JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melontarkan kritik terhadap dua kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menghadapi situasi pandemi COVID-19 saat ini.

Pertama, kebijakan membuka aktivitas belajar siswa dan siswi di sekolah.

Kedua, kebijakan memberikan pulsa gratis karena dinilai akan menjadikan bias kelas.

Ketua KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyatakan kebijakan memperbolehkan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka sangat berisiko.

"KPAI, Dokter Anak Indonesia (DAI), dan WHO sebenarnya tidak mendukung pembukaan sekolah pada masa di mana angka (penambahan jumlah pasien) COVID-19 masih di atas 1.000 (per hari) di Indonesia," kata Retno kepada Gresnews.com, Jumat (4/9/2020).

Fungsi KPAI adalah melakukan pengawasan terhadap perlindungan anak. KPAI pun akan melakukan pengawasan ke sekolah-sekolah untuk memastikan sekolah yang membuka jam pelajaran harus mempersiapkan infrastrukturnya terlebih dahulu, seperti tempat untuk mencuci tangan, alat pengukur suhu, bilik disinfektan, daftar periksa, dan sebagainya. "Kami melakukan pengawasan, apakah sekolah siap menjalankan Standar Operasional Prosedur (SOP) atau protokol kesehatan," tuturnya.

Perlu diingat, KPAI hanya fokus melakukan pengawasan terhadap siswa-siswi atau anak-anak sekolah, bukan guru-guru.

Selain itu, KPAI mendorong kebijakan anggaran mulai diarahkan pada dukungan penyiapan infrastruktur adaptasi kebiasaan baru di satuan pendidikan. KPAI mengapresiasi keputusan Kemendikbud untuk membantu Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring (online) dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp7,2 triliun. Dana tersebut untuk subsidi pulsa dan kuota internet bagi guru, dosen, siswa dan mahasiswa selama empat bulan ke depan.

Paling tidak, kata Retno, bantuan tersebut dapat mengatasi salah satu masalah atau kendala PJJ yakni mahalnya biaya paket data. Meskipun permasalahan PJJ sejak awal pandemi bukan hanya masalah mahalnya tarif paket data. Namun juga ada masalah lain yang harus diselesaikan, yaitu ketiadaan gawai atau laptop dan akses internet yang terkendala di sejumlah daerah.

"Namun anggaran Rp7,2 triliun hanya untuk pemberian kuota internet seperti yang dilakukan Kemdikbud mengundang pertanyaan bagi banyak pihak. Karena hanya menyelesaikan satu kendala dan jadi bias kelas," kata Retno.

Menurutnya, bantuan kuota hanya untuk anak-anak yang memiliki gawai dan akses sinyal tidak terkendala di wilayahnya. Bagi anak-anak miskin dan di pelosok, yang tidak punya gawai dan susah sinyal, bantuan itu tidak bisa mereka nikmati.

Kelompok itu hanya bisa dilayani secara luring (offline), namun tak ada bantuan pemerintah untuk luring. Kelompok anak-anak itu tetap tak terlayani PJJ-nya.

"Semestinya masalah dipetakan dulu, berapa giga yang diperlukan, berapa persen siswa/guru yang butuh kuota dan berapa persen siswa/guru yang butuh bantuan lain. Padahal jika data-data itu diminta ke semua sekolah, hanya dalam tiga hari saja bisa tersedia. Mengapa data tersebut tidak ada di Kemdikbud dan dinas-dinas pendidikan daerah? Padahal sangat mudah mendapatkannya, hanya butuh rapat koordinasi daring dengan stakeholder terkait secara berjenjang," ujar Retno.

Pembelajaran luring membutuhkan dukungan anggaran pemerintah. Jadi kalau ada pemetaan masalah dan kebutuhan yang jelas, anggaran tersebut bisa dialokasikan untuk membantu membeli gawai bagi siswa/guru yang tidak memiliki.

"Pasang alat penguat sinyal di daerah yang susah sinyal, dukungan transportasi untuk para guru kunjung dan dukungan penyiapan infrastruktur sekolah dalam menghadapi pembelajaran tatap muka," tambahnya.

Bukan hanya masalah kuota internet, masalah minimnya infrastruktur sekolah pun mengancam nyawa anak-anak dan guru saat membuka sekolah.

KPAI mengingatkan Kemdikbud dan Kementerian Agama bahwa masalah di sektor pendidikan pada masa pandemi ini yang sangat darurat, mulai dari memperbaiki PJJ fase dua, sampai pada penyiapan pembelajaran tatap muka dengan pemenuhan infrastruktur dan protokol/SOP adaptasi kebiasaan baru di sekolah. "Penyiapan ini sangat krusial karena menyangkut keselamatan jutaan siswa, guru, dan warga sekolah lainnya," tuturnya.

Selain itu, data yang disampaikan Direktur SMP Kemdikbud dalam Rapat Koordinasi Nasional secara daring yang diselenggarakan KPAI pada Kamis (27/8/2020) menunjukkan terdapat 3.347 sekolah yang saat ini sudah menggelar tatap muka. Ada juga ribuan sekolah lainnya yang memaksa ingin buka sekolah tanpa pernah dipastikan kesiapan infrastruktur dan protokol kesehatan/SOP-nya, baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dan Gugus Tugas COVID-19 pusat dan daerah.

Menurutnya dibutuhkan dana yang tidak sedikit untuk mempersiapkan infrastruktur adaptasi budaya baru di satuan pendidikan. Penyiapan ini tidak bisa hanya mengadalkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) karena sangat tidak mencukupi.

"Pengalaman SMKN 11 Kota Bandung yang sudah menyiapkan infrastruktur adapatasi budaya baru di sekolah dalam pembelajaran tatap muka, ternyata anggaran penyiapan sangat besar, tak bisa hanya mengandalkan dana BOS, tetapi juga BOSDA dan dukungan angaran Komite Sekolah," tegasnya.

Data survei KPAI yang melibatkan 6.729 sekolah menunjukkan infrastruktur pendukung budaya bersih dan sehat di satuan pendidikan, baik sekolah maupun madrasah masih minim, bahkan sejak sebelum pandemi COVID-19. Misalnya sarana dan prasrana toilet, wastafel, sabun cuci tangan, tisu, dan lain-lain.

Sebelum pandemi COVID-19, hampir semua sekolah sudah memiliki wastafel, hanya saja jumlahnya sedikit dan belum menyebar, serta terkonsentrasi di toilet sekolah. Padahal wastafel sangat diperlukan dalam adaptasi kebiasaan baru di sekolah karena anak harus sering cuci tangan.

Data menunjukkan bahwa 46% sekolah memiliki wastafel kurang dari 5; 32% memiliki 5-10 wastafel; 10% sekolah memiliki 10-15 wastafel; 6% sekolah memiliki 15-20 wastafel; dan 6% sekolah memiliki lebih dari 20 wastafel; dan yang memiliki wastafel lebih dari 20 hanyalah 6% sekolah.

Begitupun ketersediaan sabun cuci tangan sebelum pandemi covid 19, dimana 67% sekolah sudah menyediakan sabun hanya di toilet sekolah, 28% kadang-kadang menyediakan dan 5% menyatakan tidak pernah menyediakan. Saat buka sekolah dilakukan, sabun cuci tangan wajib ada di setiap wastafel depan kelas, bukan hanya di toilet sekolah.

Penyediaan tisu di toilet sekolah sebelum pandemi COVID-19 hanya dilakukan oleh 27%. Sedangkan 41% sekolah menyatakan kadang-kadang menyediakan tisu; dan 32% menyatakan tidak pernah menyediakan tisu. Padahal, kalau cuci tangannya sudah benar, tetapi tidak ada sarana mengeringkan, maka anak kemungkinan mengelap tangannya di benda yang kemunginan kurang steril.

Sebelum pandemi COVID-19, hanya 23% sekolah yang selalu menyediakan disinfektan, sedangkan yang kadang-kadang menyiapkan disinfektan untuk perawatan sekolah sebanyak 31%. Dan yang tidak pernah menyediakan dan menggunakan disinfektan untuk perawatan sekolah sebanyak 46%.

Padahal, saat pembelajaran tatap muka, seluruh sarana dan prasarana itu tersedia dalam jumlah yang mencukupi antara sarananya dengan jumlah siswa dan guru. Belum lagi dibutuhkan bilik disinfektan, thermogun, air yang mengalir, ruang isolasi sementara, dan seluruh petunjuk arah, serta seluruh protokol kesehatan/SOP dalam adaptasi budaya baru di sekolah. Termasuk biaya tes swab bagi seluruh guru dan siswa secara acak yang akan memulai pembelajaran tatap muka, tentu saja pembiayaan harus ditanggung pemerintah.

"Semua itu butuh anggaran yang tidak kecil, jadi seharusnya politik anggaran mulai diarahkan ke pendidikan, terutama penyiapan infrastruktur untuk memenuhi protokol kesehatan agar kita dapat menjamin dan memenuhi hak hidup, hak sehat dan hak pendidikan jutaan anak Indonesia dan para gurunya," pungkas Retno.

Sementara itu pengamat pendidikan dari Nahdlatul Ulama (NU) Circle Ahmad Rizal mengatakan langkah Kemendikbud dalam meningkatkan kualitas pendidikan di tengah pandemi COVID-19 belum optimal.

"Kurang mendayagunakan satuan kerja (satker) di bawah kendalinya," kata Nanang, sapaan akrabnya, kepada Gresnews.com, Jumat (4/9/2020).

Nanang menilai langkah-langkah yang dilakukan oleh Kemendikbud masih belum baik dan benar, masih sepotong-sepotong. "Langkah-langkahnya terkesan sepotong-sepotong dan tidak koordinatif dengan pemerintah daerah yang paham kondisi sekolah milik mereka. Terbukti beberapa kali Mendikbud terkejut dengan kondisi nyata," jelasnya.

Adapun program yang Mendikbud keluarkan selama ini tidak memberikan solusi yang tepat malah membuat bingung guru-guru pengajar.

"Program membuat bingung guru dan bisa berbenturan dengan orang tua. Dalam musim darurat harus instruktif direktif," tutur Nanang.

Seharusnya Kemendikbud memiliki terobosan baru untuk langkah antisipasi lainnya untuk memberikan kemudahan dan kelancaran pendidikan serta meningkatkan kualitas. Namun hingga saat ini tidak ada terobosan baru yang berarti.

"Tidak ada terobosan berarti, meski berupaya keras agar akses (daring) terpenuhi namun yang terpenting adalah bagaimana melatih guru mengajar daring karena jika tidak maka akses (kuota) yang diberikan juga percuma," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: