JAKARTA - Pemerintah kembali melanjutkan pembahasan Rancangan Peraturan Perubahan (RPP) tentang Perubahan Keenam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (PP Minerba). Kuat dugaan, revisi PP Minerba kali ini dilakukan untuk mengakomodasi perusahaan tambang Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) generasi pertama yang kontraknya akan habis tahun ini dan beberapa tahun mendatang.

Sepucuk surat yang diteken Deputi Menteri Sekretaris Negara dengan kop surat Kementerian Sekretaris Negara Lyda Silvanna Djaman (Kemensesneg) Nomor 10-1/HK/02.02/01/2020 berisi tentang perubahan waktu rapat dari semula Kamis (9/1) menjadi Jumat (10/1), beredar luas di publik. Isi surat itu merujuk surat dari Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan Kemensesneg No B- 30/Kemensetneg/D-1/HK.02.02/011/2020 yang dikeluarkan pada 3 Januari 2020 soal rapat klarifikasi. Surat itu merupakan tindak lanjut pembahasan revisi keenam PP Minerba. 

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menduga tujuan dari rapat kementerian itu hanya untuk menyelamatkan status delapan perusahaan pemegang PKP2B generasi pertama. Perusahaan-perusahaan itu adalah PT Adaro Indonesia, PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Berau Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Kendilo Coal, PT Tanito Harum, dan PT Multi Harapan Utama. 

"Buktinya jelas bagaimana lingkar kekuasaan istana yang diwakili kementerian sangat melindungi para taipan batu bara tersebut, padahal semua lahan itu awalnya milik PN batu bara," kata Yusri kepada Gresnews.com, Sabtu (11/). 

Ia mencontohkan Kementerian ESDM pada era Ignasius Jonan sempat memperpanjang PKP2B milik Tanito Harum awal Januari 2019, namun atas rekomendasi KPK dibatalkan kembali oleh Kementerian ESDM karena melanggar UU Minerba. Contoh lain, ketika ada revisi PP Minerba yang isinya justru bertentangan dengan UU Minerba.  

"Padahal revisi itu jelas sebuah langkah sia-sia karena jelas melanggar UU di atasnya. Namun, terkesan bahwa ada sejumlah oknum pejabat di kementerian ini yang memang notabene bekerja untuk mengamankan kepentingan para taipan dibandingkan kepentingan negara," ujarnya. 

Yusri bercerita, pembahasan revisi PP Minerba sebelumnya sudah pernah dilakukan pada medio 2018, dan terkesan seperti `operasi intelijen` karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa proses sosialisasi dengan masyarakat pertambangan. Namun, atas rekomendasi KPK kepada presiden akhirnya pembahasan itu dibatalkan oleh Kementerian Sekretaris Negara. Anehnya, niat itu tidak pernah berhenti. Oknum pejabat dan para oknum politikus itu hanya mengubah strategi saja, yaitu merevisi UU Minerba pada ujung sisa umur sebulan masa akhir tugas anggota DPR periode 2014-2019.

Upaya itu, imbuh Yusri, juga kandas di ujung karena adanya tekanan demonstrasi oleh mahasiswa di sekitar Kompleks Senayan menjelang pelantikan presiden terpilih.

Namun, lanjut dia, langkah pejabat dan politikus pandir itu tidak pernah surut membela para taipan batu bara. Pada akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama, ada upaya sistematis melakukan revisi keenam PP Minerba. 

"Langkah itu juga gagal karena ada penolakan dari Kementerian BUMN bahwa Pasal 74 UU Minerba Nomor 4/2009 tegas mengatakan bahwa tambang batu bara milik PKP2B generasi pertama yang berakhir masa kontraknya untuk diserahkan kepada BUMN tambang dan BUMD sebagai prioritas untuk menjaga ketahanan energi jangka panjang," terang Yusri. 

Yusri menduga, jika revisi keenam PP Minerba saat ini dilakukan kembali, hal itu diduga kuat mendapat dukungan Kementerian BUMN, karena kehadiran Erick Tohir sebagai Menteri BUMN.

"Publik tahu bahwa Erick Tohir adalah adik dari Garibaldi `Boy` Thohir, salah satu pemegang saham PT Adaro Energy, Tbk, induk dari Adaro Indonesia. Dugaan potensi konflik kepentingan akan sangat terasa," ucap dia, sambil menegaskan, Presiden Jokowi harus sangat hati-hati dengan anak buahnya agar pada kemudian hari, pemerintah saat ini tidak dituduh sebagai penyebab adanya kesulitan pasokan batu bara bagi PLN ketika proyek 35.000 MW sudah berjalan dan rusaknya bisnis batu bara BUMN untuk menjaga ketahanan energi nasional jangka panjang. (G-2)

BACA JUGA: