JAKARTA - Lapindo Brantas Inc. tengah melakukan manuver selepas lewat jatuh tempo pembayaran utang dana penanggulangan lumpur Sidoarjo. Perusahaan minyak dan gas yang terkait dengan kelompok usaha Bakrie itu berutang kepada pemerintah sebesar total Rp1,599 triliun—terdiri dari utang pokok Rp773,38 miliar, bunga 2015-2018 sebesar Rp126,83 miliar, dan denda keterlambatan pengembalian pinjaman Rp699,13 miliar. Lapindo baru membayar Rp5 miliar. Jadi, total utang, denda, dan bunga yang harus dibayar Lapindo kepada pemerintah sebesar Rp1,594 triliun.  Itu semua tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/LKPP (Audited) 2018 yang telah diperiksa juga oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Namun, Lapindo melakukan manuver. Sebelum jatuh tempo pada 10 Juli 2019, Lapindo bersurat kepada pemerintah melalui Surat Nomor 586/MGNT/ES/19 pada 19 Juni 2019. Mereka menawarkan skema perjumpaan utang (set-off), yakni penghapusan utang-piutang antara Lapindo dan pemerintah. Lapindo balik melakukan klaim bahwa mereka memiliki piutang kepada pemerintah sebesar Rp1,9 triliun (US$138 juta) berupa dana cost recovery. Klaim Lapindo itu didasarkan pada dua dokumen: 1) Hasil audit khusus Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap pembukuan Lapindo Brantas Inc. dan PT MInarak Lapindo Jaya (MLJ) pada Juni 2018; 2) Verifikasi oleh SKK Migas sebagai biaya yang dapat diganti (Cost Recoverable) pada September 2018 sesuai Surat SKK Migas No. SRT-0761/SKKMA0000/2018/S4 tanggal 10 September 2018.

“Kami sudah mengajukan permohonan kepada pemerintah melalui Departemen Keuangan untuk dilakukan pembayaran utang dengan mekanisme perjumpaan utang, yaitu menjumpakan piutang kepada pemerintah dengan pinjaman dana antisipasi," seperti dilansir dari keterangan tertulis dua perusahaan atas nama President Lapindo Brantas Inc Faruq Adi Nugroho dan PT Minarak Lapindo Jaya Benjamin Sastrawiguna, Selasa, 25 Juni 2019.

Gresnews.com menelisik klaim Lapindo itu. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menentang keras usulan set-off tersebut. Eksekutif Daerah Walhi Jatim Rere Christanto menegaskan pemerintah sebaiknya serius memastikan utang berikut bunga dan denda Lapindo itu dibayar. “Cost recovery itu urusan lain. Itu domain SKK Migas untuk menuntaskan,” kata Rere kepada Gresnews.com, Rabu (14/8).

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher belum mau menjelaskan ketika ditanya apakah Surat SKK Migas No. SRT-0761/SKKMA0000/2018/S4 tanggal 10 September 2018 bisa dijadikan dasar klaim Lapindo bahwa pemerintah berutang cost recovery Rp1,9 triliun kepada Lapindo. “Saya cek dulu dengan tim. Nanti akan segera dikabari,” kata Wisnu kepada Gresnews.com, Rabu (14/8). Amien Sunaryadi (mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) menjabat Kepala SKK Migas ketika surat yang diklaim Lapindo itu keluar yakni 10 September 2018. Dia digantikan oleh Dwi Soetjipto per 30 November 2018. Amien pun pensiun.

BPK sebetulnya sudah mencium gelagat kisruh soal utang Lapindo itu. Merujuk Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015, terdapat temuan yang berbunyi: “Pemerintah belum optimal mengamankan pengembalian pinjaman atas dana antisipasi penanggulangan lumpur Sidoarjo yang diberikan kepada Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya senilai Rp773,38 miliar jika terjadi wanprestasi.

Ada empat permasalahan yang disorot BPK:

  • Potensi terjadi dispute atas nilai pinjaman yang diberikan antara pemerintah dan Lapindo yang akan berdampak pada perhitungan denda dan bunga;
  • Belum terdapat kepastian hukum yang utuh terhadap jaminan yang diberikan kepada pemerintah;
  • Jaminan yang diberikan tidak dapat serta merta disita dan dilelang jika terjadi wanprestasi serta terdapat risiko sengketa hukum antara pemilik hak yang namanya tercantum dalam dokumen perolehan kepemilikan atas tanah dengan pemerintah;
  • Potensi pemberian pinjaman kepada Lapindo tidak dapat tertagih dan nilai wajar jaminan tidak dapat menutupi pelunasan kewajiban Lapindo kepada pemerintah.

Walhi Jatim juga senada. Rere menilai utang yang dikasih ke Lapindo itu absurd, terutama soal status jaminannya. Lapindo menjaminkan tanah dari sertifikat milik korban lumpur yang telah dibayar. Padahal Lapindo sebagai korporasi tidak boleh memiliki sertifikat hak milik. Lalu tanah itu diubah statusnya menjadi tanah negara melalui penerbitan Hak Guna Usaha/HGU atau Hak Guna Bangunan/HGB. “Lapindo menjaminkan tanah yang adalah tanah negara kepada pemerintah sebagai jaminan utang,” kata Rere.

Masalah mesti dirunut dari awal. Sejak perjanjian utang itu diteken pada 10 Juli 2015 antara pemerintah dan Lapindo Brantas Inc/Minarak Lapindo Jaya lewat dokumen perjanjian Nomor PRJ-16/MK.01/2015, 402/P/TSS/L15 dan 37-AGR/MLJ/ADS-DIRUT/VII/2015 tentang Pemberian Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 senilai Rp781,68 miliar. Dalam perjanjian itu tercantum bahwa LBI/MLJ wajib melunasi pinjaman selambat-lambatnya empat tahun sejak ditandatanganinya perjanjian secara prorata ditambah bunga 4,8% per tahun dan/atau denda sebesar 1 permil per hari dari nilai pinjaman. Pada 31 Desember 2015, pemerintah mencairkan dana antisipasi sebesar Rp773,38 miliar. Sebelum perjanjian itu dibuat, terdapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara uji materiil UU APBN 2013 yang diajukan oleh para korban lumpur. Putusannya berbunyi negara harus menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian terhadap masyarakat dalam wilayah terdampak oleh perusahaan yang bertanggung jawab. Itulah pertimbangan pemerintah meminjamkan uang ke Lapindo setelah dikeluarkan Peraturan Presiden.

Lalu berapa nilai taksiran (appraisal) jaminan yang diajukan Lapindo untuk utang itu yakni sertifikat tanah dan bangunan milik warga? Surat Jaksa Agung Muhammad Prasetyo Nomor B-096/A/Gph.1/07/2015 tanggal 6 Juli 2015 menetapkan secara yuridis dan normatif bahwa verifikasi BPKP atas realisasi pembayaran ganti rugi yang telah dilakukan oleh LBI/MLJ sampai tahun 2014 sebesar Rp2.797.442.841.586,00 dapat dipergunakan sebagai nilai jaminan pemberian pinjaman dana antispasi.

Hingga kini polemik masih berlangsung. Lapindo masih bersikeras memiliki piutang Rp1,9 triliun kepada pemerintah. Siapakah di balik Lapindo ini?

Laporan Keuangan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) per 30 Juni 2019 (Triwulan II) menyebutkan ENRG, melalui satu atau lebih perantara, adalah entitas sepengendali dengan Lapindo Brantas Inc, Energi Timur Jauh Limited, dan Global Overseas Enterprises Ltd. Sementara itu, 15,27% saham ENRG per 30 Juni 2019 dikuasai oleh Greenwich International Ltd, 12,09% oleh PT Valbury Sekuritas Indonesia, 8,69% oleh PT Geo Link Indonesia, dan 57,68% oleh masyarakat.

Akta PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) yang diperoleh Gresnews.com tercatat 10 September 2018 dan berkedudukan di Jl. Klampis Sacharosa Nomor 55 Surabaya, Jawa Timur. Modal disetornya Rp12,5 miliar. Pemegang sahamnya hanya dua: 1) Bakrie Jatim memegang 2 lembar saham senilai Rp2.000, berkedudukan di Waterplace Twr 15, Jl. Puncak Indah Lontar Timur 3; 2) PT Prakarsa Brantas memegang 12.499.998 lembar senilai Rp12,49 miliar, berkedudukan di Bakrie Tower Lantai 20 Rasuna Epicentrum Jalan HR. Rasuna Said, Jakarta Selatan.

PT Prakarsa Brantas (32% Participation Interest/PI) itulah, bersama PT Minarak Brantas Gas (18%) dan Lapindo Brantas Inc (50%), yang pada 3 Agustus 2018 justru mendapatkan perpanjangan kontrak kerja sama bagi hasil gross split dari pemerintah untuk wilayah kerja Brantas yang berlaku efektif 23 April 2020 selama 20 tahun. Bonus tanda tangan (signature bonus) dari kontrak ini sebesar US$1 juta atau setara Rp13,4 miliar. Sedangkan perkiraan total nilai investasi dari pelaksanaan komitmen kerja pasti lima tahun pertama adalah sebesar US$115,5 juta atau setara Rp1,5 triliun. Dirjen Migas ESDM Djoko Siswanto yang melakukan penandatanganan perpanjangan kontrak Lapindo itu.

Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara kepada Gresnews.com, Rabu (14/8), meminta semua pihak memperhatikan betul rencana set-off utang Lapindo itu. “Kalau tidak ada transparansi, jangan dilakukan.” (G-1)

BACA JUGA: