JAKARTA - Upaya konspirasi dari sejumlah pihak untuk mengubah UU 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) dalam beberapa minggu terakhir semakin intensif. Targetnya jelas bahwa revisi UU Minerba tersebut membuka kesempatan adanya perpanjangan kontrak bagi tujuh perusahaan pertambangan pemegang kontrak Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B), salah satunya adalah PT Adaro Energy Tbk. (ADRO), yang juga dimiliki oleh Garibaldi (Boy) Thohir, kakak dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.

Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan saat ini sedang difokuskan pembahasan revisi UU Minerba agar dapat diundangkan pada April 2020. "Tampaknya para kontraktor yang merupakan bagian dari oligarki penguasa-pengusaha akan berupaya menggunakan segala cara untuk terus mengangkangi aset rakyat bernilai ribuan triliun tersebut. Mereka sangat confident (percaya diri) akan berhasil," kata Marwan kepada Gresnews.com, Selasa (10/3).  

Menurut dia, untuk menyelesaikan RUU tersebut, pemerintah dan DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) pembahasan revisi UU Minerba pada 13 Februari 2020. Hanya dalam waktu 10 hari, Panja selesai membahas 938 daftar inventarisasi Masalah (DIM), yang sebelumnya telah disepakati. Padahal biasanya pembahasan DIM suatu RUU bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan beberapa tahun.

RUU Perubahan UU Minerba memang merupakan RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 yang diteruskan dari DPR 2014-2019. Namun demikian, jika pembahasan dapat diselesaikan dalam waktu super cepat, penyelesaian tersebut wajar dipertanyakan. Dalam hal ini dapat terjadi pelanggaran berbagai aturan dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

"Sikap ugal-ugalan Panja Pemerintah-DPR membahas RUU Revisi UU Minerba ditengarai tak lepas dari motif bernuansa moral hazard dan perburuan rente. Oligarki penguasa-pengusaha berada di balik upaya yang melanggar konstitusi dan merugikan rakyat ini. Target utama oligarki adalah memberi perpanjangan otomatis, dengan luas wilayah kerja  (WK) yang sama dengan WK saat ini, terhadap tujuh kontrak PKP2B generasi pertama yang kontraknya berakhir dalam 1-3 tahun mendatang," ujarnya.

Padahal, sesuai ketentuan UU Minerba yang berlaku saat ini, para pemegang kontrak PKP2B tidak berhak memperoleh perpanjangan kontrak secara otomatis. Seluruh WK tambang yang tadinya dikelola kontraktor harus dikembalikan kepada negara, dan seharusnya diserahkan kepada BUMN. Di samping itu, seandainya pun para kontraktor memperoleh perpanjangan, setelah melalui proses tertentu, luas WK operasi produksinya dibatasi hanya sampai 15.000 hektare.
 
Para kontraktor PKP2B, berikut investor dan pihak terkait, berada di belakang upaya gencar perubahan peraturan sektor minerba. Kontraktor-kontraktor dimaksud adalah PT Tanito Harum (kontrak berakhir pada 1/2019), PT Arutmin Indonesia (11/2020), PT Kaltim Prima Coal (12/2021), PT Multi Harapan Utama (4/2022), PT Adaro Indonesia (10/2022), PT Kideco Jaya Agung (3/2022) dan PT Berau Coal (9/2025). Mereka ingin kembali mengangkangi aset rakyat tersebut hingga 20-30 tahun ke depan, meskipun selama ini telah menikmati hasilnya sekitar 30 tahun. 

Untuk mendukung niat para kontraktor, pemerintah menyatakan perubahan peraturan diperlukan guna meningkatkan investasi, memberi kepastian berusaha dan memberikan manfaat optimal bagi kepentingan nasional dan penerimaan negara. Selain itu dikemukakan pula pernyataan bahwa pendapatan negara berpotensi menurun jika WK tambang tersebut dikelola BUMN. "Kebohongan publik dan manipulasi informasi ini perlu diluruskan," katanya. 

Profil Aset SDA Minerba 
Sesuai informasi yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM (14/01/2020), aset SDA batu bara nasional pada 2018 yang berstatus sumber daya adalah 151,4 miliar ton dan berstatus cadangan adalah 39,89 miliar ton. Aset SDA sumber daya akan berubah status menjadi cadangan jika telah dilakukan kegiatan eksplorasi. Setelah eksplorasi, umumnya volume cadangan selalu lebih rendah dibandingkan dengan volume aset sumber daya.
 
Dua pulau terbesar penyimpan sumber daya dan cadangan batu bara nasional adalah Kalimantan (63%) dan Sumatera (34%). Dalam porsi yang kecil, batu bara tersimpan di Papua dan Sulawesi. Cadangan batu bara dibedakan sesuai nilai kalorinya, yakni kalori rendah (Gross As Received/GAR), kalori sedang (5.100-6.100 kcal/kg GAR), kalori tinggi (6.100-7000 kcal/kg GAR) dan kalori sangat tinggi  (>7.100 kcal/kg GAR).

Harga batu bara acuan (HBA) Indonesia mengacu pada nilai yang ditetapkan pemerintah setiap bulan, sesuai Peraturan Menteri ESDM 7/2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu bara. HBA merupakan harga yang diperoleh dari rerata Indeks Bulanan Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC) dan Platt`s 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6.322 kcal per kilogram GAR, total moisture 8%, total sulphur 0,8% as received (ar) dan ash 15% (ar).

Dalam 10 tahun terakhir HBA berubah dari sekitar US$77/ton pada Januari 2010 menjadi sekitar US$66/ton pada Desember 2019. HBA terendah adalah US$50/ton terjadi pada Februari 2016, sedangkan HBA tertinggi US$ 127/ton terjadi pada Februari 2011. Ada pun dalam lima tahun terakhir HBA rata-rata tiap tahun adalah sekitar US$60/ton (2015), US$61,8/ton (2016), US$ 85,9/ton (2017), US$99/ton (2018) dan US$92,1/ton (2019). 

Berdasarkan nilai HBA dalam 10 tahun di atas, diperoleh nilai HBA rata-rata dalam 10 tahun terakhir sekitar US$77/ton, sedangkan rata-rata nilai HBA dalam lima tahun terakhir, berdasarkan HBA rata-rata tahunan adalah US$79.76/ton. Berdasarkan kedua nilai HBA itu, dalam rangka menghitung nilai aset SDA batu bara nasional, akan diasumsikan bahwa nilai rata-rata HBA adalah US$75/ton.

Produksi batu bara nasional dalam lima tahun terkhir adalah 461 juta ton pada 2015, 438 juta ton (2016), 461 juta ton (2017), 558 juta ton (2018), dan 610 juta ton (2019). Ada pun kontribusi produksi kontraktor PKP2B terhadap produksi nasional tersebut adalah 276 juta ton pada 2015, 273 juta ton (2016), 278 juta ton (2017), 295 juta ton (2018) dan 331 juta ton (2019). Untuk 2020, pemerintah menargetkan besar produksi 550 juta ton.
 
Dengan harga minerba yang terus berubah maka total penerimaan negara dari sektor minerba pun ikut berfluktuasi. Sesuai informasi dari Kementerian ESDM, penerimaan negara tambang minerba adalah Rp29 triliun pada 2015, Rp27 triliun (2016), Rp40 triliun (2017), Rp50 triliun (2018) dan Rp44,8 triliun (2019). Secara rerata, nilai penerimaan negara untuk tambang batu bara adalah sekitar 80% dari nilai penerimaan total tambang minerba.

Nilai Aset Tambang PKP2B 
Menurut Ditjen Minerba, sumber daya dan cadangan batu bara yang saat ini dikuasai tujuh kontraktor PKP2B masing-masing adalah 20,7 miliar ton dan 3,17 miliar ton. Jika diasumsikan nilai kalori rata-rata sumber daya batu bara adalah 4.000 kcal/kg GAR, nilai HBA US$75/ton dan nilai tukar US$/Rp=Rp14.000 maka nilai aset sumber daya batu bara tersebut adalah (4.000/6.332x75x20,7x14.000)=Rp13.730 triliun. Sedangkan nilai aset cadangan batu bara yang dikuasai kontraktor PKP2B adalah (4.000/6.332x75x3,17x14.000)=Rp2.102 triliun.

Saat ini luas wilayah tambang batu bara yang dikuasai oleh tujuh kontraktor PKP2B adalah PT Tanito Harum 1.869 hektare, PT Arutmin Indonesia 57.107 hektare, PT Kaltim Prima Coal 84.938 hektare, PT Multi Harapan Utama 39.972 hektare, PT Adaro Indonesia 31.380 hektare, PT Kideco Jaya Agung 47.500 hektare, dan PT Berau Coal 108.009 hektare. Total luas wilayah tambang yang dikuasai oleh kontraktor PKP2B adalah 370.775 hektare.

Sesuai batasan maksimum luas wilayah bagi kontraktor yang memperoleh perpanjangan kontrak (dalam bentuk izin), seperti diatur dalam Pasal 83 UU Minerba, jika seluruh kontraktor PKP2B memperoleh perpanjangan kontrak maka luas wilayah tambang yang dapat dikuasai adalah 7x15.000=105.000 hektare. Ada pun wilayah tambang yang harus dikembalikan kepada negara adalah (370.775-105.000)=265.775 hektare.

Jika diasumsikan sumber daya batu bara tersebar secara merata dalam wilayah tambang maka volume sumber daya batu bara yang dapat dikuasai negara masing-masing adalah (265.775/370.775)x20,7 miliar ton=14,84 miliar ton, sedangkan volume cadangan yang dapat dikuasai negara adalah (265.775/370.775)x3,17 miliar ton=2,27 miliar ton.
 
Jika diterapkan asumsi kalori, HBA dan kurs US$/Rp untuk seluruh aset yang dikuasai seluruh kontraktor PKP2B saat ini sama seperti yang diuraikan sebelumnya, nilai aset sumber daya yang dapat diperoleh negara sekitar Rp9.843 triliun. "Dengan cara perhitungan yang sama, nilai aset cadangan batu bara yang dapat dikuasai negara sekitar Rp1.505 triliun," kata Marwan.

Sedangkan nilai aset sumber daya dan cadangan yang dikuasai kontraktor jika memperoleh perpanjangan kontrak (izin) hanya dengan luas lahan tambang maksimum 15.000 hektare masing-masing adalah sekitar Rp3.887 triliun dan sekitar Rp596,67 tiliun.

Perhitungan di atas memperlihatkan jika seluruh kontraktor PKP2B diberi perpanjangan otomatis untuk seluruh wilayah tambang yang saat ini dikuasai maka pemerintah otomatis menyerahkan pengelolaan aset cadangan batu bara nasional bernilai sekitar Rp2.102 triliun.

Jika perhitungan didasarkan pada volume sumber daya maka nilai aset negara yang diserahkan adalah Rp13.730 triliun. Jika luas wilayah yang dikuasai kontraktor PKP2B terbatas hanya sampai 15.000 hektare, nilai aset sumber daya dan cadangan yang diserahkan tersebut masing-masing sekitar Rp3.887 triliun dan sekitar Rp596,67 triliun.

Disadari bahwa setelah dieksplorasi, sumber daya batu bara tidak seluruhnya akan berubah menjadi cadangan batu bara. Volume cadangan selalu lebih rendah dari volume sumber daya. Jika sumber daya yang dikuasai kontraktor PKP2B dengan volume 20,7 miliar ton dieksplorasi, diyakini lebih dari setengahnya dapat berubah status menjadi cadangan. Maka, nilai aset cadangan ini dapat diasumsikan sekitar Rp6.500 triliun.

Berdasarkan asumsi dan perhitungan yang sangat konservatif, potensi aset negara yang akan dicaplok kontraktor PKP2B jika kontrak diperpanjang secara otomatis adalah sekitar Rp2.102 hingga Rp6.500 triliun," ungkap Marwan.

Padahal, sesuai amanat UUD 1945, amanat reformasi TAP MPR IX/2001, perintah UU Minerba, dan rasa keadilan masyarakat, seluruh aset sumber daya dan cadangan batu bara negara bernilai hingga Rp6.500 tiliun tersebut, yang saat ini dikuasai kontraktor PKP2B, harus dikembalikan kepada negara saat kontrak berakhir. Selanjutnya, sesuai landasan hukum yang sama, pengelolaan aset tersebut harus diserahkan kepada BUMN.
 
Jika rencana perubahan UU Minerba dan kelak diperkuat dengan UU Omnibus Law tetap dilanjutkan dengan ketentuan-ketentuan yang saat ini didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah disiapkan dalam RPP Ke-6 PP 23/2010, jangan heran jika akhirnya aset rakyat yang bernilai antara Rp2.102 triliun (cadangan) hingga Rp6.500 triliun (sumber daya) akan kembali dikuasai oleh kontraktor swasta dan asing.

(G-2)

BACA JUGA: