JAKARTA - Laba bersih PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) semester I-2020 terjun bebas hingga 87,56% dibandingkan periode sama tahun lalu. Nasib PGN serupa PT Pertamina (Persero) sebagai induk (holding) yang juga mengalami penurunan laba selama masa pandemi Covid-19.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menduga kerugian besar itu bukan karena dampak dari pandemi Covid-19 melainkan terjadi penurunan konsumsi, disertai penurunan harga minyak dan gas dunia, dan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS semata.

"Alasan tersebut tidak juga bisa dibenarkan semuanya," katanya kepada Gresnews.com, Senin (14/9/2020).

Ia menjelaskan dalam kondisi harga minyak dan gas serta LNG murah dimulai pada Maret 2020, hal itu banyak berpengaruh hanya pada sektor hulu PGAS saja, yaitu terhadap aktifitas PT Saka Energi. Kalau pun dihilir hanya relatif sedikit karena banyak industri yang membatasi operasinya.

Namun lantaran adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan work from home seharusnya konsumsi gas rumah tangga semakin meningkat.

Menurutnya, sektor hilir umumnya berkontribusi besar bagi laba perusahaan. Adapun contoh lainnya ternyata konsumsi LPG meningkat tajam dan harga jualnya tidak sepeser pun dikoreksi oleh Pertamina, padahal CP Aramco saat itu hanya sekitar US$250/ metrik ton, sebelumnya CP Aramco LPG bisa mencapai US$500/metrik ton.

Yusri menjelaskan salah satu penyebab melemahnya kinerja PGAS saat ini akibat adanya ketidakharmonisan antara sesama anggota BOD (direksi) dan antara anggota BOD dengan BOC (komisaris) setelah RUPS PGAS pada Mei 2020 oleh Meneg BUMN, yaitu atas pengangkatan Suko Hartono sebagai Dirut dan Achandra Tahar sebagai Komisaris Utama.

"Kondisi ketidakharmonisan itu terasa kental ketika rapat rapat BOD dengan BOC dilaksanakan, akibatnya banyak program jalan di tempat," ujarnya.

Pasalnya kehadiran kedua figur itu bukannya membuat organisasi itu semakin solid dalam membawa visi dan misi perusahaan agar semakin baik, tetapi konon mereka terkesan hanya membawa agenda masing masing.

"Inilah yang tidak boleh terjadi, akan berdampak luas terhadap kinerja perusahaan," ujarnya.

Seperti publik ketahui, Achandra Tahar sewaktu menjabat sebagai wamen ESDM sering membuat kebijakan yang kontroversial yang berdampak buruk terhadap masa depan sektor hulu migas nasional jangka panjang, yaitu menerapkan konsep gross split dengan mengubah konsep cost recovery yang sudah diadopsi puluhan perusahaan migas di dunia.

Terbukti sekarang konsep gross split telah dikoreksi oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif.

Selain itu, Achandra Tahar diduga adalah sosok di balik kebijakan perubahan harga kontrak gas menjadi lebih mahal dibeli oleh PGN senilai US$0,90 cent per MMBTU.

Yakni dari harga US$2,6 menjadi US$3,5 per MMBTU untuk gas dari Blok Coridor lapangan Grisik Conoco Philips pada 1 Agustus 2017.

"Anehnya lagi PGN dicekik gak boleh menaikan harga jualnya ke PLN di Batam, apa tidak konyol ini?" ujarnya.

Achandra juga sangat lamban menjalan Kepmen ESDM Nomor 13 Tahun 2020 yang ditandatangani 17 Januari 2020 tentang Penugasan Pelaksana Penyedian Pasokan dan Pembangunan Infrastruktur LNG, serta Konversi Penggunaan BBM dengan LNG untuk Pembangkit Tenaga Listrik PLN.

Padahal kebijakan itu selain untuk efisiensi pembangkit listrik PLN supaya tidak menggunakan high speed diesel (HSD) yang relatif mahal, ternyata kebijakan itu oleh Menteri ESDM untuk mengantisipasi kelebihan pasokan LNG di Kilang Bontang yang dibatalkan perpanjangan kontrak oleh pembeli lamanya dari Jepang.

"Kontrak jangka panjang itu akan berakhir pada Desember 2020, pertanyaan nya mau dibuang ke mana LNG itu?" tanyanya.

Yusri menambahkan, setali tiga uang juga dengan sosok Suko Hartono sebagai Dirut, dari info yang didapatnya diduga keras lebih aktif berperan untuk menggolkan perusahaan koleganya agar bisa menguasai proyek-proyek invetasi di PGN dan anak usahanya.

Menjadi rumor keras adanya intervensi Suko di Patragas untuk menunjuk PT IG sebagai pelaksana pemasangan pipa di Blok Rokan, karena sebelumnya ketika Suko masih sebagai Dirut Patragas periode 2017 sd 2018.

"Dia lah yang menandatangani kontrak antara Pertagas dengan PGN, terungkap juga saat itu anak usahanya PT IG, yaitu PT Inti Alusindo Energi yang mendapat alokasi gas 40 MMSFD dari blok HCML Madura, yaitu pembangunan pipa gas Samere – Tie in pipa porong Grati Jawa Timur, namun saat itu tertunda berdasarkan perhitungan BPK bahwa proyek itu keenomiannya negatif akibat adanya realokasi gas untuk PT Parna Raya," ungkapnya.

Terbaru dan lebih mengejutkan lagi, beredar rumor adanya jual nama Suko oleh Direktur PGASol bahwa beberapa perusahaan inisial R dan ACM akan melaksanakan pekerjaan pipeline di blok Rokan atas perintah Suko.

"Hal inilah yang harus diklarifikasi unsur kebenarannya," ujarnya.

Dalam laporan keuangan perseroan tercatat laba anak usaha PT Pertamina (Persero) ini US$6,72 juta, turun dari US$54,04 juta. Jika dikonversi ke rupiah dengan asumsi nilai tukar senilai Rp14.773 per dolar amerika serikat, maka laba bersih PGN sepanjang enam bulan pertama tahun ini Rp99,3 miliar saja. Sedangkan periode sama tahun lalu, labanya mencapai mencapai Rp798,39 miliar.

Direktur Keuangan PGN Arie Nobelta Kaban mengungkapkan kinerja keuangan perusahaannya sangat dipengaruhi oleh tiga kondisi perekonomian, yaitu "dampak pandemi Covid-19, turunnya harga migas dunia, dan melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS," kata Arie dalam siaran persnya, Senin (7/9/2020).

Kondisi tersebut berpengaruh pada usaha PGN terutama sektor hulu yang tergantung pada pasar, harga minyak, gas, serta gas alam cair (LNG). Rendahnya harga minyak dan gas menyebabkan penurunan pendapatan sektor hulu, sedangkan biaya pengoperasian tidak serta merta mengikutinya.

Pendapatan PGN tercatat senilai US$1,46 miliar sepanjang semester I 2020, turun 17,89% secara tahunan dari US$1,78 miliar. Mayoritas pendapatan PGN berasal dari bisnis distribusi gas, baik kepada pihak berelasi maupun pihak ketiga, yakni senilai US$1,18 miliar atau turun 12,48% dari US$1,35 miliar.

Dari pendapatan distribusi gas tersebut, PGN memperoleh pendapatan mayoritas dari distribusi kepada industri dan komersial yang nilainya US$1,18 miliar. Pendapatan tersebut turun 11,8% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu US$1,34 miliar.

Penurunan distribusi dan transmisi gas disebabkan penurunan permintaan saat pemberlakuan PSBB beberapa waktu lalu. Hampir seluruh sektor pelanggan, khususnya di sektor komersial, industri seperti restoran, pusat perbelanjaan, hotel, dan produsen baja terdampak dan menutup produksi karena pandemi Covid-19.

Selama Januari - Juni 2020, PGN tercatat menyalurkan gas bumi sebesar 2.016 BBTUD (miliar british thermal unit per hari). Dengan rincian, volume distribusi sebesar 811 BBTUD dan volume transmisi sebesar 1.294 BBTUD.

Bisnis PGN lainnya yang tercatat mengalami penurunan yaitu dari penjualan minyak dan gas. Dari bisnis ini, PGN hanya mampu mengantongi US$ 101,85 juta. Pendapatan tersebut tercatat anjlok hingga 48,09% dibandingkan semester I 2019 yang mencapai US$ 196,2 juta.

Mengikuti pendapatan yang turun, beban pokok pendapatan hingga periode Juni 2020, tercatat mencapai US$1 miliar, lebih rendah 16,79% dibandingkan US$1,2 miliar. Sementara beban distribusi dan transmisi US$174,8 juta, hanya turun 4,2% dari semester I-2019.

Arie menjelaskan PGN memberi respons terhadap dampak Covid-19 untuk menjaga kinerja keuangan tetap berjalan. Pihaknya tetap mengembangkan pembangunan infrastruktur, tapi dengan mengambil kebijakan efisiensi.

Efisiensi ini, diklaim yang tidak terkait langsung dengan pendapatan dan keandalan jaringan pipa. Selain itu dilaksanakan optimasi arus kas dengan memprioritaskan anggaran investasi. Dengan begitu, diharapkan PGN tetap mampu memberikan kinerja positif di tengah perlambatan ekonomi nasional dan global.

Terkait upaya efisiensi di tengah pandemi Covid-19 dan menurunnya harga gas ini pernah diusulkan oleh Komisaris Utama Utama PGN Arcandra Tahar. Ia meminta perusahaan mencari pasar baru dengan menciptakan harga gas lebih kompetitif melalui langkah-langkah efisiensi.

Salah satu langkah efisinsi yang sudah dilakukan oleh PGN adalah menghembat biaya investasi untuk proyek pemasangan pipa minyak di Blok Rokan. Nilai investasi proyek tersebut berhasil dipangkas dari yang sebelumnya US$450 juta menjadi US$300 juta.

"Kami di komisaris sejak Januari meeting sangat intens untuk melihat desain atau teknologi yang digunakan, apakah sudah efisien atau tidak. PGN sudah berhasil lakukan efisiensi US$150 juta," ujarnya beberapa waktu lalu.

Selain menghemat biaya proyek, ia meminta perusahaan untuk mengevaluasi penggunaan teknologi baru yang berhubungan dengan rantai suplai gas alam baik Liquefied Natural Gas/LNG, Compressed Natural Gas/CNG, maupun gas pipa. Sumber daya manusia juga perlu diefektifkan dengan mengadopsi cara-cara baru di masa pandemi. (G-2)

BACA JUGA: