JAKARTA - Netflix, layanan penyedia konten video berbayar asal Amerika Serikat, sedang mendapatkan sorotan dari masyarakat dan pemerintah Indonesia. Salah satu yang kuat mengemuka adalah dugaan adanya konten Netflix Indonesia yang memuat unsur pornografi, sentimen negatif SARA (suku, agama, ras, antargolongan), pelanggaran norma kesusilaan, serta pelanggaran hukum dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku di Indonesia.

Belum lagi terkait masalah perpajakan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa Netflix tidak pernah membayar pajak selama beroperasi di Indonesia. Persoalan lainnya adalah ketentuan pendirian Badan Usaha di Indonesia. Netflix tidak memiliki Badan Usaha Indonesia. Bahkan, diduga Netflix juga tidak memiliki mitra lokal yang berbadan hukum Indonesia untuk menarik pelanggan, melakukan transaksi, dan pendistribusian konten.

Sejumlah pejabat pemerintahan dan pegiat lembaga swadaya masyarakat angkat bicara tentang sederet masalah Netflix tersebut. Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi meminta pemerintah melakukan terobosan hukum untuk menindak Netflix. Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Agung Suprio menduga konten negatif terdapat dalam Netflix dan berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi mendorong masyarakat mengadukan kepada aparat penegak hukum atau pihak berwenang lain mengenai konten negatif Netflix. Bahkan, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim menilai rencana kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Netflix tidak ada urgensinya. Sementara itu, Pendiri sekaligus Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja mempersoalkan Netflix yang tidak menyaring konten negatif.

Pada Rabu (22/1), Gresnews.com mengontak Manajer Komunikasi Netflix Kooswardini Wulandari melalui telepon seluler untuk meminta klarifikasi dan tanggapan mengenai sejumlah isu dan persoalan seperti tersebut di atas.

Sebanyak tiga pertanyaan dilayangkan kepada Dini--sapaannya:

  1. Mengapa Netflix tidak membentuk badan hukum di Indonesia atau bekerja sama dengan mitra lokal perusahaan di Indonesia untuk mendistribusikan konten?
  2. Bagaimana selama ini soal perpajakan? Apakah Netflix membayar pajak di Indonesia dan negara lain tempat Netflix beroperasi?
  3. Apa tanggapan Anda bila pemerintah memutuskan terdapat konten yang melanggar UU, misal UU Pornografi? Apakah Netflix bisa langsung take down konten tersebut atau menunggu putusan pengadilan/proses hukum?

Lantaran mengaku sedang rapat, Dini meminta Gresnews.com mengirimkan pertanyaan tersebut melalui surat elektronik (email). Menjelang siang hari, jawaban Dini mampir ke ponsel.

"Tidak ada tanggapan dari kami, ya. Terima kasih sebelumnya," kata Dini.

Seperti diberitakan media beberapa hari terakhir, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan tengah menunggu pengaduan dari masyarakat bila memang menemukan konten Netflix yang mengandung unsur-unsur yang dilarang. Jika Netflix tidak menyediakan mekanisme untuk menghilangkan adegan yang memiliki unsur pornografi, misalnya, keseluruhan layanan Netflix akan dihentikan oleh Kemenkominfo.

Sementara itu, berdasarkan siaran pers Kemenkominfo pada Kamis, 9 Januari 2020, dinyatakan sebagai upaya optimalisasi penanganan konten negatif di dunia maya, Kemenkominfo akan terus meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan kementerian dan lembaga pada 2020. Kerja sama tersebut di antaranya lahir dalam bentuk Satuan Tugas maupun penandatanganan kerja sama untuk penanganan konten-konten negatif yang sesuai dengan kewenangan kementerian dan lembaga masing-masing.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, sepanjang 2019 Kemenkominfo menerima lebih dari 430 ribu aduan masyarakat terkait konten bermuatan negatif yang diterima melalui layanan Aduan Konten. Muatan konten negatif itu terdiri dari beragam kategori, mulai dari pornografi, SARA, hoaks, perjudian, terorisme/radikalisme, kekerasan pada anak, hingga pelanggaran HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) dan penyalahgunaan obat terlarang. (G-2)

 

BACA JUGA: