JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menolak eksepsi atau nota keberatan dari Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pinangki adalah terdakwa dalam kasus dugaan korupsi terkait kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).

Ketua Majelis Hakim Ignasius Eko Purwanto telah menyatakan keberatan dari penasihat hukum Pinangki tidak dapat diterima. "Memerintahkan sidang dilanjutkan," kata hakim Purwanto dalam sidang putusan sela di Pengadilan Tipikor, Jakarta yang dihadiri Gresnews.com, Rabu (21/10/2020)

Majelis hakim menyatakan surat dakwaan yang disusun Jaksa Penuntut Umum (JPU) tela sesuai dengan fakta hukum dalam berkas perkara. Disamping itu majelis hakim juga menilai pasal-pasal yang didakwakan JPU sesuai dengan berkas perkara.

JPU telah menguraikan unsur pidana yang diduga dilakukan Pinangki secara jelas, cermat, dan lengkap. Jaksa telah menggambar secara utuh sehingga siapa terdakwa, tindak pidana apa, bagaimana melakukan tindak pidana, kapan dan di mana tindak pidana dilakukan dan apa akibat dari tindak pidana dapat dimengerti.

Majelis hakim juga merujuk pada jawaban Pinangki saat sidang pembacaan dakwaan, 22 September 2020. Saat itu, Pinangki menyatakan mengerti dakwaan JPU.

"Hakim ketua majelis sidang menanyakan kepada terdakwa apakah terdakwa mengerti dakwaan dan dijawab terdakwa benar-benar mengerti dakwaan sehingga keberatan terdakwa harus dinyatakan tidak diterima," ucapnya.

Sementara itu Penasihat Hukum terdakwa Pinangki, Aldres Napitupulu mengatakan bahwa JPU masih tidak menjelaskan hal-hal yang penasihat hukum sampaikan dalam eksepsinya.

"Yaitu tidak jelasnya, kapan Pinangki ini terima uang dari katanya Andi irfan Jaya. Kami menyampaikan keberatan itu karena dalam berkas Andi Irfan Jaya tidak pernah ditanya soal pemberian uang," kata Aldres kepada Gresnews.com usai persidangan, Rabu, (21/10/2020).

Lanjut Aldres, jadi JPU sama sekali tidak menjelaskan tentang pemberian uang Andi Irfan Jaya kepada Pinangki.

"Jaksa tadi hanya mengatakan bahwa kami mendakwa dia (Pinangki) menerima uang dari Andi irfan Jaya itu kalau ngga di Kuala Lumpur di Jakarta, di Jakarta atau atau atau kebanyakan ataunya. Itu bisa kita lihat sendiri, itu jelas apa nggak," jelasnya.

Aldres mengatakan, dakwaan itu tidak jelas tapi menurut JPU itu yang jelas. Nanti masyarakat bisa menilainya.

Kemudian, kata Aldres, mengenai pencucian uang, dia mengatakan tidak jelas, dimana menyamarkannya, dimana adanya tindak pidana pencucian uang dalam perkara ini?

"Kemudian dia (JPU) jawab bahwa digunakan untuk keperluan pribadi. Loh itu bukan pencucian uang. Itu namanya kalaupun benar, itu menikmati hasil kejahatan bukan pencucian uang," tuturnya.

Menurut Aldres, terkait dakwaan ketiga keberatan penasihat hukum itu jelas, adalah tidak jelas. Katanya Pinangki bermufakat jahat untuk memberi suap kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung. Tapi didalam dakwaan tidak disebutkan siapa pejabatnya, memang pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung cuma satu.

"Tadi dia (JPU) bilang, udah jelas itu. tapi kami tetap merasa tidak jelas itu, siapa yang mau disuap oleh Pinangki ini," ujarnya.

Menurutnya itu tidak jelas. Kalau orang dituduh mau memberi suap Harus jelas siapa yang mau di suap?

"Inikan nggak jelas siapa, namanya siapa? Nggak bisa dong, tuduh orang mau kasih suap ke pejabat. Ya siapa pejabatnya. Emang pejabat di Indonesia ini cuma satu," tegasnya.

Anggota tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KMS Roni telah meminta agar majelis hakim yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menolak keseluruhan keberatan atau eksepsi yang diajukan oleh tim penasihat hukum terdakwa Pinangki Sirna Malasari.

JPU mendakwa Pinangki telah menerima uang US$500.000 dari Joko Soegiarto Tjandra, melakukan tindak pidana pencucian uang, dan melakukan pemufakatan jahat.

Sejumlah uang yang diduga diterima Pinangki dari Joko Tjandra tersebut terkait kepengurusan fatwa di MA. Fatwa menjadi upaya Joko Tjandra agar tidak dieksekusi dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali sehingga ia dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani vonis dua tahun penjara.

Atas perbuatannya, Pinangki dijerat Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor subsider Pasal 11 UU Tipikor.

Dari jumlah yang ia terima, Pinangki memberikan US$50.000 kepada rekannya dalam kepengurusan fatwa tersebut, Anita Kolopaking. Sementara, sisanya sebesar US$450.000 digunakan untuk keperluan pribadi Pinangki.

Ia membeli mobil BMW X-5, membayar dokter kecantikan di Amerika Serikat, menyewa apartemen atau hotel di New York, membayar tagihan kartu kredit, serta membayar sewa dua apartemen di Jakarta Selatan. Oleh sebab itu, Pinangki juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Pinangki dijerat Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Terakhir, Pinangki didakwa melakukan pemufakatan jahat dan dijerat Pasal 15 jo Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor. (G-2)

 

 

BACA JUGA: