JAKARTA - Kebijakan pemberlakuan jam malam yang ditempuh sejumlah daerah untuk menekan laju kasus COVID-19 dinilai tidak tepat. Demikian diungkapkan oleh Pengurus Harian Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKM) Bidang Pengkajian Ilmiah dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat Syahrizal Syarif kepada Gresnews.com, Senin (31/8/2020).

Depok (Jawa Barat), Bogor (Jawa Barat), dan Tangerang (Banten) adalah beberapa daerah yang disebut menerapkan jam malam.

Syahrizal, yang membidangi politik kesehatan itu, menyatakan selama protokol kesehatan tidak ditaati, kebijakan jam malam tidak dapat mencegah penyebaran COVID-19.

"Ya, nggak bisa (diterima kebijakan itu). Maksudnya dengan langkah-langkah seperti itu COVID-19 ya panjang, lama. Mungkin sambil nunggu vaksin kali," kata Syahrizal.

Ahli epidemiologi Universitas Indonesia (UI) itu pun mengambil contoh negara-negara lain yang sebelumnya telah mampu mengendalikan COVID-19 seperti Perancis, Italia, dan Inggris. Tapi karena mereka meninggalkan protokol pemakaian masker dan jaga jarak maka kasusnya bertambah lagi. Namun saat diterapkan lagi disiplin dan protokol kesehatan, jumlah kasus menurun. 

"Begitu saja cara menghadapi COVID-19 hingga jumlahnya terkendali kembali. Sementara penanggulangan wabah di dunia ya begitu. Sambil nanti menunggu vaksin," tuturnya.

Syahrizal menambahkan, dari sisi ekonomi, kebijakan jam malam juga kurang tepat. "Ini ekonomi baru mau pulih, di Depok jam malam. Gimana orang mau berusaha, jam 6 sore orang usaha sudah harus ditutup," tegasnya.

Menurutnya hal itu tidak benar. Terkadang pemerintah tidak banyak berpikir, mau gampangnya saja. Padahal belum tentu itu berdampak. Jadi yang wajar saja karena yang wajar itu harusnya jam malam itu sampai jam 10 malam.

"Jadi kalau sampai jam 6 sore aja kegiatan ekonomi sudah ditutup nggak masuk akal saya itu. Saya kadang-kadang nggak ngerti kepala daerah kok nggak punya pikiran," tuturnya.

Bertambahnya jumlah kasus COVID-19 di Indonesia yang menembus 100 ribu dipengaruhi oleh kemampuan instansi pemerintah terkait untuk mendeteksi. "Orang mampunya memeriksanya (penyebaran COVID-19) segitu. Nanti kalau mampunya memeriksanya lebih banyak ya kasusnya lebih banyak. Wabah tak terkendali," ujarnya.

Lanjut Syahrizal, penerapan lockdown/karantina wilayah merupakan standar ideal mencegah penyebaran COVID-19, sedangkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah standar esensial. Sekarang ini sudah tidak ada lagi PSBB karena standarnya sudah minimal. Masyarakat pun diwajibkan memakai masker, jaga jarak, dan menjaga kebersihan tangan.

"Nampaknya pemerintah kini menunggu keluarnya hasil vaksin, meniru yang dilakukan China. China sudah mulai memvaksinasi warganya dengan vaksin buatannya sendiri. Tapi vaksin tersebut belum diperjualbelikan secara bebas. "Ya, sudah begitu aja situasinya," katanya.

Ia berpendapat PSBB perlu kembali diterapkan. Sekarang ini sudah ada kasus 172.000 yang nanti akhir tahun menjadi 500.000. Dampaknya akan menimbulkan persoalan kekurangan fasilitas kesehatan sehingga pasien dirawat di koridor-koridor.

"Nggak bisa diatasi kalau pemerintah nggak serius. Nanti ada situasi di mana Jakarta aja dua hari yang lalu kepala dinasnya bilang, Jakarta sudah 70% terisi, tinggal 30% yang belum," jelas Syahrizal.

Angka 70% itu berarti ada sebanyak 6.000 bed (tempat tidur ruang perawatan). Berarti kapasitasnya sebanyak 10.000-an bed kalau persentase 100%. Padahal kalau kasus pada akhir tahun sebanyak 500.000 pasien maka Jakarta memerlukan sebanyak 20.000 bed. Artinya perlu dua kali dari kapasitas sekarang.

"Pertanyaannya dari mana Jakarta mau mendapatkan kapasitas dua kali dari yang ada sekarang, kan repot. Bukan hanya ruangan tapi juga dokternya, perawatnya? Sekarang aja mereka sudah merekrut tenaga kesehatan baru. Karena mereka ingin meningkatkan kapasitas. Tapi nanti kalau tunggu tiga bulan empat bulan lagi sanggup nggak menangani lonjakan jumlah pasien," ungkapnya.

Syahrizal mengatakan sekarang ini dokter yang meninggal sudah 90 orang dan kasusnya ada 172.000. Nanti kalau kasusnya 500.000 berapa dokter yang meninggal. "Jadi hal-hal seperti ini pemerintah harus serius," katanya. "Menurut saya, situasi saat ini sangat sangat kritis. Kalau pemerintah masih mau biasa-biasa saja silakan saja. Nggak apa-apa juga," sambungnya.

 

 

Secara terpisah Staf Khusus Kepresidenan Donny Gahral Adian mengatakan belum ada kebijakan untuk mengembalikan PSBB seperti awal pandemi lalu.

"Belum. Saya kira belum ya. Artinya masih melihat perkembangan dan belum ada tanda-tanda akan membawa ke PSBB kembali. Yang ada sekarang adalah bagaimana menjalankan protokol kesehatan sebaik-baiknya. Kemudian tentu saja memitigasi dampak ekonomi dari COVID-19. Tapi kalau kembali ke PSBB belum ada tanda-tanda ke arah sana," kata Donny kepada Gresnews.com, Senin (31/8/2020).

Pemerintah sekarang sedang bekerja keras untuk memulihkan perekonomian yang mengalami pertumbuhan negatif.

"Tapi Alhamdulillah, insyaallah kita akan lebih baik ya. Karena kan program bantuan sosial kemudian Prakerja sejalan ya. Kemudian ada subsidi gaji, ya berbagai program sosial sudah dikerjakan. Jadi saya kira ekonomi kita insyaallah membaik," katanya. (G-2)

BACA JUGA: