JAKARTA - Joko Soegiarto Tjandra dihadirkan dalam persidangan perkara penghapusan red notice atas nama dirinya. Dia dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi atas terdakwa Tommy Sumardi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (26/11/2020).

Tommy didakwa turut serta melakukan pemberian uang sejumlah SG$200 ribu dan US$270 ribu kepada Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte dan memberi US$150 ribu kepada Kepala Biro Kordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo.

Tujuannya agar Napoleon dan Prasetijo menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.

"Saksi dengan terdakwa memiliki deal akhirnya di angka Rp10 miliar saat deal, apakah saksi jelaskan duduk perkara saksi ke terdakwa?" kata Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan yang diikuti Gresnews.com.

"Jelas, saya jelaskan mengenai background perkara secara singkat tapi intinya DPO itu red notice masih tersangkut sehingga saya gak bisa masuk ke Indonesia," jawab Joko.

Dalam persidangan itu Joko mengaku meminta tolong kepada Tommy untuk menanyakan status DPO atas nama Joko Tjandra di NCB Interpol.

"Karena kenal lama saya tanya by phone, saya waktu itu ada di Malaysia, saya tanya `Tom ini masalah DPO masih terganjal di sistem`, kita tidak bisa secara spesifik. Saya cuma katakan di sistem apakah ada upaya untuk bantu cek kondisinya gimana dan gimana bisa dilepaskan. Karena tujuan saya, saya pulang untuk daftar PK," kata Joko.

Saat itu, Tommy menyanggupi permintan Joko Tjandra untuk menanyakan status DPO tersebut dengan memberikan tarif atau uang untuk mengurusnya. "Inti pembicaranya adalah kalau pengurusan DPO harus ada ongkos-ongkos. Ada biayanya," ujarnya.

Ongkos yang diminta oleh Tommy, kata Joko, sebesar Rp15 miliar. Namun, Joko tak menyanggupi permintaan tersebut dengan meminta hanya Rp5 miliar saja.

"Pada waktu itu kita bicara sampai jumlah angkanya. Jumlah angkanya sebagai konsultan dan niat urusi masalah, kita bicara persis kayak jual beli barang saat itu, Pak Tommy bilang you sediakan Rp15 miliar, saya bilang `aduh Tom berat dengan biaya Rp15 miliar, gimana kalau Rp5 miliar, akhirnya sepakati angka Rp10 miliar," sebutnya.

Sementara, pada 2015, bapak Joko Tjandra meninggal dunia di Indonesia. Joko tidak bisa pulang ke Indonesia meskipun ada keinginan untuk pulang.

"Ya tentu keinginan sebagai anak tapi kita tahu ada kendala. Saya gak mau ambil risiko," tuturnya.

Selain itu, Joko Tjandra menjelaskan bahwa dirinya menggunakan paspor Papua Nugini yang berlaku hingga sekarang.

Majelis hakim pun mempertanyakan paspor saksi Joko Tjandra. "Saudara punya paspor di Indonesia?" kata majelis hakim.

"Saya ambil paspor saya kembali tanggal 22 Juni tahun ini," jawab Joko.

Kemudian, Joko Tjandra menerangkan bahwa saat Peninjauan Kembali (PK) dirinya didampingi bersama pengacaranya Anita Kolopaking di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 8 Juni 2020. Menurutnya, ia memiliki dasar dokumen yang lengkap.

Joko menuturkan waktu pembuatan KTP pada tanggal 8 Juni 2020 pukul 08.00 WIB pagi. Menurutnya, selesai dalam waktu 25 menit. Kemudian, berangkat ke PN Jakarta Selatan untuk melakukan pendaftaran PK.

Ia menjelaskan, pembayaran uang Rp10 miliar itu dilakukan Joko secara bertahap. Pemberian pertama dilakukan sebesar US$100 ribu, kemudian SG$200 ribu, US$100 ribu, US$100 ribu, US$150 ribu dan terakhir US$50 ribu.

Uang tersebut diberikan kepada Tommy melalui sekretarisnya yakni Nurmawan Fransisca dan supir Joko Tjandra yaitu Nurdin.

"US$100 ribu tanggal 12 Mei, US$50 ribu lagi tanggal 22 Mei. Itu sudah cukup total US$500 ribu, tambah SG$200 ribu," ujarnya.

Selain itu, Joko Tjandra membeberkan tujuan meminta Fransisca, pegawai bawahannya untuk memberikan sejumlah uang ke terdakwa Tommy. Bahwa itu adalah kewajiban dirinya membayar Tommy.

Pemberian uang tersebut dengan tujuan yang telah Joko sepakati. Yaitu untuk membayar penghapusan red notice dan DPO sebesar Rp10 miliar. Termasuk agar red notice dan DPO itu bisa dihilangkan.

Tommy  didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (G-2)

BACA JUGA: