Dian Kusuma, Imperial College London; Abdillah Ahsan, Universitas Indonesia; Nurjanah, Universitas Dian Nuswantoro, dan Sri Handayani, Universitas Dian Nuswantoro

Artikel ini untuk memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia 31 Mei.

Industri rokok menargetkan anak-anak dan remaja sebagai pasar potensial yang akan menjadi pelanggan candu nikotin jangka panjang. Ini strategi industri rokok untuk terus berkembang dengan cara mengganti pelanggan tua yang telah meninggal lebih cepat karena penyakit terkait rokok.

Karena itu, di Indonesia, di mana industri rokok leluasa menjual dan mempromosikan rokok akibat pengendalian tembakau yang lemah, iklan tembakau (rokok) di luar ruang banyak sekali yang dipasang di dekat sekolah. Industri rokok mendekatkan paparan iklan rokok pada mata dan pikiran anak-anak sekolah.

Riset terbaru kami, yang mencari kaitan antara kepungan (visibilitas) iklan rokok luar ruang dan perilaku merokok di kalangan remaja di Kota Semarang, menunjukkan ada hubungan signifikan antara perilaku merokok remaja dan kepadatan iklan rokok luar ruangan di Indonesia.

Remaja di sekolah dengan kepadatan iklan rokok luar ruang sedang dan tinggi memiliki kecenderungan 2,16 kali lebih tinggi untuk merokok, dibandingkan dengan remaja dengan kepadatan iklan rendah.

Demikian pula, remaja di sekolah menengah atas yang dekat (paling tidak 1 iklan dalam jarak 200 meter) dengan iklan rokok luar ruang memiliki kemungkinan 2,8 kali lebih tinggi untuk merokok.

Pemerintah pusat dan daerah perlu melarang iklan rokok di luar ruang termasuk di dekat sekolah untuk mencegah meningkatnya jumlah perokok remaja. Kebijakan ini diperlukan untuk menyelamatkan remaja dari risiko penyakit tidak menular dan beban ekonomi pada masa depan.

Remaja dan iklan candu rokok

Penelitian tentang relasi kepungan iklan rokok luar ruang dan perilaku merokok di kalangan remaja saat ini masih kurang di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Karena itu, riset kami membuka jalan riset ke arah sana.

Riset kami menggabungkan dua sumber data primer: iklan rokok di luar ruangan dan perilaku merokok di kalangan remaja laki-laki di Kota Semarang. Kami secara acak memilih dan mewawancarai 400 siswa laki-laki di 20 sekolah menengah (SMP, SMA, SMK, dan MA) di kota ini. Kami juga mewawancarai 492 laki-laki dewasa yang tinggal di dekat sekolah untuk perbandingan.

Kepadatan iklan rokok di sekitar sekolah menggunakan batasan jarak dalam radius 400 meter. Dalam jarak tersebut ada 0-5 iklan luar ruang disebut rendah, sedang 6-14 iklan, dan lebih dari 15 iklan dikategorikan tinggi.

Remaja di sekolah dengan kepadatan iklan rokok luar ruang lebih tinggi dan kedekatan dengan iklan rokok luar ruang memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk merokok. Selanjutnya, remaja di lingkungan sekolah yang lebih miskin (berada di kecamatan dengan proporsi penduduk miskin lebih tinggi dari rerata) dan lebih tinggi kepadatan iklan rokok luar ruang, cenderung 5,16 kali lebih mungkin untuk merokok.

Hasil ini sejalan dengan penelitian dari negara lain seperti Inggris, Amerika Serikat, India, dan lainnya.

Dari negara-negara berpenghasilan tinggi, sebuah studi dari jaringan riset kesehatan global Cochrane meninjau 19 studi di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Spanyol. Mereka menemukan bahwa remaja non-perokok yang lebih sadar akan iklan rokok, lebih cenderung bereksperimen dengan rokok atau menjadi perokok.

Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lingkungan dengan proporsi tertinggi penduduk berkulit hitam atau berpenghasilan rendah memiliki iklan luar ruang 2,84 kali lebih banyak.

Dari negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, riset di India menunjukkan bahwa penggunaan rokok di kalangan remaja di sekolah dengan kepadatan tinggi iklan rokok luar ruangan lebih dari dua kali lipat, dibandingkan dengan mereka yang memiliki kepadatan rendah.

Jelas mematikan tapi masih kendor kebijakannya

Merokok merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan, terutama di kalangan laki-laki, berdasarkan riset Indonesian Global Burden of Study 2017.

Kelaziman merokok di antara laki-laki 15 tahun ke atas dan anak laki-laki (13-14 tahun) di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, masing-masing 67% (2018) dan 36% (2014).

Meski demikian, Indonesia masih belum termasuk di antara 181 penandatangan Framework Convention of Tobacco Control WHO. Akibatnya, upaya pengendalian tembakau lemah.

Ada satu kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 yang melarang merokok, iklan, promosi, dan penjualan rokok di fasilitas umum termasuk pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum. Namun, kebijakan ini diadopsi hanya oleh dua pertiga dari 514 kabupaten sampai 2018, dengan tingkat kepatuhan berkisar dari 17% di Jayapura hingga 78% di Kota Bogor.

Selain itu, belum ada peraturan nasional yang melarang iklan rokok di luar ruangan. Akibatnya, penelitian sebelumnya menunjukkan visibilitas yang tinggi tentang iklan rokok luar ruang di sekitar sekolah-sekolah di Indonesia.

Pada 2015, sebuah penelitian di lima kota (Bandung, Jakarta, Makassar, Mataram, dan Padang) menemukan bahwa papan reklame tembakau terlihat dari 32% gerbang sekolah dari 360 sekolah menengah atas sampel.

Survei iklan dan promosi tembakau di sekitar sekolah di sepuluh kota (termasuk Semarang) pada 2017 menemukan strategi pemasaran rokok yang agresif dengan menunjukkan merek dan harga yang sangat murah.

Pada 2018, penelitian kami sebelumnya menemukan total 3.453 iklan di seluruh kota Semarang. Dari jumlah itu, 2.556 iklan (74%) di antaranya berada dalam jarak 300 meter atau 5–10 menit berjalan kaki dari sekolah.

Penelitian sebelumnya dari negara-negara berpenghasilan tinggi telah menunjukkan bahwa kaum muda sangat mudah menerima (reseptif) terhadap iklan rokok. Kaum muda yang terpapar iklan dan promosi rokok lebih cenderung merokok.

Mencegah remaja jadi korban candu

Temuan riset di Kota Semarang penting karena setidaknya tiga alasan.

Pertama, ada lebih dari 400 sekolah menengah di kota Semarang saja, atau sekitar 80 ribu siswa lebih, menunjukkan potensi paparan iklan rokok bagi banyak anak muda.

Studi di antara siswa di Skotlandia menunjukkan bahwa 80% dari hampir 1.500 siswa ingat pernah melihat iklan rokok di toko.

Kedua, temuan ini melengkapi studi kami sebelumnya yang menunjukkan kepungan iklan rokok luar ruang yang tinggi di dekat sekolah di kota Semarang. Ini menunjukkan bahwa siswa lebih mungkin untuk mulai merokok secara eksperimental baik dari tekanan teman sebaya (‘Jika saya tidak merokok, saya bukan pria sejati’) atau dari dorongan untuk merokok melalui iklan.

Ketiga, tidak adanya larangan iklan rokok di luar ruangan berpotensi meningkatkan kesenjangan (disparitas) prevalensi merokok pada remaja. Karena temuan kami menunjukkan rasio peluang dua kali lipat di antara sekolah-sekolah di lingkungan yang lebih miskin.

Belajar dari sebuah riset tentang pengecer rokok di Amerika Serikat menunjukkan bahwa melarang penjualan rokok di dekat sekolah dapat mengurangi kepadatan penjual rokok di lingkungan berpenghasilan rendah dibandingkan dengan lingkungan berpenghasilan tinggi.

Karena itu, kami mendukung pemerintah untuk melarang periklanan rokok luar ruang nasional di Indonesia dan negara berkembang lainnya yang belum menerapkannya.

Larangan iklan rokok luar ruang yang efektif di Yunani telah terbukti mengurangi jumlah iklan menjadi nol. Ini berarti menghapus paparan iklan kepada kaum muda.

Seharusnya pemerintah Indonesia segera meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) agar memiliki landasan hukum yang kokoh dan komprehensif untuk mengendalikan tembakau termasuk melarang iklan rokok di dekat sekolah.

Pemerintah mestinya melindungi anak-anak dari gempuran pemasaran dan promosi rokok. Bukan malah mendukung atau membiarkan industi rokok bebas memasang iklan di dekat sekolah.The Conversation

Dian Kusuma, Researcher in global health at the Centre for Health Economics & Policy Innovation, Imperial College London; Abdillah Ahsan, Lecturer in Department of Economics,, Universitas Indonesia; Nurjanah, Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan, Universitas Dian Nuswantoro, dan Sri Handayani, Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat, Universitas Dian Nuswantoro

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: