JAKARTA - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terus berulang. Setelah kejadian pada 2015, pada tahun ini karhutla kembali terjadi. Ironisnya, para pihak yang mendanai perusahaan yang diduga sebagai pelaku pembakaran hutan dan lahan yang terjadi sepanjang 2019 adalah bank-bank yang termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) Edi Sutrisno mengungkapkan dari 10 bank teratas yang mendanai 17 perusahaan yang diduga terlibat karhutla 2019, yang paling besar adalah bank-bank Indonesia dengan total nilai pinjaman sebesar US$3,3 miliar (Rp46,2 triliun kurs hari ini), diikuti oleh bank-bank Tiongkok US$2 miliar (Rp28 triliun), dan bank-bank Malaysia sebesar US$1,9 miliar (Rp26,6 triliun).

"Pemberi pinjaman tunggal terbesar adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan BNI (Bank Negara Indonesia)," ungkap Edi di Cikini, Jakarta Pusat, dalam diskusi yang dihadiri Gresnews.com, Rabu (30/10).

Namun, kata dia, kalau hal itu ditanyakan kepada pemerintah, pasti ditepis. "Niatnya nggak begitu (kata pemerintah)," imbuhnya. Tapi, faktanya, negara melalui bank BUMN memberikan dana kepada perusahaan yang kemudian melakukan pembakaran hutan.

Selain BRI, BNI juga masuk posisi tiga teratas pemberi dana terbesar kepada perusahaan yang diduga terlibat karhutla. "BNI ini bolak-balik menyatakan sebagai bank yang paling green. Tapi kalau dilihat lagi definisi green financing, menurut BNI itu ialah membiayai industri hijau. Apa hijau itu? Sawit," ujar Edi.

Sementara itu penyandang dana yang berasal dari luar negeri, ada 10 lembaga keuangan yang menyediakan obligasi dan menjadi pemegang saham pada 17 korporasi terlibat karhutla 2019. Sebanyak 17 korporasi tersebut membawahkan 64 perusahaan yang sudah disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena terindikasi terlibat langsung karhutla di Indonesia. Sebanyak 70% merupakan milik Malaysia, disusul Amerika Serikat yang memegang saham sebesar 16%, lalu Australia sebesar 8%, dan Britania Raya sebesar 6%.

Menurut Edi, para penyandang dana grup terbesar yang berasal dari luar Indonesia telah membuat kondisi hutan dan lingkungan Indonesia memburuk. Mereka mencari keuntungan sebesar-besarnya, kemudian menyetorkan keuntungan tersebut kepada pemegang saham dan investor di negeri asalnya. (G-2)

BACA JUGA: