JAKARTA - Keterwakilan perempuan Indonesia di parlemen tidak pernah mencapai angka ideal keterwakilan 30% seperti disyaratkan peraturan perundang-undangan. Persoalannya ada pada partai politik yang tak memiliki sistem yang dapat melahirkan figur-figur perempuan potensial dan berpengalaman serta memiliki kemampuan di bidang politik.

Menurut Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadhli Ramadhanil, partai politik di Indonesia belum punya kemampuan mencetak kader yang dikategorikan kelompok rentan, seperti dari kalangan perempuan, masyarakat adat, kelompok pemuda, dan kalangan disabilitas.

"Semua yang dilakukan parpol masih hanya sebatas rekrutmen taktis untuk jangka pendek," kata Fadhli dalam webinar Urgensi Pembaharuan Desain Penegakan Hukum dan Bantuan Hukum Bagi Caleg Dari Kelompok Rentan Dalam RUU Pemilu, diikuti Gresnews.com, Selasa (15/9/2020).

Pada Pemilu 2004, keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 11%, Pemilu 2009 meningkat menjadi 17,8%, Pemilu 2014 menjadi 17,3% dan Pemilu 2019 sebesar 20,5%. Dalam Pilkada 2020, hanya 141 perempuan atau hanya sekitar 10,26% perempuan saja yang akan berkontestasi.

Menurutnya, selama ini yang dialami kelompok rentan tersebut berbeda-beda. Dicontohkan, kelompok masyarakat adat masuk ke parpol dan punya basis sosial yang kuat, tentu memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Sehingga soal penempatan daerah pemilihan, nomor urut, akses untuk menentukan kampanye dan lain sebagainya bisa lebih kuat posisi tawarnya.

Tapi akan bagi yang tidak punya basis sosial dan basis pemilih yang kuat. Akan susah sekali akses untuk mendapatkan proses pencalonan, akses terhadap penempatan daerah pemilihan dan akses-akses lain yang dibutuhkan untuk menaikkan posisi tawar di dalam sebuah kontestasi pemilu. Padahal, ada prinsip penting dalam demokrasi. Yaitu kesamaan, penyamarataan, kesetaraan, dan keadilan. Jika satu saja ada prinsip tersebut yang ditinggalkan maka sulit menciptakan pemilu yang demokratis.

Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi mengatakan sejak Pemilu 2019 pihaknya telah melengkapi strategi yang sudah dilakukan oleh kelompok rentan, kelompok perempuan, khususnya dalam mendorong afirmasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Kita masih ingat melalui kampanye perempuan pilih perempuan," sambungnya.

Tapi itu juga, kata Veri, belum bisa mendorong sampai keterwakilan 30% perempuan di DPR. Meskipun kalau melihat trennya terus mengalami peningkatan meskipun tidak cukup signifikan. Keterwakilan perempuan harus terus didorong salah satunya melalui kebijakan.

Menurut Veri, sampai 2014, peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mewajibkan, bukan hanya mengutamakan, partai politik mencalonkan minimal 30% perempuan.

Dan pada 2014 juga ada beberapa partai yang tidak bisa memenuhi kewajiban tersebut didiskualifikasi oleh KPU dan dicoret.

"Sampai se-ekstrem itulah dorongan kita untuk kemudian mendorong supaya ada keterwakilan perempuan. Meskipun saat itu dianulir oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP)," ujarnya.

Sementara itu Muhammad Ihsan Maulana, Koordinator Harian Kode Inisiatif, mengatakan mengenai urgensi pembaharuan desain penegakan hukum dan bantuan hukum bagi caleg dari kelompok rentan dalam RUU Pemilu. Ini relevan untuk didiskusikan karena melihat sekarang juga masih proses Pilkada 2020. Pada tahap pencalonan sudah selesai. Tahapan saat ini tinggal menunggu hasil penetapan yang akan dilakukan oleh keputusan pada akhir September nanti.

Lanjut Maulana, kenapa isu pilkada juga jadi penting, karena ternyata berdasarkan draf RUU yang didapatkan per 6 Mei 2020, RUU pemilu itu menggabungkan dua UU sekaligus. Yaitu UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 tentang Pilkada.

Ini adalah empat kelompok terkait dengan siapa saja kelompok rentan yang perlu menjadi perhatian dalam proses pembahasan RUU Pemilu.

"Kami membaginya menjadi empat. Pertama adalah teman-teman perempuan. Di UU Pemilu sudah cukup baik mengakomodirnya. Tapi baru hanya pada sebatas kuota perempuan itu pada saat proses pencalonan," terangnya.

Kedua, anak muda yang maju dan berkontestasi pada Pemilu 2014 dan pada 2019 itu cukup banyak jumlah anak muda yang maju.

Ketiga adalah masyarakat hukum adat. Menurut data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), pada 2019 ada 157 orang utusan masyarakat hukum adat yang berkontestasi dalam pileg 2019.

Keempat adalah disabilitas. Pada Pasal 5 UU Pemilu secara langsung menjelaskan bagaimana UU pemilu memberikan hak secara khusus kepada teman-teman disabilitas untuk bisa maju dan berkontestasi.

Pada 2019 kemarin, ada 43 caleg disabilitas yang berkontestasi, 31 diantaranya adalah caleg disabilitas laki-laki dan 13 caleg lainnya adalah perempuan.

Pilihannya masih sangat minim. Hanya ada satu orang disabilitas yang yang terpilih di tingkat DPRD Kabupaten/Kota.

"Kami dari riset Kode Inisiatif dan Kemitraan melihat bahwa ternyata problem kawan-kawan kelompok rentan ketika hendak maju di kontestasi politik itu. Kami membaca ada empat hal," tuturnya.

Keempat persoalan itu adalah (1) akses informasi dan pemahaman terhadap permasalahan hukum kepemiluan; (2) akses terhadap pendampingan hukum; (3) akses terhadap partai politik dalam memberikan rekomendasi serta pendampingan; dan (4) desain penegakan hukum yang ada saat ini masih membuka ruang untuk mendiskriminasi kelompok rentan.

Melihat perkembangan terkini (Data KPU RI 6 September 2020) setelah penutupan pendaftaran Bakal Paslon di Pilkada 2020, setidaknya terdapat 687 bapaslon dan 1.374 orang (baik cakada dan cawakada) yang akan berkontestasi untuk memperebutkan 270 kursi kepala daerah.

Muhammad Affiffudin, anggota Bawaslu RI, mengatakan pertama dari sisi konten bahwa pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat. Jadi semua punya akses yang sama dan tidak dibeda-bedakan dalam konteks pemenuhan haknya.

"Kalau kita bicara bantuan hukum. Kemudian perlindungan hukum dan seterusnya. Tentu tidak sekadar dari sisi proses hukum pasca pemilihan," kata Afif dalam webinar tersebut.

Ada hal lain yang belum tersentuh, kata Afif, soal hak dasar mereka untuk memilih. Sebenarnya dari pemenuhan hak dasar memilih, kelompok rentan ini salah satu kelompok yang harus dikategorikan sebagai pihak yang paling mungkin terganggu hak dasarnya menggunakan aktivitasnya untuk memilih. Karena dikategorikan sebagai pemilih yang punya banyak tantangan.

"Menurut saya kelompok perempuan ini sudah paling banyak mendapatkan advokasi. Meskipun lepas dari data yang disampaikan tadi oleh Mas Ikhsan. Masih belum sampai 30% keterpilihan meskipun prasyarat pencalonan sudah dikasih minimal 30% perempuan. Ini catatan kita semua," terangnya. (G-2) 

BACA JUGA: