JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum rampung mengusut kasus Pertamina Energy Service Pte. Ltd—anak perusahaan PT. Pertamina (Persero)—periode 2009-2013. Sejak Juni 2014, KPK telah memeriksa 53 orang saksi dan dipelajari dokumen dari berbagai instansi serta koordinasi dengan beberapa otoritas di lintas negara. Kini muncul lembaga serupa Petral yang dibuat Pertamina: Pertamina International Marketing and Distribution (PIMD).

Sejak September lalu, Pertamina membuka trading arm di Singapura. PIMD difokuskan untuk menangkap peluang terutama di bisnis bunkering terutama di Singapura. Caranya adalah dengan memanfaatkan fasilitas blending MFO 380 dari Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina di Sambu, serta masuk ke pasar regional dengan membangun bisnis retail untuk memperkenalkan brand Pertamina secara global.

"Namun, PIMD juga untuk impor LPG dalam memenuhi kebutuhan di dalam negeri," kata pengamat ekonomi dan energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, kepada Gresnews.com, Rabu (9/10).

Fahmy menjelaskan, serupa dengan PIMD, Petral awalnya juga dimaksudkan untuk menjual minyak mentah di pasar internasional pada saat Indonesia masih sebagai negara eksportir minyak. Namun, pada saat Indonesia sudah menjadi negara net importer, fungsi Petral sebagai satu-satunya trading arm yang hanya melakukan impor crude untuk kilang Indonesia dan impor BBM untuk kebutuhan dalam negeri.

Menurutnya, modus operandi dilakukan dalam bidding dan blending impor BBM. Memang dalam bidding dilakukan secara online, tetapi ada anomali bahwa pemenang tender selalu dari National Oil Company (NOC) negara bukan penghasil minyak, seperti Thailand, Vietnam, Italia, dan Maldives. Ternyata NOC tersebut hanya digunakan sebagai frontier mafia migas untuk memasok crude dan BBM dengan harga yang sudah digelembungkan.

"NOC itu bisa memenangkan tender karena ada informasi harga penawaran dari dalam Petral," kata Fahmy, yang juga mantan anggota Tim Anti Mafia Migas.

Ia menegaskan setelah penutupan Petral, pembukaan kembali trading arm pemasaran di Singapura sangat tidak tepat, bahkan blunder, yang berpotensi mengundang mafia migas. Praktik pemburuan rente ala Petral pasti akan terulang kembali, utamanya dalam pengadaan impor LPG, yang masih dibutuhkan di pasar dalam negeri dalam jumlah yang besar. Sedangkan kapasitas jualan produk Pertamina, MFO 380 untuk BBM kapal laut dan produk pihak ketiga ke pasar international, masih sangat kecil.

Ujung-ujungnya, PIMD hanya akan melakukan impor LPG, yang rawan menjadi sasaran mafia migas untuk berburu rente seperti yang terjadi pada Petral. Kalau benar PIMD nantinya hanya digunakan oleh mafia migas dalam pemburuan rente maka akan sangat sulit untuk menghentikan sepak terjang mafia migas. Pasalnya, PIMD yang berkedudukan di Singapura berada di luar wilayah Indonesia, sehingga tidak terjangkau dan tersentuh oleh KPK. Tidak mengherankan, kalau KPK baru menetapkan Direktur Utama Petral sebagai tersangka suap pengadaan crude, setelah empat tahun melakukan penyelidikan. (G-2)

BACA JUGA: