JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan adanya permainan harga alias mark up proyek pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) yang Terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) pada Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia Tahun Anggaran 2016.

Hal itu tergambar dalam sidang perkara tindak pidana korupsi di Bakamla dengan terdakwa Rahardjo Pratjihno selaku Direktur Utama PT Compact Microwave Indonesia Teknologi (PT CMI Teknologi), Senin (7/9/2020), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

JPU menghadirkan saksi antara lain Bendahara Satker Bakamla tahun 2016, Anton Herspic. Saat ini ia menjabat Staf Ahli Panglima “B” Komsos Koarmada I.

Saksi lainnya adalah Dirut PT Arsys Data Integrasi, Oki Patria Widiyanto; General Manager PT Halik Selindo Alpha, Jukhi Margono; ICT Manager PT V2, Johan; Business Development Manager PT Westcon Group, Edoardo Wisbowo; Account Manager PT Tricada Intronik, Rudy Hermawan; Direktur PT Interlink Nusa Niaga Sukron Fauzan; Account Manager Metrasat, Widy Sulistianto; Dirut PT Nusantara Compnet Integrator, Irawan Purwono; PNS TNI AL di Arsenal Batuporon Madura; dan Marketing serta Teknisi PT Satria Samudra, via online dari Surabaya, Teguh Wiyono.

"Ada sepuluh saksi. Ada satu yang online, sembilan yang datang. Pada intinya tadi kami menggali kaitan dengan subkontraktor (subkon) yang dilibatkan oleh PT CMI yang pemiliknya adalah saudara terdakwa Raharjo Prayihno," kata JPU Takdir Suhan kepada Gresnews.com, Senin (7/9/2020).

Takdir mengatakan ada salah satu saksi, yaitu bendahara di Bakamla, yang ternyata juga mendapatkan uang senilai Rp200 juta.

"Itu juga sudah menjadi bagian fakta sidang. Di mana uang itu bagi kami diduga sebagai bagian untuk mempengaruhi pihak Bakamla. Bahwa terdakwa ini menjadi bagian pemenang dalam pengadaan backbone di Bakamla," jelasnya.

Anton Herspic adalah Bendahara satuan kerja (Satker) Bakamla tahun 2016. Saat ini ia menjabat Staf Ahli Panglima “B” Komsos Koarmada I yang menerima uang Rp200 juta dari Raharjo.

Selebihnya, kata Takdir, memang ada subkon yang sifatnya hanya dilibatkan untuk digunakan namanya dan ada juga ditemukan dokumen purchase order (PO) fiktif. PO adalah dokumen yang yang berisi permintaan atas kebutuhan stok barang dan dikirim dari pihak pembeli kepada pemasok.

"PO itu tidak mengatasnamakan PT CMI tapi menggunakan PO atas nama PT yang lain. Jadi kami pikir, kami anggap itu sebagai dugaan mark up," katanya.

Namun penasihat hukum Rahardjo, Saut Edward, mengatakan semua subkontraktor telah melakukan pengiriman barang.

"Semua kontraktor sudah mengirim barangnya sejumlah Rp40 miliar lebih," kata Saut kepada Gresnews.com usai sidang, Senin (7/9/2020).

Lanjut Saut, tidak ada dari subkon tersebut yang terbukti melakukan penyimpangan anggaran dalam kontrak oleh CMI dalam proyek backbone Bakamla tersebut.

"Tidak ada. Tapi ada kontraktor antena yang masalah sedikit kurang berfungsi tapi kemudian bagus," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: