Ryan Febrianto, PUSKAPA; Andrea Andjaringtyas Adhi, PUSKAPA; Ni Luh Putu Maitra Agastya, PUSKAPA, dan Santi Kusumaningrum, PUSKAPA

Selama masa pandemi, pemerintah mengeluarkan sejumlah paket kebijakan bantuan sosial (bansos) baik berbentuk uang maupun sembako untuk membantu masyarakat rentan menghadapi dampak pandemi.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa program perlindungan sosial (termasuk bansos) memberikan dampak positif bagi masyarakat yang mengalami situasi krisis kemanusiaan, seperti bencana alam dan sosial.

Namun, situasi darurat seperti pandemi COVID-19 mempertegas bahwa kerentanan memiliki banyak dimensi dan dinamis.

Bisa jadi, bansos bukan solusi tunggal untuk memitigasi dampak COVID-19. Pemerintah juga perlu perkuat sistem perlindungan dan perawatan sosial.

Berbagai macam kerentanan

Kemiskinan tidak pernah berdiri sendiri, ia sering kali beririsan dengan berbagai risiko lain.

Kemiskinan bisa beririsan dengan hambatan akses pada layanan dasar, risiko diskriminasi, dan risiko saat terjadi bencana sosial, kesehatan, atau iklim.

Penelitian terbaru di Indonesia menguraikan bagaimana pandemi berdampak lebih besar pada kelompok anak tertentu.

Anak dalam keluarga miskin, yang belum tercatat dalam data administrasi kependudukan, difabel, serta anak yang mengalami stigma sosial mengalami lebih banyak hambatan dalam mengakses layanan perlindungan sosial dan kesehatan, baik sebelum apalagi dalam masa pandemi.

Anak dari keluarga miskin, misalnya, memiliki banyak keterbatasan untuk bisa mempraktikkan protokol kesehatan secara memadai. Kesulitan akses sanitasi layak dan air bersih dapat mengurangi daya tahan mereka dalam masa pandemi.

Belum lagi kondisi pra-pandemi, seperti belum terpenuhinya imunisasi dasar mereka, yang membuat mereka lebih rentan terpapar berbagai penyakit.

Layanan dasar dan perlindungan yang banyak beralih ke moda daring juga semakin sulit diakses kelompok rentan, padahal beberapa studi menunjukkan kemungkinan semakin tersembunyinya kekerasan rumah tangga.

Belum lagi fasilitas yang sangat terbatas untuk bisa memenuhi kebutuhan khusus anak difabel, bahkan sebelum ada pandemi.

Bagi anak-anak yang menghadapi risiko-risiko perlindungan dan kesejahteraan yang saling beririsan, terutama dalam pandemi COVID-19, bantuan sosial saja tidak cukup.

Perbaikan sistem

Armando Barrientos – profesor kemiskinan dan keadilan sosial di University of Manchester, Inggris – dalam laporannya untuk Asian Development Bank pada 2019, merekomendasikan agar program perlindungan sosial berfokus bukan hanya pada upaya bantuan sosial (social assistance) untuk melindungi masyarakat di situasi krisis, namun juga sebagai investasi sosial (social investment) jangka panjang dalam upaya mengatasi kerentanan sistemik di situasi krisis maupun non-krisis.

Alih-alih fokus pada cakupan bansos, pemerintah perlu memulai perbaikan jangka panjang dengan membangun sistem perlindungan dan kesejahteraan sosial yang adaptif terhadap guncangan berbagai bentuk krisis.

Cakupan penerima manfaat dari paket kebijakan sosial Indonesia untuk kelompok miskin, hampir miskin, sakit, atau kehilangan pekerjaan sebenarnya sudah cukup luas.

Namun, khususnya bagi anak, kerentanan sebagai akibat dari risiko-risiko yang saling beririsan perlu dipertimbangkan agar anak dan keluarga rentan yang mengasuh anak, lanjut usia (lansia), dan kelompok difabel dapat terlindungi.

Pembenahan yang bisa dilakukan

Kami merekomendasikan beberapa langkah awal pembenahan sebagai berikut.

Pertama, memperkuat metode identifikasi individu rentan dan manajemen data.

Studi yang kami lakukan tahun lalu pada pencegahan dan dampak pandemi bagi anak dan kelompok rentan menunjukkan beberapa alasan mengapa definisi “rentan” perlu diperluas.

Ukuran-ukuran yang selama ini digunakan seperti pendapatan, konsumsi, atau ada tidaknya kepala keluarga yang punya pekerjaan tetap, sudah baik.

Namun, parameter-parameter ini belum bisa menangkap risiko yang dihadapi kelompok rentan lain seperti anak-anak, difabel, lansia, termasuk difabel atau lansia bahkan anak yang juga mengasuh anak-anak. Demikian juga yang terkait dengan akses, seperti anak-anak, lansia, atau difabel yang tidak beridentitas hukum, dan sebagainya.

Akibat parameter yang terbatas, respons bisa menjadi tidak tepat dan kurang berdampak. Oleh karenanya, metode identifikasi kerentanan dan perhitungan risiko kesejahteraan harus terus dikembangkan.

Selanjutnya, tidak semua individu rentan terdaftar dalam sistem administrasi kependudukan. Ini bisa menghambat akses mereka pada layanan dan bantuan.

Pada 2019, diperkirakan ada hampir 6 juta anak di bawah 5 tahun belum memiliki akta kelahiran, dan sekitar 1 juta (lansia) dan 400 ribu difabel belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Dua dokumen ini saling terkait karena untuk individu baru lahir, NIK akan diterbitkan bersamaan dengan akta kelahirannya.

Di sisi pangkalan data, mereka yang tidak memiliki NIK kemungkinan besar tidak terlihat oleh sistem apa pun.

Anak yang belum tercatat kelahirannya bisa jadi tidak terdaftar dalam Kartu Keluarga (KK), sementara KK menjadi dasar pendataan dalam sebagian besar program pemerintah, termasuk bantuan sosial.

Di sisi individu, mereka yang tidak berdokumen akan kesulitan membuktikan identitas mereka untuk memenuhi syarat layanan dan bantuan.

Sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) harus lebih dioptimalkan dalam menemukan penerima manfaat bagi seluruh program perlindungan sosial.

Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi mencatat bahwa di Indonesia, data yang terkumpul tidak diperbarui dan masih mengalami kendala mekanisme verifikasi.

Pemerintah perlu memperkuat DTKS, termasuk keterbaruan dan mekanisme verifikasi data, serta menghubungkan individu yang tidak memiliki dokumen dengan layanan pencatatan sipil dan pendaftaran penduduk.

Pemerintah juga harus memperkuat layanan pencatatan sipil dan pendaftaran penduduk yang datanya terhubung dengan DTKS.

Kedua, memperkuat cakupan dan mekanisme penyediaan layanan perawatan sosial.

Kesulitan hidup yang meningkatkan risiko pada kelompok rentan tidak hanya kemiskinan. Oleh karena itu, bantuan sosial harus dibarengi layanan perawatan sosial.

Kementerian Sosial umumnya mengoordinasi layanan perawatan sosial dengan kolaborasi lintas kementerian lain dan lembaga di komunitas. Layanan biasanya berbentuk kunjungan rumah, pendampingan psikososial, pemberdayaan, dan rujukan pada layanan dasar pendidikan dan kesehatan. Bila diperlukan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengoordinasi perlindungan khusus dan manajemen kasus.

Semuanya bisa berjalan baik kalau kita punya pendamping, pekerja sosial, dan tenaga kesejahteraan sosial yang cukup, berkualitas, dan didukung dengan ekosistem yang menunjang.

Contohnya, melalui kunjungan rumah, pekerja sosial dapat mendeteksi risiko yang baru muncul di keluarga rentan – misalnya ada anak baru lahir yang belum tercatat – dan dapat segera memberi rujukan ke layanan administrasi kependudukan yang relevan dan membantu prosesnya. Atau merujuk pada sektor pendidikan jika ada yang tidak sekolah.

Jika pekerja sosial menemukan risiko kekerasan dalam rumah tangga, maka mereka segera dapat merujuk pada layanan perlindungan yang tepat.

Untuk jangka menengah dan panjang setelah pandemi, layanan dan perawatan sosial harus diperkuat mulai dari promosi, pencegahan, sampai dengan rehabilitasi.

Ketiga, memperkuat tenaga kerja di sektor sosial.

Jumlah dan kualitas pekerja sosial Indonesia belum memadai untuk melakukan penjangkauan dan pendampingan terkait pelayanan sosial.

Hanya ada sekitar 68 ribu tenaga kerja sosial yang bekerja di layanan pemerintah. Ini artinya, hanya ada delapan orang pekerja sosial yang menangani 10.000 anak.

Laporan berbagai program layanan sosial seperti Program Kesejahteraan Sosial Anak dan Program Keluarga Harapan menyatakan perlunya pembenahan dalam penguatan kapasitas, standar operasional prosedur kerja, serta penguatan jenjang karir dan prestise terkait pekerja sosial sebagai profesi penting di masyarakat.

Pemerintah perlu melakukan langkah teknis dengan melaksanakan penguatan pekerja sosial sesuai Undang-Undang (UU) No. 14 tahun 2019 tentang Pekerja Sosial, termasuk di antaranya rekruitmen dan perluasan sertifikasi pekerja sosial serta penguatan kapasitas dan keterhubungan pekerja sosial dengan beragam layanan yang dinaungi lintas sektor.

Tiga rekomendasi di atas dapat berdampak maksimal jika didukung oleh komitmen politik, koordinasi yang kuat di tingkat nasional dan daerah, serta pendanaan yang memadai.The Conversation

Ryan Febrianto, Research and Advocacy Associate, PUSKAPA; Andrea Andjaringtyas Adhi, Lead for Social Inclusion and Protection, PUSKAPA; Ni Luh Putu Maitra Agastya, Senior Researcher, Social and Child Protection, PUSKAPA, dan Santi Kusumaningrum, Director, Center on Child Protection and Wellbeing (Pusat Kajian & Advokasi Perlindungan & Kualitas Hidup Anak), PUSKAPA

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: