JAKARTA - Saksi Brigjen Nugroho Slamet Wibowo Nugroho, yang sempat menjabat Sekretaris NCB Interpol Indonesia Divisi Hubungab Internasional Polri, mengakui adanya surat permintaan penghapusan red notice Joko Tjandra ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Nugroho memberikan penjelasan bahwa surat yang ditandatanganinya adalah atas arahan dari mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dalam persidangan dengan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra.

Nugroho dituding mengeluarkan surat terkait penyampaian penghapusan interpol red notice Joko Tjandra kepada Dirjen Imigrasi.

Hal tersebut tertuang dalam surat No: B/186/V/2020/NCB.Div.HI tertanggal 5 Mei 2020 perihal penyampaian penghapusan interpol red notice.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta penjelasan kepada Nugroho terkait surat Anna Boentaran tertanggal 16 April 2020 kepada NCB Interpol yang meminta pencabutan red notice atas nama Joko Tjandra, suami Anna.

"Apakah surat ini melalui mekanisme yang benar? Masuk lewat mana? Disposisi ke mana? Sampai ke Ses NCB bagaimana?
Ibu itu kan menanyakan statusnya dan memohon untuk menghapus sedangkan penghapusan bukan pribadi?" tanya Tim JPU di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diikuti Gresnews.com, Kamis (3/12/2020).

"Untuk surat ini, datangnya kepada Kadivhubinter dirapatkan. Lalu diberikan kepada Kabag. Kemudian diajukan kepada saya berupa konsep jawaban," jawab Nugroho.

Nugroho mengatakan bahwa dia tidak tahu siapa yang membawa surat Anna Boentaran di dalam rapat. "Sudah ada di Kadivhubinter, surat dipegang Kadivhubinter," katanya.

Lalu Kadivhubinter memanggilnya dan para pengemban fungsi ke interpol membicarakan surat itu. Lalu diperintahkan untuk menjawab surat tersebut.

Menurutnya, Nugroho belum membaca surat itu saat rapat karena dipegang Kabag kemudian Kabag ajukan konsep. Lalu Nugroho membaca setelah surat itu ditujukan kepadanya.

"Sekilas saya baca minta permohonan cabut red notice," tuturnya.

Nugroho kembali menerangkan bahwa dia membaca setelah ada konsep surat jawaban kepadanya. Kemudian Ia tanyakan apakah ini lazim, apakah ini sudah sesuai perintah? Jawaban Kabag sudah dan bisa dikirim, perintahnya demikian kata komandannya, maka sesuai perintah ia lakukan.

Selain itu, mengenai lazim, Nugroho menjelaskan maksudnya adalah, apakah memang sistemnya seperti ini. Karena ia baru menjabat satu setengah bulan. Kemudian, apakah ini biasa jawabannya sudah perintah komandan. Komandannya itu sendiri adalah Kadivhubinter.

"Rapat sebelumnya apakah disitu ada perintah laksanakan saja ini atau kita bahas pelajari aturan terkait karena ada institusi lain dalam hal ini Kejaksaan?" Jaksa bertanya kembali.

"Keputusan rapat sudah laksanakan saja, arahannya demikian, segera buat konsep jawaban, ini perintah Kadivhubinter," jawab Nugroho.

Sementara, terkait imigrasi, surat tersebut yang telah dikirimkan ke Dirjen Imigrasi, Nugroho berharap ada balasannya.

"Karena surat bersifat informasi kita berharap supaya ada langkah yang dilakukam imigrasi dalam mekanisme dalam negeri," ujar Nugroho.

Namun harapannya tersebut tidak tertuang dalam surat itu. "Kalau tertuang gak ada," cetusnya.

Jadi, seharusnya pihak Dirjen Imigrasi bertanya mengenai surat dari Divhubinter tersebut. Meskipun tidak tertuang untuk membalas surat tersebut. "Ya, karena konsep surat udah demikian," cetus Nugroho.

Konsep surat itu, kata Nugroho, sudah diteliti secara berjenjang di birokrasi. Sehingga bila pimpinan telah mengarahkan dan memastikan sudah benar maka secara Tim Koordinasi interpol dan Ses NCB langsung menandatangani surat itu.

Adapun dari Ditjen Imigrasi tidak ada tanggapan sama sekali atas surat itu. Namun, Nugroho mengakui bahwa ada pihak Imigrasi yang menghubunginya.

"Saya dihubungi oleh Irjen Pol Reinhard Silitonga untuk menanyakan kebenaran surat ini dikirim interpol atau bukan lalu saya jawab betul dikirim interpol, ya sudah selesai," terangnya.

Selain itu, Nugroho membenarkan bahwa setelah itu tidak ada pembicaraan lagi antara dia dengan Irjenpol Reinhard Silitonga. "Benar," tegasnya.

JPU mendakwa Joko Soegiarto Tjandra memberi uang kepada Napoleon Bonaparte selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Napoleon Bonaparte dan Prasetijo Utomo selaku Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri.

Suap itu diduga diberikan agar Napoleon dan Prasetijo menghapus nama Joko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) di Ditjen Imigrasi Kemenkumham.

Kasus ini bermula dari keinginan Joko Tjandra masuk ke Indonesia untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) pada awal April 2020.

Joko Tjandra ingin mengajukan PK atas kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, di mana ia dijatuhi hukuman penjara dua tahun dan denda Rp15 juta subsider 3 bulan kurungan.

Untuk itu, Joko Tjandra meminta Tommy menanyakan perihal status red notice di Interpol atas namanya kepada NCB Interpol Indonesia di Divisi Hubungan Internasional Polri.

Joko Tjandra pun bersedia memberikan uang sebesar Rp10 miliar kepada pihak yang membantunya.

Tommy Sumardi kemudian meminta bantuan terdakwa lain, Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo. Tommy dikenalkan kepada Napoleon selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri oleh Prasetijo.

Joko Tjandra didakwa, pertama, melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP.

Kedua, Pasal 15 Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (G-2)

BACA JUGA: