JAKARTA - Pemerintah dan Badan Legislasi (Baleg) DPR dinilai hanya menjadi wakil pengusaha dalam pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja. Ada sejumlah perubahan dalam UU 33/2003 tentang Ketenagakerjaan yang merugikan buruh. 

Ketua Umum Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) Indra Munaswar mengatakan seharusnya tugas utama anggota DPR yang dipilih rakyat adalah mewakili terjaminnya hak dan kepentingan rakyat sesuai dengan konstitusi.

"Bukan malah serta merta menjadi wakil pemerintah apalagi pengusaha, sekalipun disebut sebagai partai pendukung pemerintah," kata Indra kepada Gresnews.com, Selasa (29/9/2020).

Setiap anggota DPR sepatutnya berpegang pada UUD 1945 ketika menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Tapi faktanya, menurut Indra, dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan, tampak jelas bahwa Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR menunjukkan jati dirinya sebagai dewan perwakilan pemerintah, bukan dewan perwakilan rakyat.

"Segala hal yang dibahas dalam klaster ketenagakerjaan sangat minimalis sikap yang menunjukkan memberikan perlindungan kepada rakyat dan pekerja/buruh yang diwakilinya berdasarkan UUD 1945 dan perundang-undangan terkait," ujarnya. "Perlindungan mendasar terhadap angkatan kerja, pekerja atau buruh yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dengan asyiknya diobok-obok bersama dengan pihak pemerintah."

Indra mengungkapkan, sebelumnya hampir semua fraksi yang ada dalam Panja RUU Cipta kerja sepakat dengan serikat pekerja dan buruh pada 20 Agustus 2020 untuk mempertahankan pasal-pasal yang bersifat perlindungan yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi serta perundang-undangan terkait.

Diwawancarai terpisah, anggota DPR asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) yang menjadi anggota Panja RUU Cipta Kerja Ledia Hanifa mengatakan sejak awal PKS meminta UU Ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. "Karena konsep yang ditawarkan pemerintah tidak menunjukkan keberpihakan kepada pekerja," kata Ledia kepada Gresnews.com, Selasa (29/9/2020).

Menurut Ledia, pemerintah juga telah mengubah konsep ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja hingga terjadi perdebatan dan itu hal yang menjadi catatan PKS sejak awal pembahasan. 

Perubahan itu antara lain terkait dengan job security sebagaimana pemenuhan atas hak warga negara dalam konstitusi. Lalu, pengaturan tertulis dalam RUU yang jelas tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan perlindungan bagi pekerja.

Catatan lainnya mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota, Upah Sektoral dan pesangon pekerja akibat PHK, premi Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang tidak ditanggung pekerja. "Juga aksesibilitas di tempat kerja bagi pekerja penyandang disabilitas," tuturnya.

Ledia menambahkan, regulasi yang meminimalisir dan/atau melindungi pekerja anak. "Ketiga, Alhamdulillah sebagian hal sudah terakomodir tetapi sebagian lagi masih akan menjadi catatan FPKS," tandasnya.

Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi, Kemenko Perekonomian, Elen Setiadi, mengatakan salah satu yang diubah adalah pemberian pesangon yang selama ini diatur maksimal 32 kali upah dianggap memberatkan pelaku usaha.

"Ini mengurangi minat investor untuk berinvestasi," ujar Elen dalam rapat kerja dengan Badan Legislatif Sabtu lalu, dikutip dari Facebook Badan Legislatif DPR, Selasa (28/9/2020).

Elen mengungkapkan sebagai gantinya pemerintah mengusulkan adanya Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Program ini diklaim dapat melindungi hak-hak karyawan yang terkena PHK, mulai dari bantuan uang tunai, pelatihan, hingga informasi soal pekerjaan.

"Ini mesti dapat dilaksanakan dengan cepat. Kenapa perlu? Program ini memberikan benefit bagi mereka yang kena PHK dengan tiga manfaat. Cash benefit, semacam gaji atau upah tiap bulan, bisa berapa bulan sesuai kesepakatan di sini," papar Elen.

Sementara itu, bagi penerima program JKP, Elen mengatakan karyawan akan tetap menerima jaminan sosial lainnya. Mulai dari Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kematian (JKm), dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Kemudian, pada rapat yang dilakukan sehari kemudian, atau tepatnya pada Minggu, pemerintah dan Baleg sepakat tidak akan menghapus cara penghitungan pesangon.

Hanya saja perhitungannya akan diubah. Formula 32 kali pesangon tetap berlaku, rinciannya 23 kali ditanggung oleh pemberi kerja atau perusahaan, dan sembilan kali akan ditanggung oleh JKP.

Hal lainnya, pemerintah dan Badan Legislatif DPR sepakat untuk tidak memasukkan upah minimum padat karya dalam RUU Cipta Kerja. Upah minimum yang dipertahankan hanya upah minimum provinsi dan kabupaten/kota.

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan keputusan ini diambil sesuai dengan hasil pertemuan tripartit antara pengusaha, pekerja, dan pemerintah.

"Berdasarkan hasil keputusan tripartit, menyepakati upah minimum padat karya dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja, saya ingin menegaskan ini kabar baik dan harapan bagi pekerja dan serikat pekerja," jelas Supratman. (G-2) 

BACA JUGA: