JAKARTA - Sidang lanjutan tindak pidana korupsi di Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan terdakwa Rahardjo Pratjihno selaku Direktur Utama PT Compact Microwave Indonesia Teknologi (PT CMI Teknologi) kembali digelar Senin (10/8/2020) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Salah satu saksi yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini membantah pernah menerima uang dari Rahardjo dalam pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) yang Terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) pada Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia Tahun Anggaran 2016.

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendatangkan saksi Bambang Udoyo, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI), dan Arief Meidyanto, Kepala Pengelolaan Informasi Marabahaya Laut (KPIML) Bakamla.

"Apakah saudara pernah tahu ada perintah siapa untuk memenangkan PT CMI?" tanya Saut Edward, penasihat hukum Rahardjo Pratjihno, kepada saksi Bambang Udoyo dalam sidang yang diikuti Gresnews.com.

"Tidak pernah," jawab Bambang.

Dalam dakwaan, jaksa menyebutkan Bambang selaku PPK baru menandatangani dokumen spesifikasi teknis dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) (tanpa tanggal) pada September 2016 atau setelah proses lelang pengadaan sudah berjalan.

Dokumen spesifikasi teknis dan HPS tersebut disusun ulang oleh Juli Amar Ma`ruf berdasarkan konsep (draf) yang dibuat Aried Meidyanto yang mendapatkan KAK, spesifikasi teknis serta RAB dari PT CMI Teknologi sebagai salah satu peserta lelang.

Hal itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a dan Pasal 66 ayat (7) Perpres Nomor 54 tahun 2010 yang mengatur tentang penetapan spesifikasi teknis oleh PPK dan tentang penyusunan HPS.

Pada 18 Oktober 2016, terdakwa selaku Direktur Utama PT CMI Teknologi bersama dengan Bambang Udoyo selaku PPK Bakamla menandatangani surat perjanjian (kontrak) pengadaan Backbone Coastal Surveillance System yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System Nomor dengan nilai pekerjaan (kontrak) sebesar Rp170,5 miliar.

Namun nilai pekerjaan yang tertuang dalam kontrak tersebut berbeda dengan nilai HPS dan rancangan kontrak yang tertuang dalam dokumen pengadaan.

Hal itu bertentangan dengan Bab II Bagian C.1 Peraturan LKPP Nomor 14 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa PPK dan Penyedia tidak  iperkenankan mengubah substansi Dokumen Pengadaan sampai dengan penandatanganan Kontrak.

Bahwa kontrak yang ditandatangani Terdakwa dan Bambang Udoyo tersebut menggunakan bentuk kontrak lumpsum namun dalam kontrak maupun dokumen pengadaan tidak dijelaskan kualitas hasil keluaran (output based) yang dikehendaki Bakamla selaku user melainkan hanya berupa rincian item barang sebagaimana bentuk kontrak harga satuan.

Hal itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 51 Perpres Nomor 54 tahun 2010 yang mengatur tentang jenis kontrak berdasarkan cara pembayaran.

Bambang Udoyo mengakui bahwa dirinya pernah pergi ke daerah Manembo-nembo. Hal itu dilakukan dalam rangka membangun bangunan untuk fasilitas backbone. Namun Dia tidak mengetahui secara spesifik bagus atau tidaknya bangunan tersebut.

"Kami bangun itu dalam rangka closing awal. Jadi ada tiga tempat yang dibuat tempatnya untuk backbone ini. Salah satunya yang di Manembo-nembo," katanya.

Bambang menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima uang dari terdakwa Rahardjo Pratjihno. "Tidak pernah," tandasnya.

Sementara itu, anggota tim penasihat hukum lainnya mencecar pertanyaan kepada saksi Arief Meidyanto.

"Anda mengenal Budi Gunarsito dari PT CSE Aviation. Beliau ini adalah konsultan proyek dari backbone Bakamla?"

Tidak tahu," jawabnya.

PT CSE Aviation ini yang mendapatkan pekerjaan pembangunan Backbone Surveillance System dengan nilai kontrak sebesar Rp2,496 miliar yang kemudian diturunkan dengan addendum menjadi sebesar Rp1,890

Jadi menurut Budi Gunarsito konsultan untuk PT CMI ada perjanjian dalam melaksanakan proyek Bakamla bahwa backbone ini sangat penting?

"Betul," kata Arief.

Ia membenarkan alasan pentingnya backbone tersebut. Daripada sewa lebih baik mandiri.

Arief juga membenarkan mengenai Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang sudah disampaikan dipersidangan ini sebelumnya bahwa apa yang menjadi penting dari proyek backbone ini. Dalam judul pengadaan kontrak yaitu pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS).

Menurutnya sifat pekerjaannya adalah menyatukan jalan-jalan BCSS ke dalam BIIS. Artinya yang dibuat oleh terdakwa Rahardjo ini terintegrasi dengan hal-hal yang dipunya oleh Bakamla.

Arief menjelaskan hal tersebut, untuk BCSS sendiri adalah suatu aplikasi untuk bisa memonitoring secara masal dan bisa menganalisis, mengevaluasi. Ini adalah sarana untuk mendapatkan data yang bisa terintegrasi untuk penerapan dan sebagainya.

Selama ini Bakamla menyewa backbone dari pihak ketiga atau penyedia. Bakamla tidak punya hak memilih, yang punya hak itu adalah dari pihak yang menyewakan.

"Setiap tahun selalu kita bergantung dari pengadaan ini karena kan dari bulan Februari itu berupa kontrak. Mereka tidak akan memberikan itu sudah dua bulan selalu blank. Tidak bisa melengkapi dengan stasiun-stasiun yang ada didaerah. Karena itulah kita membuat konsep backbone inilah," jelasnya.

Stasiun dalam bahasa pengadaan ini disebut PKKL. Diketahui BCSS Bakamla ini dalam perjalanannya terdiri dari program hanya untuk menganalisa saja, yang terdiri dari dua analisa.

Jadi, kata anggota tim penasihat hukum, dengan kata lain apakah bisa disimpulkan bahwa BCSS ini harus dibuat suatu platform. Bisa tidak diartikan seperti itu? Karena pertanyaannya adalah apakah benar BCSS kepunyaan dari Bakamla ini ternyata faktanya tidak bisa dipublikan atau diintegrasikan dengan BCSS-nya.

Menurut Arief untuk difungsikan Bakamla tidak mengikuti itu. Namun ia mengatakan bahwa BCSS itu sudah berjalan karena Bakamla menyewa khusus untuk backbone. Tapi untuk aplikasi Bakamla yang memilih tetapi aplikasi ini tidak akan berjalan bila tanpa adanya backbone.

"Karena kita dapat sumber data dari satelit," tuturnya.

Jaksa mempertanyakan dalam penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK). terdakwa ini dimintakan, atau tidak pernah dengan sendirinya terdakwa menawarkan. "Apakah masukan-masukan dari terdakwa menyangkut KAK yang dibicarakan itu secara keseluruhan diatur tidak dalam proses pengadaan ini?," tanyanya.

"Setahu saya tidak. Jadi opsi dari terdakwa ini adalah lebih pada pemaparan kepada BCSS," tandasnya.

Dalam dakwaan Arief Meidyanto ini yang memperkenalkan terdakwa dengan Arie Soedewo yang menjabat selaku Kabakamla. Terdakwa mengusulkan agar Bakamla mempunyai jaringan backbone sendiri (independen) yang terhubung dengan satelit dalam upaya pengawasan keamanan laut atau Backbone Surveillance yang terintegrasi dengan BIIS.

Pada April 2016 bertempat di ruang rapat Kabakamla, Arie Soedewo memerintahkan kepada setiap unit kerja agar mengusulkan kegiatan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) pada usulan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Bakamla Tahun Anggaran (TA) 2016 karena adanya rencana penambahan anggaran untuk Bakamla.

Arie Soedewo juga mengarahkan Arief agar dalam penyusunan KAK untuk pembuatan RKA-K/L dapat berkonsultasi dengan Terdakwa yang pada saat itu sedang berada di Bakamla. (G-2)

BACA JUGA: