JAKARTA - Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Idham Azis mengeluarkan Maklumat Kapolri Nomor: Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (COVID-19). Maklumat tertanggal 19 Maret 2020 itu berisi sejumlah poin, antara lain agar masyarakat tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri, yaitu:

  1. Pertemuan sosial, budaya, keagamaan, dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, sarasehan, dan kegiatan lainnya yang sejenis;
  2. Kegiatan konser musik, pekan raya, festival, bazaar, pasar malam, pameran, dan resepsi keluarga;
  3. Kegiatan olah raga, kesenian, dan jasa hiburan;
  4. Unjuk rasa, pawai, dan karnaval; serta
  5. Kegiatan lainnya yang menjadikan berkumpulnya massa.

“Apabila dalam keadaan mendesak dan tidak dapat dihindari, kegiatan yang melibatkan banyak orang dilaksanakan dengan tetap menjaga jarak dan wajib mengikuti prosedur pemerintah terkait pencegahan penyebaran COVID-19,” dikutip dari maklumat itu.

Selanjutnya maklumat itu juga melarang masyarakat melakukan pembelian dan/atau menimbun kebutuhan bahan pokok maupun kebutuhan masyarakat lainnya secara berlebihan.

Masyarakat juga diminta untuk tidak terpengaruh dan menyebarkan berita-berita dengan sumber tidak jelas yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.

“Apabila ditemukan perbuatan yang bertentangan dengan maklumat ini maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan kepolisian yang diperlukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dalam konferensi pers melalui Instagram Divisi Humas Polri, Senin (23/3), Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal mengatakan kalau ada masyarakat yang membandel, tidak mengindahkan perintah personel yang bertugas, akan diproses hukum.

“Dengan Pasal 212 KUHP. ‘Barangsiapa yang tidak mengindahkan petugas yang berwenang yang melaksanakan tugas, bisa dipidana`. Kami tambahkan Pasal 216 dan 218 KUHP,” kata Iqbal. Polri menyebut pendekatan yang digunakan adalah persuasif-humanis.

Pasal 212 KUHP:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 216:
(1) Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

(2) Disamakan dengan pejahat tersebut di atas, setiap orang yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan umum.

(3) Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka pidananya dapat ditambah sepertiga.

Pasal 218:
Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Namun, langkah pemerintah itu dikritik oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang menilai tindakan pemerintah itu berlebihan dan merupakan bentuk overkriminalisasi yang akan memberi beban lanjutan kepada negara.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari menilai pemerintah seolah gagal memaksimalkan cara lain untuk mengedukasi masyarakat untuk mencegah penyebaran COVID-19.

"Pemerintah harusnya menjelaskan informasi komprehensif tentang COVID-19 dan dampaknya kepada masyarakat berbagai tingkatan sesuai dengan peran-peran masing-masing aparatur negara," kata Tita kepada Gresnews.com, Selasa (24/3).

Menurutnya, ketidakmampuan pemerintah untuk menjelaskan secara komprehensif pentingnya pencegahan penyebaran COVID-19 dan malah mengancam dengan pidana akan semakin menimbulkan ketidakpercayaan publik pada kinerja pemerintah. Di tengah kondisi ketidakpastian seperti ini, harusnya pemerintah punya cara yang lebih baik dan berdasar dalam mengedukasi masyarakatnya.

Dalam penanganan penyebaran COVID-19, yang harus digalakkan kepada masyarakat adalah pentingnya pencegahan, dengan memberikan informasi komprehensif, berbasis bukti dan berdasar yang mengedepankan aspek kesehatan masyarakat/publik untuk membangun kesadaran masyarakat, bukan ketakutan dengan ancaman pidana.

Ia menjelaskan kebijakan pemenjaraan itu juga tidak selaras dengan kebijakan Mahkamah Agung yang pada 23 Maret lalu menerbitkan Surat Edaran Nomor 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Lingkungan Mahkamah Agung dan Peradilan di Bawahnya. SEMA ini intinya menekankan bahwa persidangan dan administrasi peradilan hanya dilakukan untuk hal yang sangat mendesak

"Efeknya juga sangat buruk nantinya pada penumpukan perkara di pengadilan dan mengingat kondisi Lapas juga yang jadi tempat rentan penyebaran virus," ungkapnya.

Jika pemerintah serta-merta mempromosikan ancaman kriminalisasi, dengan konsekuensi akan ada tindakan hukum yang diberlakukan kepada para pelanggar, pemerintah tidak sejalan dengan upaya MA mencegah penyebaran COVID-19 dalam lingkup peradilan.

Ancaman ini juga jelas bertentangan dengan semangat pencegahan itu sendiri. Ancaman pidana yang digemborkan pemerintah mengenai penggunaan pidana penjara, padahal Lapas pun sekarang telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah penyebaran terjadi di Lapas sebagai tempat yang rentan penyebaran virus.

(G-2)

BACA JUGA: