu 2002 dan 2003, Tata cara pembuktiannya itu tidak memenuhi syarat seperti yang ada didalam Pasal 184 dan 183 KUHP.

Yaitu harus dengan dua alat bukti cukup. Bukan hanya dengan alat bukti, Misalnya tidak tercantum didalam LHKPN saja, atau menurut ditambah keterangan ahli.

"Ini korupsi korupsinya apa? Hanya tidak dicantumkan di LHKPN, Itu misalnya mobil tidak dicantumkan di LHKPN, diduga dari korupsi. Korupsinya korupsi apa, Kapan, bagaimana? Kalau ada kerugian-kerugian negara seperti apa?" kata Sugiyono.

Selain itu, Sugiyono ia mengatakan bahwa hasil penelitian sudah jelas bahwa jual pengaruh atau trading influence itu bukan merupakan tindak pidana. Belum menjadi hukum positif. Yang menjadi tindak pidana adalah suap. Sementara suap Lutfhi tidak mempunyai kewenangan dibidang yang berkenaan dengan masalah daging.

"Jadi kalau begitu dimana letak suapnya? Keliru dong kalau begitu," tuturnya.

Selain itu juga Sugiyono menerangkan mengenai bukti baru. Bahwa pada pokoknya dokumen-dokumen itu mendukung bahwa vonis suap itu kurang tepat. Demikian pula dengan pencucian uang.

"Bukti-bukti barunya itu sebetulnya vonis Irman Gusman dan Idrus Marham itu baru. Tapi Tidak kita kualifikasinya sebagai Novum. Hanya bukti Pendukung saja untuk menguatkan dalil kita bahwa yang tidak memiliki kewenangan itu memang yang lebih tepat bukan suap," tandasnya.

Luthfi Hasan Ishaaq sebelumnya dipidana penjara selama 16 tahun dan denda Rp1 miliar subsidair satu tahun kurungan. Putusan tersebut lebih berat dari vonis terdakwa sebelumnya, Ahmad Fathanah yang dihukum 14 tahun penjara.

Luthfi telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama Fathanah sebagaimana dakwaan kesatu pertama, Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain itu, perbuatan Luthfi telah memenuhi semua unsur tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam dakwan kedua dan ketiga.

Luthfi terbukti menerima uang Rp1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman melalui Fathanah dan Elda Devianne Adiningrat. Luthfi juga terbukti menerima janji Rp40 miliar untuk pengurusan penambahan kuota impor daging sapi PT Indoguna.

Luthfi memfasilitasi pertemuan Elizabeth dengan Mentan Suswono di kamar hotelnya di Medan dan melakukan sejumlah upaya untuk membantu Elizabeth mendapatkan rekomendasi penambahan kuota impor daging sapi dari Mentan. Perbuatan itu dilakukan Luthfi karena adanya fee Rp40 miliar yang dijanjikan Elizabeth.

Sedangkan Purwono Edi Santoso selaku anggota Majelis Hakim menyatakan Luthfi terbukti melakukan TPPU dalam rentang waktu 2004-2012. Luthfi terbukti menerima penempatan uang, mentransfer, membayarkan, serta membelanjakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga bersumber dari tindak pidana korupsi.

Selain itu, Luthfi tidak melaporkan secara jujur semua rekening miliknya dalam LHKPN. Luthfi juga tidak pernah mencantumkan utang piutang dan penghasilan lainnya di luar penghasilan sebagai anggota DPR. Padahal, Luthfi melakukan sejumlah transaksi dengan rekening tersebut.

Dalam LHKPN, Luthfi tercatat memiliki harta kekayaan Rp2,518 miliar. Harta itu didapat dari gaji dan tunjangan Luthfi sebagai anggota DPR ditambah dana operasional dari DPP PKS. Namun, untuk membiayai kebutuhan keluarga, Luthfi mengeluarkan Rp764 juta per tahun. Jumlah transaksi yang dilakukan Luthfi dianggap tidak sesuai dengan profil.

Pada periode Maret 2007-Desember 2008, Luthfi membayarkan Rp350 juta dan Rp1,5 miliar kepada Hilmi Aminudin untuk pembelian Nissan Frontier dan rumah di Jl Loji Timur No 24, Cipanas, Pacet, Cianjur. Luthfi kembali membelanjakan Rp3,5 miliar untuk pembelian lima bidang tanah di Desa Leuwimekar, Leuwiliang, Bogor.

Kemudian pada 2009, Luthfi menerima transfer Rp1,787 miliar dan hibah Mitsubishi Pajero Sport senilai Rp445 juta dari Ahmad Maulana. Luthfi juga menerima penempatan Rp1,84 miliar dan membelanjakan Rp10,308 miliar untuk sejumlah kendaraan bermotor dan properti, seperti mobil Mazda CX-9, Volvo XC 60 T6 AWD, dan Toyota Alphard.

Namun demikian, Luthfi mengaku memiliki penghasilan lain selaku komisaris utama PT Sirat Inti Buana, keterangan tersebut tidak dapat diterima majelis. Purwono menyatakan, PT Sirat tidak memiliki operasional dan memberikan keuntungan. Malahan, salah seorang saksi di persidangan mengaku tidak mendapatkan gaji dari PT Sirat.

Majelis juga tidak dapat menerima keterangan Ahmad Maulana yang memberikan mobil Pajero Sport Exceed AT 4x4 sebagai wujud sedekah seorang murid kepada gurunya. Purwono menganggap pemberian itu sebagai gratifikasi yang seharusnya dilaporkan Luthfi ke KPK. Sama halnya dengan VW Caravelle milik Luthfi yang ada di DPP PKS.

Seorang saksi mengaku Luthfi meminta mobil tersebut dimasukan ke dalam daftar inventaris PKS setelah penangkapan Fathanah. Selain itu, majelis tidak menerima keterangan menantu Luthfi, Shamil Gadzhima yang mengaku membeli rumah di Kebagusan dan mobil Toyota Alphard karena tidak didukung bukti-bukti.

Luthfi juga dianggap terbukti melakukan TPPU bersama-sama Fathanah dan Yudi Setiawan. Pemilik PT Cipta Inti Parmindo, PT Cipta Terang Abadi, PT Cipta Kelola Bersama, dan CV Visi Nara Utama ini beberapa kali melakukan pertemuan dengan Luthfi dan Fathanah untuk membahas rencana lelang tahun 2012 dan 2013 di Kementan.

Ada beberapa proyek, seperti pengadaan benih jagung hibrida, bibit kopi, bibit pisang dan kentang, pengadaan laboratorium benih padi, proyek bantuan bio komposer, pupuk NPK, serta proyek bantuan sarana light trap, pengadaan hand tractor dan kuota daging sapi di Kementan yang rencananya diijon oleh Yudi.

Purwono mengungkapkan, dari hasil pertemuan, Luthfi, Fathanah, dan Yudi menyepakati proyek-proyek itu akan diijon dengan komisi satu persen dari nilai pagu anggaran. Luthfi menerima sejumlah uang dari Yudi secara langsung maupun melalui Fathanah. Luthfi juga menerima pembelian Toyota FJ Cruiser, Mazda CX-9, dan jas mewah.

Dengan demikian, majelis menganggap Luthfi terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan TPPU. Namun, putusan tidak diambil secara bulat. Anggota majelis, I Made Hendra dan Djoko Subagyo tidak sependapat mengenai kewenangan jaksa KPK melakukan penuntutan terhadap TPPU. Keduanya menyatakan dissenting opinion.

Hakim anggota tiga, Hendra menjelaskan, dakwaan terkait TPPU tidak dapat diterima karena jaksa KPK tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap perkara TPPU. Dalam UU Nomor 8 Tahun 2010, kewenangan pemblokiran dan penuntutan TPPU merupakan kewenangan jaksa yang berada di bawah Jaksa Agung. (G-2)

BACA JUGA: