Pisi Bethania Titalessy, Universitas Kristen Duta Wacana

Pembayaran menggunakan uang elektronik dalam berbagai bentuk semakin menjadi pilihan yang disukai karena kemudahan, efektivitas, dan efisiensinya.

Data Bank Indonesia menunjukkan pertumbuhan transaksi uang elektronik terus meningkat dalam lima tahun terakhir, dari Rp 7 triliun pada 2016 menjadi Rp 205 triliun pada 2020 atau kenaikan hampir 30 kali lipat.

Di tengah pandemi dan berkembangnya industri layanan digital di Indonesia – seperti kita lihat dari merger raksasa digital Gojek dan Tokopedia belum lama ini – transaksi non-tunai berpotensi terus meningkat di masa depan.

Penelitian yang saya lakukan tahun lalu menemukan bahwa peningkatan tersebut ternyata juga berkontribusi terhadap melambatnya laju inflasi – yakni kenaikan harga secara umum dan terus-menerus karena peredaran uang tunai lebih pesat daripada suplai barang di pasar.

Inflasi yang terkendali adalah hal baik karena berarti ekonomi suatu negara tumbuh dengan stabil. Angka yang terlalu tinggi menandakan kenaikan harga yang berbahaya dan bisa menyebabkan tingginya angka pengangguran.

Dalam tulisan ini, saya ingin menjelaskan bagaimana transaksi uang elektronik meredam inflasi dan juga membantu perekonomian negara.

Uang elektronik bisa tekan laju inflasi

Riset yang saya lakukan mengambil data transaksi pembayaran non tunai berbasis kartu (debit dan kredit) dan uang elektronik berbasis e-wallet (seperti GoPay atau OVO) dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia pada kuartal kedua di periode 2019-2020.

Hasil analisis saya mengungkap bahwa dalam beberapa tahun terakhir, laju inflasi turun seiring dengan peningkatan jumlah transaksi elektronik.

Pada 2018, misalnya, transaksi elektronik tercatat sebesar Rp 47,2 triliun, kemudian naik pada 2019 menjadi Rp 145,2 triliun dan pada 2020 mencapai Rp 205 triliun.

Pada periode tiga tahun yang sama, inflasi terus turun. Data BPS menunjukkan penurunan inflasi dari 3,13% pada tahun 2018, 2,72% pada tahun 2019, hingga mencapai terendah sepanjang sejarah yaitu 1,68% pada 2020.

Secara ekonomi, teori kuantitas uang yang dikemukakan mantan ekonom Amerika Serikat Irving Fisher menjelaskan ini bisa terjadi karena inflasi meningkat seiring dengan tingginya peredaran uang. Ketika jumlah uang yang beredar bertambah lebih cepat dibanding dengan persediaan barang yang ada di pasar, maka harga barang-barang akan meningkat.

Pada akhirnya, peningkatan transaksi menggunakan uang elektronik bisa meredam kenaikan harga karena akan menurunkan jumlah uang tunai (koin dan kertas) yang beredar.

Dalam penelitian saya, misalnya, uang elektronik memiliki pengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Konsumen – indeks terkait harga barang dan jasa konsumsi rumah tangga seperti biaya makan hingga pendidikan – dengan nilai koefisien sebesar 1,53.

Di sini, setiap kenaikan transaksi dompet digital sebesar 1% akan menurunkan Indeks Harga Konsumen sebesar 1,53%.

Membantu ekonomi negara

Transaksi non-tunai tidak hanya memberikan kenyamanan, penghematan waktu transaksi, dan potongan harga dari promosi yang diadakan perusahaan layanan tersebut bagi pengguna, tetapi ternyata juga dapat membantu ekonomi negara.

Selain menahan laju inflasi, misalnya, penurunan jumlah uang tunai yang beredar akan mempengaruhi tingkat suku bunga di pasar uang.

Ketika masyarakat memilih menggunakan alat pembayaran non tunai yang dibarengi dengan penyimpanan uang di perusahaan teknologi finansial yang menyediakan layanan tersebut, biaya pinjaman perbankan jadi lebih kompetitif dan menarik karena persaingan berbagai perusahaan dan layanan.

Ini mendorong investasi dan juga dapat meningkatkan produksi barang dan jasa nasional – yang semakin berkontribusi juga terhadap penekanan laju inflasi karena suplai barang meningkat.

Selain itu, penggunaan uang elektronik juga membantu pemerintah menekan produksi uang tunai.

Pada akhirnya ini menghemat biaya ongkos percetakan uang, mengurangi peredaran uang palsu di masyarakat, serta mempercepat kebijakan digitalisasi sistem pembayaran yang pada akhirnya mendukung pemulihan laju pertumbuhan ekonomi nasional di tengah krisis akibat pandemi.

Transaksi digital yang saat ini banyak menggunakan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) – standar dari Bank Indonesia yang menyeragamkan kode transaksi di semua platform pembayaran – juga bisa membantu Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Bisnis mereka bisa lebih berkembang karena transaksi digital dapat mencegah antrian panjang, menghemat biaya layanan, dan membuat transaksi lebih mudah dan sistematis.

Namun, meski memberikan berbagai manfaat, kita juga tidak boleh lupa akan dampak negatif dari pembayaran digital.

Salah satunya adalah konsumen muda menjadi jauh lebih konsumtif dari sebelumnya.


Baca juga: Riset: dompet digital mendorong Generasi Z lebih konsumtif


Survei tahun 2020 dari lembaga riset pasar Ipsos Indonesia mencatat penggunaan dompet digital (e-wallet) sejauh ini didominasi oleh generasi millenial (kelahiran tahun 1980-1996) dan Gen-Z (kelahiran tahun 1997-2002).

Mereka tergiur berbagai promo seperti cashback, akumulasi poin belanja, dan berbagai teknik pemasaran lainnya. Pada akhirnya, ini juga bisa membuat masyarakat kurang hati-hati dalam mengatur pengeluaran pribadi.

Oleh karena itu, dampak positif uang elektronik terhadap pembangunan ekonomi juga perlu dibarengi dengan adanya literasi pengelolaan keuangan pribadi bagi masyarakat, khususnya kelompok anak muda.The Conversation

Pisi Bethania Titalessy, Dosen Program Studi Manajemen, Universitas Kristen Duta Wacana

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: