JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyatakan menunda pembahasan empat Rancangan Undang Undang (RUU) setelah marak aksi unjuk rasa mahasiswa dari berbagai elemen menolak RUU KPK di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada 24 September 2019. Salah satunya UU Minerba. Anehnya, di tengah Daftar Invetarisasi Masalah (DIM) dan draf UU Minerba baru mulai dibahas oleh DPR, dan bahkan masih jauh dari selesai, Menteri ESDM Arifin Tasrif telah mengirim surat nomor 516/30/MEM.B/2019 tertanggal 18 November 2019 yang justru terkesan “memaksa” Menteri Sekretaris Negara untuk membahas tindak lanjut Rencana Perubahan keenam PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba).

"Tak pelak, publik bisa bingung. Jangan-jangan ada dua presiden di pemerintahan sekarang," kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman kepada Gresnews.com, Senin (13/1).

Menurut Yusri, revisi PP Minerba itu seharusnya isinya tidak boleh bertentangan dengan UU Minerba. Ironisnya, draf revisi yang diajukan Menteri ESDM pun, sebagian pasalnya bertentangan dengan UU Minerba. Oleh sebab itu, tak salah kalau publik menilai Menteri ESDM diduga telah lemah di hadapan delapan taipan batu bara yang memiliki PKP2B dan waktu kontraknya akan berakhir. Indikasi ini diperkuat lagi bahwa Menteri BUMN adalah adik dari Garibaldi “Boy” Thohir, salah satu pemegang saham PT Adaro Indonesia. 

Ia menjelaskan revisi PP Minerba pada 2018 sudah lama terhenti setelah Menteri BUMN saat itu Rini Soemarno membuat surat ke Mensesneg untuk mempertegas hak prioritas BUMN mengelola tambang mineral dan batu bara sebagai disebut pada Pasal 74 UU Minerba. Bahkan KPK secara tegas telah menyurati Presiden Jokowi untuk menunda pengesahan revisi keenam PP Minerba, termasuk bukti atas rekomendasi KPK terkait IUPK PT Tanito Harum yang terlanjur diterbitkan oleh Menteri ESDM Ignatius Jonan, akhirnya dicabut. 

Mengingat rekomendasi KPK dibuat secara kelembagaan berdasarkan kajian hukum, upaya yang dilakukan Menteri ESDM saat ini telah memulai lagi memproses revisi keenam PP Minerba itu, sama saja terkesan Menteri ESDM menantang KPK. "Karena hanya satu jalan supaya tidak melanggar UU, adalah melakukan revisi UU Minerba atau Presiden menerbitkan Perppu Minerba," ujarnya.

Ada pun RPP yang diajukan Menteri ESDM Arifin Tasrif justru melanggar UU Minerba. Yusri menjelaskan dalam RPP tersebut pada Pasal 112, poin 2a, tertulis bahwa pemberian luas wilayah sesuai dengan rencana kegiatan pada seluruh wilayah perjanjian yang telah disetujui Menteri sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku. Padahal jelas, addendum yang ditandatangani, termasuk luasan konsesi, bukan diberlakukan untuk perpanjangan PKP2B menjadi IUPK. Namun sebatas masa berlakunya PKP2B.

Demikian juga di Pasal 112B, yang di dalam RPP justru mengusulkan perpanjangan dapat diberikan lima tahun sebelum kontrak berakhir, yang semestinya dua tahun sebelum kontrak berakhir.

Kemudian, pada Pasal 112B RPP, dinyatakan pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara harus mengajukan permohonan perpanjangan disertai dengan permohonan untuk melakukan perubahan bentuk pengusahaan dari kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara, menjadi IUPK Operasi Produksi perpanjangan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara berakhir. 

Belum lagi bicara Barang Milik Negara (BMN), yang oleh perhitungan ESDM sebatas dinilai sebesar 0.21% (dimasukkan di dalam royalti sebesar 15%), dengan sebatas 0.21% tentunya harga sewa ini sangat murah bagi PKP2B dibandingkan besarnya nilai investasi. "Semua usulan dalam RPP tersebut, diduga hasil lobi pemilik PKP2B yang sangat menjatuhkan martabat bangsa atas kepemilikan Sumber Daya Alam mineral dan batu bara," ujarnya. 

Menurutnya, Sekretariat Negara yang semestinya ada di depan untuk melindungi Presiden Jokowi, justru terkesan terpojok dengan mengundang Rapat Klarifikasi, yaitu melalui Undangan Nomor: B-07/ Kemensetneg/ D-1/HK.02.02/01/2020 tanggal 8 Januari 2020, dengan mengundang Menko Kemaritiman, Menko Perekonomian, Kementerian ESDM, Menteri Keuangan, BUMN dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Bahkan, dari informasi yang didapat, semua Kementerian terundang telah memberikan paraf menyetujui Draf Perpanjangan PKP2B. Sangat diduga, lobi delapan taipan telah berhasil masuk ke seluruh kementerian untuk membantu perpanjangan PKP2B menjadi IUPK. 

Sikap tegas Menteri BUMN sebelumnya yang menolak revisi keenam PP Minerba adalah untuk tujuan memperkuat BUMN sesuai perintah UU Minerba justru diputarbalikkan oleh Kementerian ESDM dengan bantuan Kementerian lainnya, diduga sebatas untuk kepentingan delapan taipan pemilik PKP2B.

Atas dasar konstitusi, di mana rakyat sebagai pemilik sumber daya alam mineral dan batu bara, justru diabaikan sama sekali. Menteri ESDM yang semestinya berdiri untuk kepentingan rakyat dan menjaga Presiden Jokowi atas inisatifnya untuk menunda UU Minerba justru diterobos dengan sangat kasarnya oleh Menteri ESDM dan Kementerian lainnya sebatas untuk berhasilnya tujuannya memperpanjang izin PKP2B menjadi IUPK.

Menteri ESDM terkesan menjadi sangat konyol dalam memojokkan logika rakyat. PT Freeport Indonesia yang diperjuangkan diambil alih oleh negara dengan modal pinjaman miliaran dolar AS, namun sebaliknya justru PKP2B yang telah habis masa konsesi, dan bisa diperoleh secara gratis dengan proyeksi profit dalam miliaran dolar AS, dengan sangat mudah diperpanjang kepada pengusaha dari pada untuk kepentingan BUMN menjaga ketahanan energi jangka panjang.

Maka wajar juga menjadi pertanyaan, apakah sesungguhnya para menteri ini bekerja untuk kepentingan rakyat atau pengusaha? Menurutnya, wajar jika publik menilai bahwa jangan-jangan Presiden Jokowi tanpa sadar telah tersandera oleh pemilik PKP2B. Banyak keluhan Presiden Jokowi di ruang publik soal kebijakan sektor energi ada pengaruh mafia, namun anehnya kenapa bisa berbeda atau bertolak belakang dengan sepak terjang para menteri-menteri dalam mengimplementasikan kebijakannya. (G-2)

BACA JUGA: