Rama Dhenni, UNSW

Ancaman COVID-19 terus meningkat karena penyebabnya, SARS-CoV-2, terus menerus bermutasi dengan cepat. Berbagai macam varian baru virus SARS-CoV-2 diduga memperparah penularan virus di India dan Inggris. Kini virus corona varian baru ini telah menyebar berbagai negara, termasuk Indonesia.

Pada Mei 2021, Indonesia melaporkan penemuan 54 kasus yang teridentifikasi disebabkan oleh SARS-CoV-2 varian.

Hal ini bisa meningkatkan kekhawatiran di masyarakat karena beberapa virus varian baru ini berpotensi lebih menular, menyebabkan penyakit yang lebih parah, dan mengurangi keampuhan vaksin.

Dengan kemampuan mutasi SARS-CoV-2 yang sangat cepat menghasilkan varian-varian baru, apakah artinya manusia akan tidak berdaya menghadapinya?

Riset terbaru menyatakan satu jenis sel di tubuh (sel B) dapat mengenali virus varian baru dan melawannya. Tapi vaksinasi tetap diperlukan untuk memicu kekebalan dan proses mutasi DNA pada sel B . Kita harus tetap menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan.

Mutasi pada sel B si penghasil antibodi

Ketika kuman penyakit seperti virus dan bakteri menyerang, berbagai macam sel sistem imun di dalam tubuh kita akan merespons. Salah satu sel sistem imun yang berperan penting adalah sel B, yaitu sel yang bertugas menghasilkan antibodi.

Antibodi adalah molekul protein berbentuk “Y” yang dapat melekat spesifik pada kuman sehingga mencegah kuman menyebabkan penyakit. Masing-masing sel B di dalam tubuh kita menghasilkan antibodi spesifik terhadap kuman penyakit tertentu.

Bahkan untuk satu kuman penyakit, ada banyak sel B yang dapat mengenali dan menghasilkan antibodi terhadap bagian yang berbeda-beda dari kuman tersebut.

Hal ini dimungkinkan karena sel B dapat membongkar pasang gen-gen pengkode antibodi pada awal perkembangannya di dalam tubuh kita. Hasilnya, setiap individu manusia diperkirakan dapat membuat 1 juta triliun antibodi yang berbeda-beda. Artinya, tubuh manusia pada dasarnya dapat membuat antibodi terhadap kuman penyakit apa pun.

Ketika kuman penyakit seperti virus SARS-CoV-2 masuk ke dalam tubuh kita, sebagian kecil sel B yang dapat mengenalinya akan memperbanyak diri. Mereka segera memproduksi antibodi untuk menghalau virus merusak sel-sel tubuh kita.

Beberapa sel B ini tidak memproduksi antibodi, namun akan berdiam diri di dalam organ kelenjar getah bening untuk mempelajari bentuk virus lebih lanjut.

Yang menakjubkan, seperti virus SARS-CoV-2 yang dapat bermutasi, sel B di dalam kelenjar getah bening juga akan bermutasi DNA-nya dengan sengaja pada dirinya sendiri. Mutasi DNA ini hanya terjadi pada gen-gen yang mengkode antibodi dan berlangsung secara acak namun dikontrol oleh molekul protein di dalam sel secara ketat agar tidak menyebabkan mutasi di gen lain.

Mutasi DNA ini akan menyebabkan terbentuknya keanekaragaman antibodi serta meningkatkan potensi dan kekuatan antibodi yang dihasilkan sel B untuk menyerang SARS-CoV-2.

Sel B memori dapat mengenali SARS-CoV-2 varian

Ketika virus berhasil dibersihkan dari tubuh kita, beberapa sel B yang sudah bermutasi ini akan pergi menyendiri ke dalam sumsum tulang. Di sana mereka akan mendedikasikan dirinya memproduksi antibodi sepanjang hidupnya. Ilmuwan menamakan sel B ini sebagai sel plasma.

Mayoritas antibodi yang beredar di dalam darah kita berasal dari sel plasma. Antibodi dari sel plasma inilah yang akan menjadi benteng pertahanan pertama jika virus yang sama menyerang kembali.

Selain itu, beberapa sel B lain yang sudah bermutasi akan beredar di dalam darah. Mereka juga berpatroli ke tempat-tempat strategis di dalam tubuh kita seperti paru-paru, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan yang kemungkinan besar bertemu virus yang sama. Sel ini dinamakan sel B memori. Mereka dapat memperbanyak diri dan memproduksi antibodi lebih cepat jika virus yang sama menyerang kembali.

Jika diperlukan, sel B memori juga dapat kembali ke dalam kelenjar getah bening untuk mutasi DNA kembali sehingga menghasilkan antibodi yang lebih baik dan kuat.

Menariknya, penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B memori ini dapat memproduksi antibodi yang dapat mengenali SARS-CoV-2 varian. Para peneliti menganalisis sampel darah dari pasien COVID-19 setelah mereka sembuh. Mereka menemukan bahwa sel B memori dapat memproduksi antibodi terhadap SARS-CoV-2 varian walau sel B memori ini belum pernah bertemu dengan virus varian tersebut.

Sel B si penghasil antibodi melawan virus corona dan variannya. Rama Dhenni

Hal ini mungkin terjadi karena mutasi DNA pada sel B memori ini secara tidak langsung meningkatkan keragaman antibodi yang terbentuk untuk mengenali SARS-CoV-2. Alih-alih hanya mengenali satu varian, sel B memori juga dapat mengenali beberapa varian SARS-CoV-2.

Karena kemampuan spesial ini, sel B memori diakui sebagai benteng pertahanan kedua jika virus yang serupa (tapi tak sama) menyerang kembali.

Jika antibodi yang ada di dalam darah tidak dapat melekat pada virus varian, sel B memori siap menghasilkan antibodi yang berpotensi mencengkeram kuat SARS-CoV-2 varian.

Jumlah sel B memori lebih stabil dan manfaat vaksinasi

Riset lain juga menunjukkan bahwa jumlah sel B memori relatif lebih stabil ketika kadar antibodi di dalam darah mulai berkurang seiring waktu.

Sementara itu penelitian terbaru lain juga menemukan bahwa vaksinasi dapat memicu proses mutasi DNA yang sama pada sel B.

Sel B memori pada orang yang telah divaksinasi juga terbukti dapat mengenali sebagian besar SARS-CoV-2 varian. Hal ini menunjukkan pentingnya vaksinasi untuk memicu tubuh membentuk antibodi yang lebih kuat serta sel B memori untuk melawan SARS-CoV-2 ataupun variannya.

Walaupun demikian, penting kita memahami bahwa SARS-CoV-2 akan terus bermutasi menghasilkan varian-varian baru selama penularan virus terus berlangsung.

Kecanggihan sistem kekebalan tubuh manusia tidak akan optimal melindungi tubuh kita jika ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan masih tinggi.

Pemerintah harus meningkatkan kapasitas tes, lacak, dan isolasi serta cakupan vaksinasi secepat mungkin untuk mencegah penyebaran virus yang berkelanjutan di masyarakat.The Conversation

Rama Dhenni, PhD Candidate in Immunology, UNSW

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: