JAKARTA - Jaksa menuntut pendiri Mulia Group Joko Soegiarto Tjandra hukuman dua tahun penjara dalam perkara surat jalan palsu di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

"Menuntut agar majelis hakim memutuskan agar Joko Tjandra alias Joko Sugiarto Tjandra atau Djokcan telah terbukti melakukan tindak pidana dan menjatuhkan hukuman dengan pidana penjara selama dua tahun," kata anggota tim JPU Yeni Trimulyani dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang diikuti Gresnews.com, Jumat (4/12/2020).

Menurut Yeni, tuntutan tersebut didasarkan pada keterangan fakta persidangan dan sejumlah barang bukti yang dibacakan secara terperinci sebagai dasar pertimbangan tuntutan. Selain itu Yeni mengatakan hukuman itu diberikan jaksa dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan bahwa terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan sehingga menyulitkan persidangan. "Kemudian hal-hal yang meringankan melihat terdakwa Joko yang sudah berusia lanjut," jelasnya.

Joko didakwa diancam Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Yeni menyebutkan untuk barang bukti yang menjadi dasar tuntutan diantaranya paspor atas nama Joko Tjandra yang dikeluarkan Imigrasi Jakarta Selatan, satu unit komputer, satu korek api, tujuh handphone, satu lembar surat jalan atas nama Brigjen Prasetijo Utomo dengan Kompol Jhony Andrijanto, satu kertas HVS dengan kop surat atas nama Brigjen Prasetijo yang dipakai dalam perkara lain.

Sebelumnya Joko Tjandra telah didakwa bersama-sama Anita Dewi Anggraeni Kolopaking dan Brigjen Prasetijo Utomo memalsukan surat untuk kepentingan beberapa hal. Joko Tjandra saat itu berstatus terpidana perkara pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali yang jadi buron sejak 2009.

Dalam sidang perdana yang dilaksanakan pada Selasa (13/10), JPU sempat menyebut jika Brigjen Prasetijo Utomo mencoret nama Kabareskrim, Komjen Listyo Sigit. Pasalnya, dalam mekanisme pembuatan surat jalan, seharusnya ditandatangani oleh Komjen Listyo.

Oleh Brigjen Prasetijo, nama atasannya dicoret agar surat jalan palsu bisa segera terbit. Dia yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, meminta bawahannya untuk merevisi surat jalan tersebut.

"Untuk pejabat yang menandatangani sebelumnya tertulis Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dicoret dan diganti menjadi Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS. Nama Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo dicoret dan diganti menjadi nama saksi Brigjen Prasetijo Utomo dan pada bagian tembusan dicoret atau tidak perlu dicantumkan tembusan," kata jaksa di ruang utama Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Keterlibatan Brigjen Prasetijo dalam perkara ini bermula saat Anita Kolopaking yang saat itu berstatus sebagai kuasa hukum Joko Tjandra mengurus Peninjauan Kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Saat itu, Joko Tjandra selaku pihak pemohon diwajibkan hadir untuk mendaftarkan PK tersebut. Joko Tjandra yang masih berstatus buronan saat itu sedang berada di negeri jiran, Malaysia.

Berkenaan dengan itu, Anita langsung meminta bantuan pada Brigjen Prasetijo.

Selanjutnya, Brigjen Prasetijo mengutus saksi bernama Dody Jaya selaku Kaur TU Ro Korwas PPNS Bareskrim Polri untuk membuat surat jalan ke Pontianak, Kalimantan Barat dengan keperluan bisnis tambang.

Terkait perubahan surat jalan tersebut, jaksa menyatakan jika hal itu tidak sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2017 tentang Naskah Dinas dan Data Persuratan Dinas di Lingkungan Polri. Namun, Brigjen Prasetijo tetap mengutus bawahannya agar tetap melakukan revisi surat.

Sementara Penasihat Hukum Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, Krisna Murti mengatakan bahwa agenda selanjutnya mereka akan melakukan nota pembelaan terhadap kliennya. "Terhadap tuntutan yang dibacakan oleh JPU, kami sanggah semua dalam nota pembelaan atau pledoi kami,"

Selain itu, Krisna mengatakan bahwa Joko dianggap yang melakukan inisiasi dari awal. Hal itu jelas karena di Indonesia sedang pandemi covid-19. Dan yang diutarakan pada Anita Kolopaking waktu itu adalah menjadi lawyer-nya, dimana dia melakukan tes COVID-19, di RS di Kalimantan.

"Artinya di Pontianak dia minta petunjuk. Di mana dia bisa melakukan tes COVID-19. Lalu, setelah itu, Anita ketemu Prasetijo, dan Prasetijo lah yang mengatakan "semua diberesin". Semua akan menjadi tanggung jawab dia terkait masalah surat itu. Selesai di situ," jelas Krisna.

Krisna menuturkan bahwa kliennya tidak tahu sama sekali surat tersebut dan isinya pun salah.

"Klien kami tidak mengetahui keberadaan surat itu, isinya salah. Lihat saja tidak pernah, mana mungkin tahu isinya," tukasnya.

Joko dan Anita Kolopaking didakwa melanggar Pasal 263 ayat 1 KUHP junctoPasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP dan Pasal 263 ayat 2 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sedangkan untuk Prasetijo didakwa melanggar tiga pasal, yakni Pasal 263 ayat 1 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1, Pasal 426 ayat 2 KUHP juncto Pasal 64 KUHP ayat 1, dan Pasal 221 ayat 1 ke-2 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP. (G-2)

BACA JUGA: