JAKARTA - Pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan tidak bisa menyampaikan keterangan mengenai kebijakan pemerintah terhadap kontrak sejumlah perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara (PKP2B) Generasi I yang akan segera habis masa berlakunya. Sementara itu, desakan masyarakat kepada pemerintah untuk menghentikan, dengan kata lain tak memperpanjang kontrak PKP2B, itu semakin kuat.

BACA: ICW Soroti Potensi Korupsi Perpanjangan Izin Batu Bara Adaro, Bakrie, Dkk

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak enggan menjelaskan tentang apakah kontrak pemegang PKP2B Generasi I itu akan diperpanjang atau tidak. "Saya tak bisa sampaikan itu, no comment," kata Yunus kepada Gresnews.com pekan lalu usai sebuah diskusi di Jakarta.

Pada 23 Oktober 2019, Gresnews.com menyurati Kementerian ESDM untuk mengonfirmasi posisi terkini perusahaan pemegang PKP2B Generasi I yang akan habis masa berlakunya. Pada 7 November 2019, Kementerian ESDM menjawab ada tujuh pemegang PKP2B Generasi I: PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal Indonesia.

Penelusuran lebih lanjut menunjukkan kontrak mereka dalam waktu dekat akan habis, di antaranya PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 2021 dan PT Arutmin Indonesia pada 2020. Lalu, PT Adaro Energy Tbk. pada 2022, PT Kideco Jaya Agung pada 2023, dan PT Berau Coal Energy pada 2025.

Sementara itu Lembaga pemeringkat internasional Moodys Investor Service dalam laporan terbarunya mengeluarkan proyeksi terhadap kemampuan pembayaran utang tujuh perusahaan batu bara. Lima di antaranya yakni PT Adaro Indonesia, PT Indika Energy Tbk., PT ABM Investama Tbk., PT Geo Energy Resources Ltd., dan PT Bumi Resources Tbk.

Berdasarkan data Moodys, total obligasi dan utang bank yang jatuh tempo pada 2022 mencapai US$2,9 miliar. Jumlah itu belum termasuk rentetan pembayaran pada 2020 sebesar US$800 juta pada 2020 dan US$700 juta pada 2021. Tujuh perusahaan tambang tersebut memiliki likuiditas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kas dalam 12 bulan, termasuk belanja modal untuk proyek, dividen, dan utang jatuh tempo yang telah dijadwalkan.

Namun, risiko pembiayaan kembali akan meningkat secara material menuju 2022 dan kualitas kreditnya akan melemah apabila perusahaan tidak memiliki rencana pembiayaan kembali 12-18 bulan sebelum utang tersebut jatuh tempo. Adaro, Indika dan PT Bumi Resources Tbk. mendapatkan peringkat negatif B3 menghadapi ketidakpastian peraturan yang lebih tinggi karena hak penambangan ketiga perusahaan ada di bawah lisensi Kontrak Karya Batubara (CCoW). (G-2)

BACA JUGA: