JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi dalam perkara suap dan gratifikasi penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA) dengan terdakwa eks Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiono.

Saksi yang dihadirkan di yakni Azhar Umar, mantan partner bisnis Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto yang sudah berstatus tersangka pemberian suap ke Nurhadi.

Azhar Umar mengaku kenal dengan Hiendra sejak tahun 2002. Hiendra diperkenalkan oleh ayahnya, Azwar Umar, sebagai seorang kontraktor di bidang kontainer.

Ia memiliki depo kontainer dan Hiendra saat itu mempunyai perusahaan di bidang depo kontainer.

"Kemudian kami bergabung menjadi PT MIT di mana susunan pengurus komisaris nama ayah saya, Dirut Hiendra, Direktur saya, dan ada satu direktur lain," terang Azhar dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diikuti Gresnews.com, Jumat (20/11/2020).

Azhar menceritakan, pendirian PT MIT seluruh pemodalan terkait pengembangan PT MIT seluruhnya dari keluarga Umar. Di mana Azhar menjaminkan aset-aset keluarga ke PT MIT demi pemodalan dan pengembangan usaha.

Pada 2007, bisnis berkembang dan mereka bersama membuat suatu holding yang disebut PT Multigroup Logistic Company (MLC). Saham mayoritas dikuasai oleh keluarga Umar dengan komposisi yang sama. Saham sebesar 99,8% di PT MIT, dan 0,2% atas nama Azhar Umar di PT MIT. Kemudian, Azwar Umar meninggal tahun 2012. Lalu posisinya digantikan oleh abangnya.

Dalam perkembangannya, ternyata di bawah kepemimpinan Hiendra selaku Dirut PT MIT banyak proyek yang mangkrak. Berbagai kewajiban tidak terpenuhi. Hal itu sudah disampaikan oleh pihak komisaris dan juga pemegang saham mayoritas keluarga Umar.

Atas dasar tersebut pada 12 Juni 2014 pemegang saham mayoritas keluarga Umar melakukan RUPSLB di mana seluruh pemegang saham menandatangani. Hasil RUPSLB itu menghasilkan kepengurusan baru yang memberhentikan Hiendra pada 16 Juni 2014 selaku Dirut PT MIT.

Pada tanggal 18 Juni 2014, Azhar Umar ditelepon dari pihak bank menyampaikan bahwa ada orang yang datang ke pihak bank untuk melakukan perubahan tanda tangan spesimen bank yang tadinya dua di antara tiga menjadi tunggal a/n Hiendra.

Azhar Umar meminta pihak bank untuk tidak mengakomodir karena Hiendra sudah diberhentikan selaku dirut PT MIT. Namun pada 24 Juni 2014 Hiendra mengirim email ke Azhar yang menyatakan bahwa informasi atau surat pemberhentian dirinya selaku dirut MIT adalah tidak sah dan melawan hukum. Karena ada Akta No. 31 tanggal 4 Juni 2014 yang dikeluarkan notaris Buntawari Tigris.

Kemudian, Azhar melakukan gugatan atas Akta No. 31 tersebut dan pada 25 Juni 2014, Azhar tidak diperbolehkan masuk ke kantor oleh pihak Hiendra Sunyoto. Saat itu sedang terjadi RUPSLB yang seharusnya dihadiri Azhar Umar selaku Dirut PT MLC dan pemegang saham 0,2% di PT MIT. RUPSLB itu terlaksana dengan notaris Zainuddin, dengan Akta No. 116, tanggal 25 Juni 2014.

Selain itu, Azhar menjelaskan bahwa kebanyakan gugatan yang dia layangkan mengalami kekalahan di persidangan. Azhar menggunakan pengacara Hotma Sitompul, Narizka dan Sunardi. Sedangkan Hiendra sendiri menggunakan pengacara Amir Syamsuddin.

"Yang saksi ingat dan alami lebih banyak menang atau kalah?" tanya tim jaksa KPK. "Seingat saya banyak kalahnya," kata Azhar Umar.

Penasihat Hukum (PH) Nurhadi, Rival Mainur, sangat yakin kliennya tidak bersalah. Ia menegaskan bahwa keterangan para saksi tersebut tidak ada yang mengarah pada keterlibatan Nurhadi.

"Tidak ada yang mengarah pada dakwaan. Intinya tidak ada satu saksi, yang dihadirkan hari ini dan bahkan dari yang dihadirkan kemarin kemarin itu yang menyebutkan ada keterlibatan Pak Nurhadi di dalam penanganan perkara," kata Rival Mainur kepada Gresnews.com, Jumat (20/11/2020).

Sebelumnya, Nurhadi didakwa bersama menantunya Rezky Herbiono menerima suap dan gratifikasi Rp45.726.955.000. Suap dan gratifikasi tersebut diberikan Hiendra untuk membantu mengurus perkara. Uang suap diberikan secara bertahap sejak 22 Mei 2015 hingga 5 Februari 2016.

Selain menerima suap senilai Rp45 miliar lebih, Nurhadi dan Rezky menerima gratifikasi senilai Rp37,2 miliar. Gratifikasi diterima Nurhadi selama 3 tahun sejak 2014 hingga 2017. Uang gratifikasi ini diberikan oleh lima orang dari perkara berbeda.

Jika ditotal penerimaan suap dan gratifikasi, keduanya menerima sebesar Rp83.013.955.000. (G-2)

BACA JUGA: