JAKARTA-Pada Selasa (20/10/2020), Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma`ruf Amin telah menjalani tahun pertama kepemimpinannya. Pandemi Corona Virus (Covid-19) telah menguji kepemimpinan Jokowi, sejumlah catatan kritis diberikan agar lebih baik di masa mendatang.

Salah satunya datang dari Analis politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti.

Menurutnya, Jokowi dan Ma`ruf Amin harus melakukan evaluasi, tidak hanya kepada para menteri, tetapi juga terkait sistem kerja dalam kabinet.

Menurutnya terdapat problem komunikasi yang sering mengemuka dalam kerja kabinet.

"Agar kinerja 4 tahun tersisa lebih efektif kerja," katanya dalam diskusi media yang dihadiri Gresnews.com bertajuk Setahun Jokowi-Ma`ruf: Evaluasi dan Proyeksi Janji di Tengah Pandemi, diselenggarakan secara daring oleh Para Syndicate, Selasa (20/10/2020).

Menurutnya, evaluasi individual untuk posisi menteri pun terbuka untuk dilakukan oleh presiden dan wapres dengan menimbang seberapa mampu mereka selama ini menjalankan tugas dan fungsi utama.

Pertimbangan lain untuk itu, jelas Aisah, adalah kemampuan para menteri untuk beradaptasi dengan birokrasi. Terlebih lebih dari setengah menteri di kabinet tidak memiliki latar belakang atau kedekatan dengan birokrasi.

Aisah menambahkan evaluasi terhadap posisi menteri di kabinet Indonesia Maju itu juga perlu mempertimbangkan aspek kemampuan untuk menjalankan intruksi presiden. Hal itu patut menjadi indikator lantaran dalam sejumlah kesempatan presiden mengungkapkan kemarahannya lantaran instruksi yang tidak berjalan.

"Dan hasil dari evaluasi ini, reshuffle menjadi opsi jika diperlukan," jelas dia.

Aisah juga menilai pada tahun pertama kepemimpinan Jokowi-Ma`ruf, sejumlah kendala di bidang sosial-politik tidak menjadi fokus pemerintah. Dia mencontohkan tak adanya penanganan serius dan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT) juga mencatat selama satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)- Ma`ruf Amin diwarnai politik yang penuh gejolak. Mis komunikasi kerap kali terjadi dalam pemerintahannya.

Ketua Umum ALMISBAT Hendrik Dikson Sirait mengatakan bahwa setelah 22 tahun dan 5 kali pemilihan umum pascareformasi 1998, Indonesia betul-betul mengalami transisi demokrasi panjang dan penuh gejolak.

Di tengah serangkaian perubahan politik yang begitu cepat dan fragmentasi di berbagai bidang, maka dapat dimengerti apabila kekuatan elit politik membangun konsensus atau permufakatan tertentu di tengah persaingan dan perbedaan mendasar di antara mereka.

"Permufakatan itu di satu sisi efektif mengakomodasi atau menjembatani perbedaan di tingkat elit. Dan meskipun permufakatan itu tidak selalu berarti jahat, namun hal itu seringkali bukan kesepakatan bersama menyangkut nilai-nilai politik yang bisa mempertemukan mereka dengan berbagai elemen demokratis lainnya menjadi suatu kekuatan yang bisa menciptakan konsolidasi demokrasi," kata Hendrik melalui siaran pers yang diterima Gresnews.com, Selasa, (20/10/2020).

Hendrik melanjutkan bahwa upaya ke arah konsolidasi demokrasi itu memang bukan tidak ada sama sekali. Beberapa kebijakan yang dilakukan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintahan berikutnya termasuk pada masa Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada lima tahun terakhir, dapat dikatakan relevan dan berkontribusi ke arah pencapaianya.

"Namun, kondisi dan pranata sosial politik Indonesia yang khas memang acap kali membuat ukuran keberhasilan dan konsekuensinya menjadi berbeda dibanding upaya serupa di beberapa negara lain yang mengalami proses transisi demokrasi," jelasnya.

Menurutnya, sebagai elemen demokratis, ALMISBAT menilai sosok Jokowi, yang nota bene berasal dari luar lingkaran elit politik Indonesia dan terbebas dari beban masa lalu, merupakan representasi yang tepat untuk memastikan proses transisi dan konsolidasi demokrasi berlangsung meyakinkan.

Alasan mengapa proses tersebut begitu penting untuk berhasil adalah karena prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi jauh melampaui demarkasi demokrasi prosedural semata, seperti yang ada selama ini.

"Oleh karena itu, ALMISBAT sejauh ini belum memiliki alasan cukup untuk mengatakan secara meyakinkan bahwa permufakatan antar elit yang nyata-nyata berpengaruh negatif terhadap tatanan demokrasi itu, telah berakhir," terangnya.

Hendrik mengatakan bahwa indikasinya bahkan kentara dalam satu tahun masa pemerintahan Joko Widodo–Ma’ruf Amin saat ini. Di luar kondisi keadaan abnormal (akibat pandemi Covid-19), pemantapan stabilitas politik dan gejala elitisme dalam pembuatan kebijakan nampak kuat.

"Wajar bila hal itu memunculkan persepsi yang cenderung negatif di masyarakat," katanya.

Politik akomodasi, tambah Hendrik, dalam rangka stabilitas politik dan corak government-centris dalam proses pengambilan kebijakan, secara perlahan menyebabkan hilangnya semangat tata kelola partisipatoris yang awalnya menjadi magnet bagi para pendukung tradisional, termasuk relawan dan masyarakat pada umumnya.

"Ini tercermin dari revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ide tentang food estate dan yang terkini adalah Omnibus Law UU Cipta Kerja," tegasnya.

Mengenai citra negatif tersebut, Hendrik menuturkan, sebetulnya dapat dihindari apabila satu, proses legislasi sejumlah kebijakan itu tidak terkesan tertutup dan ekslusif. Tapi terbuka dan inklusif dengan melibatkan semua stakeholder dan publik pada umumnya.

Selain itu juga perlu ada komunikasi politik yang kuat dari pemerintah yang mampu meyakinkan publik bahwa kebijakan tersebut penting dan karenanya perlu dibuat.

Selama setahun terakhir ini, kata Hendrik, komunikasi politik nampak terlihat menjadi salah satu titik terlemah pemerintah. Komunikator pemerintah gagal dan nampak kedodoran meluruskan informasi dan misinformasi di ranah publik yang begitu masif.

"Pembenahan ini penting dilakukan Jokowi untuk memastikan apa yang hendak menjadi “legacy" (warisan)-nya sebagai negarawan. Sekaligus agar Presiden tidak “tersandera” oleh kepentingan elektoral kekuatan elit politik yang ada di sekitarnya menuju Pilpres dan Pileg 2024," tutur Hendrik. (G-2)

BACA JUGA: