JAKARTA - Penularan COVID-19 masih terus terjadi hingga Rabu (9/9/2020). Dalam 24 jam terakhir, pemerintah mencatat penambahan 3.307 kasus baru. Total pasien saat ini mencapai 203.342 orang.

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Netty Prasetiyani Aher mengatakan pemerintah harus segera mengambil sikap dan menata ulang format kebijakan.

"Jangan menganakemaskan ekonomi tapi meninggalkan kesehatan. Jangan lagi ada pengabaian terhadap pendapat sains yang positif. Sebab pandemi COVID-19 adalah bencana kesehatan, sudah seharusnya kembali pada kebijakan yang berbasis kesehatan," kata Netty melalui rilis yang dikirimkan kepada Gresnews.com, Rabu (9/9/2020).

Saat ini perkantoran, keluarga dan bahkan proses pemilihan kepala daerah (pilkada telah menjadi klaster penularan COVID-19. Jika ini tidak ditangani secara serius dengan kebijakan yang tepat dan ketat, akan muncul klaster-klaster lainnya. Jangan sampai Indonesia menjadi negara yang paling ditakuti dan kemudian diisolasi karena COVID-19.

Lanjut Netty, terkait penghapusan kewajiban melakukan rapid test untuk pelaku perjalanan oleh Kemenkes RI, kebijakan yang berubah-ubah seperti itu membuat rakyat bingung.

"Jika rapid test tidak lagi diwajibkan karena dianggap kurang akurat, lalu bagaimana cara mendeteksi bahwa pelaku perjalanan antarkota atau antarprovinsi itu aman dan bebas dari COVID-19? Sudahkah dipikirkan cara lain? Jika dianggap cukup dengan pengecekan suhu tubuh di pintu masuk kota, bagaimana dengan orang yang terinfeksi namun tidak ada gejala?" tanya Netty.

Seharusnya, kata Netty, tes terhadap masyarakat terus menerus dilakukan secara masif dan dengan alat yang akurat. Jika yang dianggap akurat itu adalah swab PCR, buatlah itu sebagai strategi tes yang menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan dibebankan pada rakyat. Lakukan secara berkala terutama di tempat-tempat yang potensial menjadi klaster.

"Dan di luar testing, buatlah masyarakat disiplin mencegah penularan dengan melakukan 3M, memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. 3M harus menjadi budaya, bukan cuma slogan dan imbauan saja," kata Netty.

Netty merasa prihatin dengan kondisi yang memburuk ini. Pemerintah gagal menahan laju pandemi akibat salah strategi. Sejak awal pemerintah lebih memprioritaskan pemulihan ekonomi daripada menangani akar pandemi, yaitu sektor kesehatan.

Akibat kegagalan tersebut, imbas pandemi sudah ke mana-mana dan sulit terkendali. Angka kasus makin tinggi, klaster penularan baru bermunculan, ekonomi makin terpuruk, rakyat bingung tidak tahu harus berbuat apa. Saat ini sudah 59 negara yang menutup akses bagi kedatangan WNI. Indonesia menjadi negara yang ditakuti.

Sejumlah negara tersebut di antaranya Jerman, Swis, Singapura, Korea Selatan, Amerika Serikat, Turki, menutup pintunya untuk warga negara Indonesia karena khawatir menjadi transmiter COVID-19.

Sementara di tempat terpisah Presidium Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Yogi Prabowo mengatakan untuk menilai berhasil atau tidaknya pemerintah menangani pandemi COVID-19 itu agak sulit.

"Tapi yang jelas kalau kita lihat negara-negara di dunia yang penduduknya terbanyak di dunia. Kita urut dari China, India, Amerika, Indonesia nomor 4, dan lain-lain. Itu semua belum bisa menghentikan penyebaran COVID-19 ini kecuali China. China ini juga negara yang misterius," kata Yogi kepada Gresnews.com, Rabu (9/9/2020).

Lanjut Yogi, pertama, yang jelas seluruh negera yang memiliki penduduk terbesar trennya itu belum bisa mengendalikan penyebaran virus ini.

Kedua, mesti dipahami apa itu virus korona yang mempunyai sifat cepat menyebar. Walaupun ada banyak varian, ada banyak jenis, tapi semuanya bisa cepat menyebar. "Oleh karena itu, penyebaran itu bisa cepat terjadi," jelasnya.

Ketiga, secara umum publik masih memandang bahwa manusia sebagai makhluk sosial. Jadi bukan makhluk yang bisa dikurung di dalam rumah, atau tanpa aktivitas. Jadi itu tidak mungkin untuk dibatasi selamanya.

Mungkin kalau disuruh lockdown seminggu, dua minggu masih bisa. Tapi begitu sudah berminggu-minggu tidak mungkin bagi manusia untuk bisa hidup di dalam rumah saja tanpa beraktifitas, yang akan berdampak pada semua aspek kehidupan manusia.

Menurut Yogi, memang dinseluruh dunia sedang memasuki fase penyebaran virus yang cukup masif. Jadi untuk mencegah penyebaran lebih lanjut harus dilihat perkembangan dunia saat ini. Adapun yang bisa dilakukan adalah upaya untuk memproteksi.

Upaya-upaya pencegahan penyebaran bisa dilakukan dengan resep empat hal.

Pertama, menggunakan masker. Kedua, jaga jarak). Jangan kumpul-kumpul, jangan makan bareng, jangan ngobrol bareng tidak memakai masker.

"Jadi itu dicegah dulu. Maskernya juga harus pakai yang benar. Jangan makainya hidungnya kelihatan. Karena dengan masker ini akan mengurangi penyebaran atau resiko tertular hingga 80% dengan masker saja. Ditambah dengan social distancing akan mencapai 90% lebih untuk mengurangi resiko,"jelasnya.

Ketiga, menjaga kesehatan fisik. Masing-masing setiap manusia, setiap penduduk harus menjaga kesehatan masing-masing. Artinya cukup makan, jangan begadang, jangan terlalu capek. Jadi membatasi aktivitas yang melelahkan.

Keempat, menjaga kesehatan jiwa. Jangan terlalu takut, terlalu paranoid sehingga menurunkan imunitas tubuh dan mudah ketularan.

Menurutnya, ini memang sudah fasenya. Semua wilayah akan mengalami warna merah pada waktunya. Dan mungkin seluruh penduduk dunia akan terkena pada akhirnya. Tapi untuk hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama.

"Sama dengan influenza. Influenza mungkin seluruh penduduk dunia sudah mengalami flu. Yang nggak ada sangat jarang penduduk dunia yang tidak kena flu. Hampir seluruh dunia," tuturnya.

"Cuma ya kita bisa menjaga diri dengan baik. Bukan berarti tanpa upaya, tanpa serius kita untuk mencegahnya. Jadi gitu," sambungnya.

Saat ini, kata Yogi, tidak ada waktu untuk saling menyalahkan. Tapi kalau mau dilihat kurangnya itu pasti ada. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk DKI Jakarta.

"Mungkin hal itu yang namanya manusia banyak kekurangan tapi tentu saja harus ada upaya perbaikannya. Kalau kekurangan mah pasti ada lah, pasti ada," imbuhnya.

Sedangkan peningkatan penyebaran virus korona telah mencapai angka 200.000 orang. Namun dibandingkan dengan yang terjadi di Amerika Serikat atau India itu belum seberapa. Mereka sudah mencapai jutaan.

"Jadi jumlahnya, tren jutaan tapi di kita (Indonesia) totalnya baru 200.000. Total yang positif yang ketahuan, yang nggak mungkin sudah banyak juga," terangnya.

Pemerintah diharapkan untuk lebih konsisten dalam menegakkan hukum. Bagi yang melanggar protokol kesehatan harusnya ditindak. Selama ini yang terlihat itu tidak ada penindakan yang serius.

"Yang tidak pakai masker ditangkap-tangkapi, didenda. Kemudian jaga jarak, jangan ngumpul-ngumpul (yang ngumpul) dibubarin, ditangkap," jelasnya.

Tapi selama ini semua polisi tenang-tenang saja. Para petugas yang melihat orang tidak pakai masker tidak ditegur. Sehingga hal itu membuat orang jadi semakin lalai.

Yogi mengatakan bahwa yang paling efektif saat ini untuk mencegah penyebaran adalah mengawal agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan.

"Ketertiban dan kedisiplinan, saya tidak melihat itu diberbagai tempat. Ada razia masker, awal-awal aja dulu, anget-anget tahi ayam. Sekarang sudah ngga ada lagi," pungkasnya.

Sementara Prof Zubairi Djoerban, dari Satgas Ikatan Dokter Indonesia (IDI), di tempat terpisah mengatakan sekarang ini memang benar Indonesia semakin naik terus angka terpapar COVID-19.

"Tetapi apakah negara lain juga naik, iya juga. Jadi kalau dibandingkan misalnya dengan ada sekitar belasan negara. Negara ini misalnya, kalau kita kan 200.000-an. Ini Amerika 6,5 juta, India 4,3 juta, Brazil 4,1 juta, Rusia 1 juta lebih, Kolombia 629.000 dan sampai negara-negara Eropa pun, baik Inggris 352.000, Perancis 335.000 dan seterusnya," kata Zubair kepada Gresnews.com.

Jadi, kata Zubair, memang perkembangan di Indonesia naik rata-rata sekitar 3.000 akhir-akhir ini. Jadi naiknya memang banyak namun tetap saja di posisi 23, masih di bawah Filipina.

Untuk mengatasi masalah itu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus ada pengetatan. Supaya protokol kesehatan lebih didisiplinkan, baik dari masyarakat, pemerintah dan juga bantuan dari media untuk mengingatkan masyarakat.

"Sekarang kita belum melandai. Boro-boro melandai tapi masih terus meningkat. Jadi harus lebih ketat," tuturnya.

Menurut Zubair, kebijakan protokol kesehatan belum benar. Semua ada datanya. Data tersebut menunjukkan masih adanya kegiatan yang berkerumun. Seperti misalnya, dangdutan yang membuat klaster baru. Pada klaster keluarga pun banyak, ada juga klaster buruh.

Pemerintah belum berhasil karena kurang mengetatkan aturan hukum. Selain itu, rumah sakit yang ada saat ini semakin penuh. Bila tidak ditambah nanti akan lebih menular antara pasien-pasiennya, harus dirawat dan dikarantina.

"Jadi fasilitas rumah sakit ditambah bed-nya, rumah sakit rujukan harus ditambah. Kan kita harus antisipasi ke depan, ke depan masih terus akan naik," tuturnya.

Untuk DKI Jakarta sudah ada penambahan rumah sakit dan sudah ada 13 RSUD yang sekarang dialihkan khusus menjadi tata laksana COVID-19. Kemudian pemerintah memberikan 1000 tenaga kesehatan ke rumah sakit-rumah sakit rujukan diseluruh Jakarta. "Itu sudah langkah yang bagus. Tinggal ditiru oleh provinsi yang lain," cetusnya.

Seharusnya pemerintah lebih memperketat protokol kesehatan. Untuk memperbaiki dan mengurangi penyebaran virus korona.

"Semua sudah dikerjakan. Jadi misalnya bioskop kalau mau buka ya dibatalin. Konser musik di Pasuruan, Jawa Timur yang mau dibikin ya dibatalkan. Tinggal yang kira-kira bikin penularan baru dibatalkan," terangnya.

Kemudian seperti pabrik yang ada di Jawa Barat itu sudah bagus. Saat ini sudah tidak diperbolehkan lagi ada ruangan merokok. Jadi sebelumnya di setiap pabrik ada ruangan istirahat di mana orang boleh merokok. "Itu nggak boleh sekarang, tutup," jelasnya.

Kemudian, kata Zubair, jarak antara buruh pabrik harus diperketat lebih dari satu meter. Ruangan yang paling penting harus memiliki ventilasi yang bagus, jangan yang tertutup. Kalau full AC yang udaranya mengalir hanya di dalam ruang saja itu justru berbahaya.

"Dan waktu istirahat harus sering, jadi nggak boleh lama-lama dalam satu ruangan yang sama," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: