JAKARTA - Jumlah pasien yang dinyatakan positif Covid-19 sejak Selasa (15/9/2020) hingga Rabu (16/9/2020) terus bertambah hingga mencapai 3.963 orang. Dengan demikian total pasien positif Covid-19 kini sebanyak 228.993 orang terhitung sejak kasus perdana Covid-19 diumumkan pada 2 Maret 2020.

Peningkatan drastis tersebut membuat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menarik rem darurat memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai 14 September 2020. Termasuk juga melakukan penegakan hukum bagi mereka yang melanggar PSBB lewat Peraturan Gubernur.

Manager Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai aturan penegakan hukum PSBB karut marut. Instruksi Presiden, Instruksi menteri, hingga Pergub DKI Jakarta mengabaikan peraturan perundang-undangan.

"Pemberian kewenangan kepada Kepala Daerah masing-masing untuk mengatur protokol dan sanksi bagi pelanggar protokol, tidak memperhatikan asas dan pengaturan tentang penyusunan Peraturan Daerah (Perda) dan Perkada (Peraturan Kepala Daerah) dalam UU Pemerintah Daerah," kata Maidina kepada Gresnews.com, Rabu (16/9/2020).

Menurut Maidina, mengacu pada Pasal 237 UU Pemerintah Daerah yang bisa memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan aturan kepada pelanggar hanya dalam bentuk Perda, yang memuat pentingnya pembahasan dengan DPRD.

Sedangkan peraturan kepala daerah (Perkada) berdasarkan Pasal 246 UU Pemerintah Daerah hanya dapat mengatur pelaksanaan Perda ataupun kuasa peraturan perundang-undangan.

Ia menegaskan seharusnya pengaturan mengenai sanksi tidak diatur oleh Perkada, namun harus di tingkat Perda. Hal ini mengingat bahwa sanksi yang dijatuhkan merupakan pembatasan hak warga negara.

Pemerintah Pusat harus memperhatikan semua batasan-batasan yang sudah ada di dalam undang-undang, yang juga sudah mengatur pula kondisi-kondisi darurat. Kondisi darurat harus dinyatakan jelas pemerintah, pelibatan DPR penting untuk menjamin akuntabilitas, batasan yang sudah dimuat dalam peraturan perundang-undangan tetap harus diperhatikan.

Dan untuk DPR pun sebagai wakil rakyat harus lebih cermat dan proaktif mengawasi kerja-kerja pemerintah dalam penanganan Covid-19, jangan sampai kebijakan yang bertentangan dengan peraturan dapat lolos begitu saja.

Sedangkan untuk Pemerintah Daerah, ICJR mengingatkan kembali bahwa dalam kebijakan-kebijakan yang mengandung pembatasan dan sanksi, keterlibatan unsur masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh DPRD sangatlah penting dan tidak dapat diabaikan begitu saja mesti ada di dalam kondisi darurat.

Pemerintah Daerah sebagai pelaksana protokol kesehatan di lingkupnya masing-masing harus kritikal dalam mengikuti arahan dari pemerintah pusat.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebelumnya mengumumkan akan menerapkan sejumlah tindakan penegakan hukum bagi masyarakat yang melanggar ketentuan PSBB. Penegakan hukum ini mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019.

Dalam Peraturan Gubernur ini, terdapat beberapa perbuatan yang diancam dengan sanksi administrasi seperti tidak menggunakan masker (Pasal 5 ayat (1)) dan tidak melaksanakan perlindungan masyarakat di lingkungan kerja, tempat usaha, industri, perhotelan/penginapan lain sejenis, dan tempat wisata (Pasal 8 ayat (6)).

Pergub 79 Tahun 2020 disusun berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Perda tentang Penerapan dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan.

"Dalam tataran yang lebih luas, karut marutnya pengaturan ini jelas tak lepas dari Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri dalam Negeri yang tidak memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar Maidina.

Ia menjelaskan karut marut ini juga mengenai pembagian kewenangan penegakan pelanggarannya, Pergub DKI Jakarta No. 79/2020 memuat aturan dapatnya TNI dan Polri mendampingi pengenaan sanksi pelanggaran protokol kesehatan.
Ketentuan ini bertentangan dengan banyak UU, mulai dari UU TNI, UU Kepolisian termasuk kewenangan hukum acara pidana dalam KUHAP.

Pertama, soal pelibatan TNI, dalam Pasal 17 ayat (1) UU TNI kewenangan pengerahan kekuatan TNI hanya dapat dilakukan oleh Presiden. Memang benar dalam Instruksi Presiden No. 6 tahun 2020 presiden telah mengerahkan kekuatan TNI, namun harus diingat dalam Pasal 17 ayat (2) UU TNI tersebut pengerahan kekuatan harus dengan pertimbangan DPR.

Dalam hal ini ICJR mencermati tidak ada pertimbangan resmi DPR terkait dengan pelibatan TNI ini. Seharusnya pun Pemerintah Daerah lebih kritis mencermati instruksi pemerintah pusat, dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan dalam pembentukan aturan di tingkat daerah.

Sedangkan, mengenai kewenangan Polri, Pasal 14 ayat (1) huruf UU Kepolisian sudah mengatur bahwa salah satu tugas pokok polisi adalah melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.

Dalam konteks ini hanya dalam patroli dan pengawasan sedangkan dalam pengenaan sanksi ataupun upaya paksa sudah diatur jelas dalam KUHAP, bahwa hal tersebut hanya dalam konteks anggota Polri menjadi penyidik tindak pidana, bukan penegakan Perda. Penegakan hukum Perda dan Perkada, berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2010 diatur dilakukan oleh Satpol PP, bukan kepolisian.

Masalah kewenangan penegakan hukum ini, penting untuk menjadi perhatian Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda). TNI, Polri dan Satpol PP telah diatur jelas pembagian kewenangannya, pengawasan kewenangan serta batasannya.

TNI bertugas mengurus masalah pertahanan dalam konteks perang, Polri untuk keamanan dalam konteks adanya tindak pidana, Satpol PP penegakan perda di tingkat lokal.

"Jangan sampai adanya pandemi yang direspons oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan justru membuat karut marut batasan pengaturan," ungkapnya. (G-2)

BACA JUGA: