JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejak resmi beroperasi pada 1 Juli 2015 lalu, keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK) belum juga dikenal luas oleh masyarakat. Masih saja ada karyawan yang sudah mengantongi BPJS TJ salah memanfaatkan kartu ini. Mereka pun kecewa manakala mereka sakit dan memerlukan perawatan, BPJS TK mereka tidak bisa digunakan.

Hal demikian disampaikan Rahmat, 25 tahun, pegawai salah satu kementerian di Jakarta. "Waktu saya tipus dan menunjukkan BPJS Ketenagakerjaan ini ke rumah sakit, pegawai rumah sakit mengira bahwa saya kecelakaan. BPJS Ketenagakerjaan milik saya tidak bisa digunakan untuk mengobati penyakit tipus," ujarnya, Rabu (17/8) lalu.

Apa yang dikatakan Rahmat adalah cermin nyata ketidaktahuan masyarakat luas terhadap fitur-fitur atau fasilitas BPJS Ketenagakerjaan. Saat ini, BPJS Ketenagakerjaan—dulu Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek)— memiliki empat program, yakni Program Jaminan Hari Tua (JHT), Program Jaminan Keselamatan Kerja (JKK), Program Jaminan Kematian (JKM), dan Program Jaminan Pensiun (JP). Program Jaminan Kesehatan bukan tanggungan BPJS Ketenagakerjaan. Program Jaminan Kesehatan adalah tanggungan BPJS Kesehatan.

Saat ditanya mengenai sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan ke masyarakat, salah satu pihak internal Divisi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan yang enggan disebut namanya mengatakan telah berupaya mengerahkan tim operasional di cabang-cabang agar mengajak perusahaan-perusahaan, juga kantor-kantor kementerian dan lembaga-lembaga pemerintah, untuk mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan. Namun kebanyakan dari mereka tidak menindaklanjuti ajakan itu.

"Untuk sosialisasi kita sudah gencar ke masyarakat, perusahaan, dan para stakeholder. Setelah kita sosialisasi, ke perusahaan contohnya, mereka tidak menindaklanjuti," katanya, Senin (21/8).

Sejalan dengan pernyataan di atas, meski aturan mengenai kewajiban perusahaan mendaftarkan diri dan karyawannya pada program BPJS sudah diatur Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 Pasal 15 Ayat (1)), fakta di lapangan menunjukkan bahwa pihak-pihak yang ogah-ogahan melakukan hal itu masih banyak jumlahnya. Termasuk di antaranya adalah puluhan perusahaan BUMN.

"Mereka takut biaya untuk menggaji karyawan akan lebih besar jika mereka mendaftarkan diri dan karyawannya dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Mengikuti BPJS Ketenagakerjaan sebetulnya menguntungkan karyawan," tambah pihak internal BPJS Ketenagakerjaan tersebut.

Sebagai gambaran, program JHT dikenakan potongan 5,7% dari gaji karyawan. Sekitar 2% ditanggung karyawan, sedang sisanya sebesar 3,7% menjadi tanggungan perusahaan. Sedang JKM dan JKK sepenuhnya menjadi tanggungjawab perusahaan. Jumlah potongan JKM adalah 0,3%, dan jumlah potongan JKK berkisar antara 0,2% hingga 1,7%, tergantung besar-kecilnya resiko pekerjaan. Ke depan, JP akan dikenakan biaya 2% dari gaji karyawan. Perusahaan dan karyawan masing-masing menanggung potongan 1%.

Dengan potongan demikian, pihak-pihak yang sudah mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan sekalipun masih saja ada yang berbuat nakal. "Mereka mengakali program BPJS dengan, misal, hanya mengikuti 2 program dari 3 program yang diharuskan. Selain itu, mereka juga tidak mendaftarkan semua nama karyawannya pada BPJS Ketenagakerjaan," papar pihak internal BPJS Ketenagakerjaan.

BPJS Ketenagakerjaan sendiri sudah melakukan upaya pencegahan terhadap aneka bentuk kecurangan yang mungkin dilakukan perusahaan. "Kita ada monitoring, di internal ada Wasrik (Pengawasan dan Pemeriksaan), sedang di eksternal kami bekerjasama dengan pihak-pihak seperti Disnaker dan Kejaksaan," kata salah seorang pihak internal BPJS Ketenagakerjaan.

MEMBINGUNGKAN - Sarah, 23 tahun, salah seorang karyawan swasta di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, bercerita pada gresnews.com pekan lalu bahwa dirinya didaftarkan pada BPJS Ketenagakerjaan oleh perusahaan tempatnya bekerja. "Namun sampai saat ini saya tidak tahu kepastiannya seperti apa, dapat kartunya saja tidak," katanya.

"Namun para karyawan tidak begitu mempermasalahkan hal itu. Yang penting jika kita sakit, biaya perawatan dan pengobatan kita tanggung sendiri dulu, struknya kita kasih nanti ke perusahaan, pas gajian uang berobat kita diganti, di-reimburse," tambahnya.

Apa yang dikatakan Sarah, meski jelas-jelas menyebut BPJS Ketenagakerjaan, tentu salah. "Kalau ada reimburse gitu maksudnya BPJS Kesehatan," ujar pihak internal BPJS Ketenagakerjaan menjelaskan.

Menanggapi hal itu, anggota Ombudsman RI Dadan Sumawiharja menyatakan bahwa dua bentuk BPJS memang menimbulkan kebingungan di masyarakat. Banyak yang mengira BPJS adalah satu. Padahal BPJS sendiri merupakan institusi yang dibentuk untuk melaksanakan Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagaimana UU 40 Tahun 2004.

"BPJS sendiri dibentuk dengan UU Nomor 24 Tahun 2011 yang memang menjadi satu pembahasan UU. Jadi mungkin wajar jika publik ada yang menganggap sama saja antara BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Padahal BPJS merupakan transformasi empat BUMN," ujarnya pada gresnews.com, Senin (21/8).

Dadan pun melihat hal ini sebagai kelemahan sosialisasi. "Dari sisi popularitas memang BPJS kesehatan terlihat lebih dikenal publik, tapi hal ini lebih karena permasalahan BPJS Kesehatan lebih banyak dibanding kasus-kasus BPJS Ketenagakerjaan," katanya.

"Yang perlu disosialisasikan menurut saya tidak sekadar mengajak mendaftar BPJS Ketenagakerjaan, tetapi pada saat yang sama mensosialisasikan bahwa BPJS dipecah 2 dengan fungsi beda. Semua bentuk sosialisasi harus dilakukan. Iklan media, Seminar, Pamflet, Medsos, dan lain-lain," tambah Dadan.

Soal kebingungan masyarakat, di luar soal minimnya sosialisasi, alasan yang agak masuk akal dan ironis dinyatakan salah seorang pihak internal BPJS Ketenagakerjaan. Menurutnya, Presiden Jokowi sekalipun jarang sekali menyebut adanya dua model BPJS manakala ia menyinggung soal-soal BPJS. "Jokowi juga hanya menyebut BPJS saja. Sebutan itu jadinya terkesan mengambang," katanya.

Saat ditanya soal biaya dan anggaran sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan, pihak internal BPJS Ketenagakerjaan yang dihubungi gresnews.com menjawab, "Untuk biaya sosialisasi kita biasanya memenuhi undangan saja. Kalau anggaran khusus gak ada. Biasanya nempel di biaya operasional kantor cabang," jawabnya.

Namun, lepas dari soal lemahnya sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan—dulu Jamsostek— jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan saat ini mencapai 22 juta orang atau 17% dari jumlah angkatan tenaga kerja Indonesia sekarang. "Target kami tahun ini adalah 26 juta orang," ungkap pihak internal BPJS Ketenagakerjaan, saat ditemui gresnews.com (22/9) di kantornya, di bilangan Gatot Subroto, Jakarta.

KELUHAN LAYANAN - BPJS Ketenagakerjaan sudah beroperasi satu tahun lebih satu bulan. Diakui oleh pihak BPJS Ketenagakerjaan sendiri, membangun brand awareness BPJS Ketenagakerjaan di masyarakat bukanlah hal mudah. Terlebih dengan adanya dua model BPJS yang merupakan transformasi dari layanan sebelumnya, yakni Askes (menjadi BPJS Kesehatan) dan Jamsostek (mejadi BPJS Ketenagakerjaan).

"Tahun lalu, banyak sekali keluhan mengenai layanan BPJS dilayangkan pada kami, padahal yang mereka keluhkan sebetulnya adalah layanan BPJS Kesehatan, bukan BPJS Ketenagakerjaan. Itu bukti kalau brand BPJS Ketenagakerjaan kurang dikenali masyarakat," papar salah seorang pihak internal BPJS Ketenagakerjaan.

Namun demikian, BPJS Ketenagakerjaan sendiri tidak berarti bebas dari keluhan sama sekali. Situs layanan aspirasi dan pengaduan online rakyat, lapor.go.id dan laporpresiden.id masing-masing menayangkan keluhan mengenai proses pencairan dana BPJS Ketenagakerjaan. Pada web pertama, pelapor atas nama Rudi Setiawan mempermasalahkan durasi waktu yang ia perlukan untuk mencairkan dana JHT. Rudi menulis:

"Saya peserta BPJS Ketenaga kerjaan dengan No: 901734****.Saya mencoba untuk mencairkan dana JHT saya. Saya datang ke Kantor Cabang Cikarang Jababeka pada tanggal 27 November 2015, tapi hanya mendapatkan kupon yang nantinya akan ditukarkan dengan formulir asli pada tanggal 22 Juni 2016.

Berarti saya harus menunggu 7 bulan untuk pencairan dana JHT saya. Saya mencoba daftar via e-klaim, tapi selalu gagal pada saat upload data". (https://www.lapor.go.id/id/1397727/keluhan-pencairan-jht-bpjs-ketenagakerjaan-setelah-7-bulan.html)

Sementara pelapor kedua, atas nama Riza Ghiyats Fakhri, menulis:
Kami mau melaporkan hal yg menurut kami sangat merugikan, sebelumnya pada awal bulan Maret 3 karyawan saya meninggal karena kecelakakaan, dikarenakan karyawan kami terdaftar pada BPJS ketenagakerjaan, maka kami mengajukan klaim santunan kematian, 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan sampai sekarang sudah 5 bulan lebih santunan yang semestinya diterima oleh keluarga korban belum dapat dicairkan, pihak BPJS selalu beralasan sistem aplikasi yg sedang mengalami perbaikan/offline dan BPJS mengatakan bahwa masalah ini tidak terjadi pada kami saja tapi seluruh indonesia, apabila benar alasannya adalah masalah sistem, apa iya 5 bulan lebih sistem gak ada perbaikan sama sekali, kenapa yang perbaikan hanya pada sistem pengurusan klaim? Kenapa sistem pembayaran premi gak pernah ada perbaikan alias online terus?

Mohon kepada presiden/instansi terkait untuk memberikan solusi. Sudah meninggal 5 bulan lebih, tapi belum dapat mengambil santunan kematiannya, bagaimana keluarga yang ditinggalkan melanjutkan hidupnya?? (https://www.laporpresiden.id/9194/keluhan-bpjs-ketenagakerjaan)

Keluhan pertama dijawab langsung oleh Divisi Pelayanan dan Pengaduan BPJS Ketenagakerjaan dengan dalih regulasi. Menurut divisi tersebut, dengan adanya perubahan regulasi bahwa peserta dapat mengajukan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) 1 (satu) bulan sejak dinyatakan PHK atau mengundurkan diri oleh perusahaan, maka bisa dipastikan peserta yang mengajukan klaim JHT mengalami lonjakan yang sangat signifikan. Hal tersebut berdampak pada durasi pencairan dana JHT.

Sementara itu, menyinggung soal keluhan kedua, saat dikonfirmasi langsung oleh gresnews.com pada Senin (22/8), pihak BPJS Ketenagakerjaan mengatakan bahwa soal pencairan dana JKK, proses waktunya cepat, bahkan bisa diproses tidak lebih dari satu minggu. Hanya, dengan catatan bahwa formulir dan dokumen yang diperlukan sudah lengkapp.

Adapun dokumen-dokumen itu antara lain surat keterangan kecelakaan dari pihak kepolisian, surat keterangan meninggal dunia dari RT/RW, juga surat keterangan mengenai hak waris dari keluarga. Surat keterangan terakhir itu perlu dilampirkan agar dana JKK yang dialirkan BPJS Ketenagakerjaan jelas jatuh ke tangan siapa. "Sayangnya, kadang masyarakat sendiri malas mengurusi dokumen-dokumen itu," ujar seorang staf BPJS Ketenagakerjaan.

Saat ditanya apakah masyarakat bisa mendaftarkan diri di dua BPJS sekaligus—mengingat banyaknya keluhan mengenai fasilitas Jaminan Kesehatan yang dibutuhkan para peserta BPJS Ketenagakerjaan—pihak internal BPJS Ketenagakerjaan menjawab, "Ya, seharusnya begitu. Cuma kan kendala di mereka potongannya jadi lebih besar. Biaya BPJS Kesehatan itu sepenuhnya ditanggung sendiri, sedang kalau BPJS Ketenagakerjaan sebagian besar kan ditanggung perusahaan". (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: