Siradj Okta, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Pandemi COVID-19 telah memporak-porandakan pertahanan dan sistem kesehatan banyak negara, termasuk negara-negara maju yang sebelumnya dikenal lebih tahan terhadap serangan penyakit menular.

Salah satu masalahnya adalah setiap negara merespons pandemi ini dengan cara yang berbeda-beda, sesuai kapasitas, pengetahuan, dana, dan kemauan politik pemimpinnya, walau ada panduan umum dari Organisasi Kesehatan Dunia.

Pandemi apa pun, seperti halnya COVID-19, memiliki dampak yang telah terbukti tidak terbatas pada sejumlah negara tertentu saja. Artinya, dunia membutuhan solidaritas global, strategi global, dan juga kehadiran suatu otoritas agar perjanjian pandemi internasional dapat dipatuhi setiap anggota.

Inisiatif perjanjian international

Pada 30 Maret 2021, Presiden Joko Widodo dan 26 pemimpin negara lainnya menyatakan setuju atas rencana penyusunan suatu perjanjian baru antarnegara untuk menangani penyakit menular global.

Perjanjian yang disebut sebagai perjanjian pandemi internasional (pandemic treaty) akan mengatur bagaimana negara-negara harus bertindak dalam satu framework dan koordinasi global ketika terjadi suatu pandemi seperti COVID-19.

Usulan ini pertama kali datang dari Presiden Dewan Eropa Charles Michel pada November 2020 dalam pertemuan negara-negara anggota G-20.

Pada Sidang Umum Kesehatan Dunia ke-74 pada Mei 2021 lalu, dukungan atas inisiatif ini bertambah menjadi sekitar 60 negara.

Namun demikian, 60 negara saja tentu tidak cukup.

Para inisiator perjanjian antarnegara ini, termasuk Uni Eropa dan Organisasi Kesehatan Dunia, perlu menjual ide ini kepada seluruh dunia, khususnya ke negara-negara ASEAN (Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara).

Bagi sekitar 650juta penduduk di kawasan ASEAN, keikutsertaan seluruh negara ASEAN dalam perjanjian ini akan memberi daya ungkit pada pelaksanaan komitmen-komitmen regional ASEAN yang telah disepakati dalam ASEAN Leaders’ Meeting bulan lalu.

Peranan Indonesia dan Thailand

Pada usulan awal perjanjian ini, dari 10 negara ASEAN, baru ada dukungan dari Indonesia dan Thailand yang diwakili oleh Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha.

Setelah Sidang Umum Kesehatan Dunia pada Mei 2021 jumlah negara ASEAN yang mendukung perjanjian ini belum bertambah. Indonesia dan Thailand perlu bekerja lebih keras untuk meyakinkan negara-negara ASEAN lainnya untuk mendukung usulan ini.

Indonesia dan Thailand dapat menekankan betapa kawasan Asia Tenggara sangat berkepentingan atas gagasan perjanjian antarnegara terkait pandemi ini karena dua hal: (1) posisi geografis Asia Tenggara yang rentan pandemi, dan (2) belum adanya sistem penegakan hukum yang bersifat memaksa di organisasi ASEAN.

Posisi geografis Asia Tenggara yang rentan pandemi

Masih besarnya tantangan terkait pengelolaan lingkungan membawa kerentanan tersendiri bagi ASEAN. Karena itu, keikutsertaan dalam perjanjian pandemi internasional dapat memberikan dorongan agar hal ini menjadi prioritas kembali.

Kawasan Asia Tenggara terletak di sekitar garis khatulistiwa: sebuah kawasan yang sangat potensial untuk menjadi sentra kemunculan penyakit menular baru pada masa mendatang.

Kawasan tropis ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.

Semakin beranekaragam hewan dan tanaman di suatu daerah, maka semakin banyak koleksi sumber penyakit/patogen (virus, bakteri, dan jamur) yang terdapat di daerah tersebut.

Sementara, sebanyak tiga perempat (75%) penyakit menular baru bersifat zoonosis atau berasal dari hewan dan ditularkan dari hewan ke manusia. Misalnya, SARS, MERS, virus Nipah, flu burung, Ebola, dan COVID-19.

Selain dari penyakit-penyakit tersebut, paling tidak terdapat 650.000-850.000 virus lain yang memiliki potensi zoonosis.

Hingga sekarang, ASEAN masih belum tuntas mengatasi permasalahan perusakan lingkungan yang telah terjadi bahkan jauh sebelum COVID-19. Padahal, potensi terjadinya perpindahan sumber-sumber penyakit tersebut semakin besar dengan terjadinya perubahan ekosistem dan pola hidup hewan.

Perubahan tersebut terjadi, antara lain karena pembabatan hutan dan perluasan perkebunan.

Belum adanya sistem penegakan hukum yang bersifat memaksa di ASEAN

ASEAN belum dapat menerapkan kebijakan regional yang bersifat memaksa. Padahal satu tahun pandemi COVID-19 telah membuktikan bahwa pandemi ini tidak dapat diselesaikan secara sendiri-sendiri.

Maka, perjanjian pandemi pada tingkat global dapat hadir sebagai hukum yang bersifat memaksa. Jika isinya sejalan, perjanjian tersebut dapat memberi tambahan dorongan pada pelaksanaan upaya kolektif kawasan.

Pada 24 April 2021, ada pertemuan pemimpin-pemimpin ASEAN di Jakarta (ASEAN Leaders’ Meeting) yang menegaskan komitmen negara-negara ASEAN dalam melaksanakan beberapa kesepakatan.

  1. Pelaksanaan rencana kerja pemulihan ekonomi ASEAN yang komprehensif.
  2. Penggunaan dana bersama di dalam Dana Tanggap COVID-19 ASEAN untuk menunjang penyediaan vaksin bagi penduduk ASEAN.
  3. Mengamankan cadangan peralatan medis khusus ASEAN.
  4. Pembentukan pusat tanggapan masalah kesehatan wilayah ASEAN.

Komitmen-komitmen ini, meski terkesan sangat mengutamakan kepentingan ASEAN, menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN telah berhasil memetakan perencanaan serta kepentingan bersama dalam mengantisipasi pandemi.

Sebagai sebuah ‘club’ kawasan, jaminan seperti ini dapat dengan segera memperoleh dukungan politis dari seluruh anggotanya.

Namun demikian, tetap tidak ada sanksi apa pun ketika ada negara yang tidak mengikutinya. Pelaksanaan komitmen-komitmen tersebut sepenuhnya mengandalkan kekuatan pemerintah, situasi politik, dan kemampuan ekonomi dalam negeri.

Tantangan di ASEAN

Negara maju dan berkembang, di bawah koordinasi Badan Kesehatan Dunia, pernah memiliki pengalaman menyusun perjanjian international untuk memerangi pandemi tembakau secara global.

Dalam konteks untuk mencegah penyakit tidak menular dan dampak non-penyakit akibat pemasaran masif rokok global, misalnya, Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO mulai diratifikasi pada 2005 dan kini 181 negara meratikasinya. Musuhnya sama: industri tembakau. Itu salah satu perjanjian global yang mengikat anggotanya – di Asia Pasifik hanya Indonesia yang belum meratifikasi – di bawah WHO.

Selain FCTC, WHO juga memiliki Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) 2005. Instrumen hukum internasional ini mengikat 196 negara dalam suatu perjanjian untuk tunduk dalam satu koordinasi dalam hal terjadi kedaruratan kesehatan masyarakat internasional.

Namun demikian, pandemi COVID-19 justru menunjukkan betapa sulitnya menjamin koordinasi tersebut, khususnya ketika negara-negara menutup perbatasan tanpa rekomendasi WHO pada awal pandemi 2020.

IHR dipandang terlalu terfokus pada sektor kesehatan sehingga tidak cukup komprehensif untuk menghadapi pandemi dengan skala besar dan kompleks seperti COVID-19.

Kini kita menghadapi pandemi penyakit menular global dan beberapa ahli memperkirakan pandemi akan lebih sering terjadi karena makin rusaknya habitat hewan, lingkungan, dan pemanasan global.

Usulan perjanjian pandemi internasional membutuhkan dukungan dari dua pertiga negara anggota WHO (130 dari 194 negara anggota).

Keputusan atas kelanjutan usulan perjanjian ini akan diambil pada Sesi Khusus Sidang Umum Kesehatan Dunia pada November 2021 mendatang. Melihat besarnya dampak COVID-19, sebagian besar negara di dunia tampaknya akan melirik perjanjian ini sebagai salah satu solusi untuk keluar dari pandemi.

Akan tetapi, konteks ASEAN menunjukkan arah sebaliknya. Terkait FCTC, misalnya, hanya Indonesia di Asia yang belum meratifikasi.

Budaya organisasi ASEAN adalah budaya tidak campur tangan urusan dalam negeri. Sebagai contoh, budaya non-interferensi ini juga sangat terlihat dalam hal penanganan peredaran narkotik ilegal di wilayah ASEAN.

ASEAN tidak dapat bertindak jauh meski terdapat indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam kebijakan anti-narkotika dalam negara anggota.

Meski terdapat temuan bahwa kebijakan anti-narkotik Filipina telah memakan banyak korban jiwa, Presiden Filipina Rodrigo Duterte tetap menekankan bahwa pihak luar harus menghormati kebijakan dalam negeri.

Perjanjian global itu penting

Hadirnya ide perjanjian pandemi internasional saja tentunya tidak otomatis menjamin dunia akan terbebas dari dampak pandemi-pandemi pada masa mendatang.

Ide tersebut perlu diterima dan dilaksanakan secara bersama-sama.

Setelah usainya Sidang Umum Kesehatan Dunia ke-74 pada Mei lalu, Organisasi Kesehatan Dunia juga masih harus mengampanyekan ide ini pada pertemuan-pertemuan politik dunia.

Negara-negara Uni Eropa telah menunjukkan kekompakannya dalam mendukung ide perjanjian global ini. Di Asia Tenggara, ASEAN masih perlu lebih gencar menyuarakan bahwa pesan solidaritas saja tidak cukup.

Indonesia dan Thailand, khususnya, memiliki tanggung jawab dan posisi strategis dalam mendorong kedelapan negara ASEAN lainnya untuk ikut mendukung usulan tersebut.

Kedua negara ini perlu membawa urgensi perjanjian global ini dalam pertemuan-pertemuan di tingkat ASEAN maupun pada forum-forum bilateral. Pada tahap negosiasi global inilah ASEAN berpeluang untuk mengintegrasikan tujuan-tujuan penanggulangan pandemi di tingkat regional ke dalam naskah perjanjian global tersebut.The Conversation

Siradj Okta, Lecturer in Law, Executive Director of Atma Jaya Institute of Public Policy, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: