Luthfi T. Dzulfikar, The Conversation dan Yessar Rosendar, The Conversation

Sore ini (28/04), Presiden Joko “Jokowi” Widodo melantik pimpinan baru untuk tiga kementerian dan lembaga yang belum lama ini dibentuk.

Ketiga pimpinan tersebut adalah Laksana Tri Handoko untuk posisi Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasioonal (BRIN), Nadiem Makarim untuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud-Ristek), dan Bahlil Lahadalia untuk Kementerian Investasi.

Pembentukan ketiga lembaga baru ini tidak tanpa kontroversi dan kritik.

Beberapa akademi, misalnya, mengatakan pemisahan Kemenristek dari BRIN sehingga melebur dengan Kemdikbud memunculkan berbagai tantangan tata kelola kebijakan pendidikan maupun riset. Akademisi lain juga mengisyaratkan bahwa peleburan Kemenristek seakan-akan sekadar untuk ‘memberi ruang’ untuk kehadiran Kementerian Investasi.

Kami bertanya kepada beberapa akademisi untuk menjelaskan pilihan Jokowi untuk ketiga lembaga tersebut dan tantangan yang harus mereka hadapi ke depannya.

Mencegah BRIN menjadi lembaga “super-body

Berry Juliandi, peneliti biologi di IPB University dan anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)

Secara pribadi maupun sebagai ilmuwan, saya puas apabila Kepala BRIN dipercayakan pada Handoko. Ia merupakan seorang peneliti dengan latar belakang riset dan keilmuan yang sudah kuat bahkan sebelum menjabat.

Dari segi pengalaman administratif, pengalaman menjabat sebagai Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat Handoko sudah memahami kendala dan tantangan yang dihadapi peneliti di Indonesia. Ia juga banyak terlibat dalam kebijakan riset termasuk sewaktu penyusunan Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek).

Saya rasa ini kombinasi dua aspek yang bagus – bukan hanya ilmuwan yang tidak mengerti kebijakan, atau sekadar politikus yang mengerti administrasi tapi tidak paham iklim penelitian.

Namun, berbagai tugas berat kini menanti Handoko.

Yang pertama tentunya adalah menjawab kekhawatiran berbagai akademisi beberapa minggu terakhir terkait potensi BRIN menjadi lembaga “super-body yang mengatur segalanya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, hingga pengaturan dana riset.

Jika suatu badan terlalu banyak mengatur segala sesuatu, dan itu saling terkait, akan menjadi tidak efektif dan berpotensi melakukan banyak kesalahan maupun penyelewengan kekuasaan.

Oleh karena itu, kami mendorong BRIN di bawah kepemimpinan Handoko untuk merancang tata kelola riset dan inovasi di Indonesia dengan baik.

Menurut saya, Handoko harus memastikan bahwa BRIN fokus menjadi lembaga pelaksana riset dan inovasi yang terdepan di Indonesia.

Untuk kebijakan dan prioritas penelitian akan lebih tepat jika diserahkan pada Kemdikbud-Ristek.

Kemudian, untuk pengawasan kualitas pelaksanaan riset lebih tepat perannya diambil oleh komunitas ilmiah independen, atau lebih sering disebut “peer-review” (telaah sejawat).

Terakhir, untuk pengelolaan dana, kami berharap peran ini diberikan pada lembaga pendanaan independen seperti Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) atau lembaga lain yang serupa.

Pemisahan ini akan membuat tata kelola pelaksanaan riset menjadi lebih baik dan memastikan BRIN tidak menjadi lembaga yang memegang terlalu banyak kuasa.

Tugas raksasa Nadiem menyelaraskan kebijakan pendidikan dan riset Indonesia

Hali Aprimadya, kandidat doktor untuk kebijakan publik di Australian National University, Canberra

Pemilihan Nadiem menjadi Mendikbud-Ristek merupakan pilihan logis dan aman dari segi politik maupun administrasi publik karena ia merupakan anggota kabinet Indonesia Maju sejak awal.

Posisinya sebagai profesional dan bukan anggota partai membuat Nadiem lebih dapat diterima banyak pihak, dibanding jika Jokowi memilih orang dari partai atau kelompok tertentu seperti yang diisukan beberapa waktu terakhir.

Selain itu, pelantikan kembali Nadiem di lembaga yang sudah dia pimpin (setidaknya untuk direktorat terkait pendidikan dan kebudayaan) selama ini juga mengurangi risiko kocok ulang pejabat secara besar-besaran yang lazim dilakukan ketika seorang menteri baru dilantik yang bisa mengacaukan program pemerintah yang sudah berjalan.

Hal-hal di atas membuat kementerian ini dapat lebih memaksimalkan energinya untuk mencapai berbagai hal di sisa periode kabinet yang baru berjalan dua tahun ini.

Meskipun demikian, Nadiem juga menghadapi beberapa tantangan besar dalam mengintegrasikan riset dan teknologi ke dalam naungan kementeriannya.

Pertama, Nadiem harus memastikan jajaran timnya siap menyusun rencana strategis (renstra) di bidang pendidikan dan riset yang komprehensif namun mudah dipahami – ini penting mengingat renstra adalah acuan arah kebijakan sebuah kementerian.

Hal ini tentunya bukan pekerjaan mudah. Banyak pihak, misalnya, menganggap bahwa filosofi pendidikan dan filosofi riset jauh berbeda untuk digabungkan dalam satu arah kebijakan.

Apalagi dalam renstra Kemdikbud yang disusun di awal masa kepemimpinan Nadiem hanya sedikit sekali mengandung unsur riset dan teknologi.

Kedua, Nadiem juga harus didampingi dan memilih orang yang sangat paham tentang dunia riset dan teknologi di Indonesia.

Terlepas dari pernyataan Jokowi bahwa Kemdikbud-Ristek akan mengurusi penelitian di sektor pendidikan tinggi, kemudian BRIN mengurusi penelitian di sektor lainnya, menurut saya pemisahan semacam ini bukan hal yang mudah – apalagi ketika pembagian wewenang antara Kemdikbud Ristek dengan BRIN belum usai.

Oleh karena itu, penting bagi Nadiem untuk bisa merangkul orang-orang yang memiliki pengetahuan dan terlibat dalam pembuatan kebijakan riset – khususnya UU Sisnas Iptek – ke dalam kementeriannya.

Ketiga, Nadiem pun harus melakukan penyelarasan kebijakan dan program dengan Kepala BRIN yang baru, yakni Laksana Tri Handoko terlepas tata kelola akhir terkait riset yang nanti akan diputuskan.

Ini dilakukan untuk memastikan implementasi kebijakan dan program riset dan teknologi yang ada dan sudah berjalan tidak terganggu dengan adanya perubahan tata kelola yang cukup signifikan dan mendadak ini.

Menambah investasi yang berkualitas

Bhima Yudhistira Adhinegara, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Saya tidak meragukan kerja Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam mendorong masuknya investasi asing masuk ke Indonesia.

Tapi ketika pemerintah mengubah BKPM menjadi Kementerian Investasi yang dipimpin oleh Bahlil Lahadalia, saya mengharapkan Indonesia dapat menambah jumlah investasi berkualitas yang menyerap banyak tenaga kerja.

Perubahan ini hanya perubahan nama saja, karena pada dasarnya posisi BKPM sudah setara dengan kementerian. Perubahan nama ini hanya semacam branding yang akan membantu pemerintah ketika berhadapan dengan calon investor asing.

Perubahan signifikan yang terjadi adalah anggaran yang naik hampir 3 kali lipat tahun ini untuk Kementerian Investasi yang diharapkan bisa berdampak baik terhadap kinerja mereka.

Soal sosok Bahlil, kemampuannya dalam mengeksekusi investasi yang bermasalah memang cukup mumpuni. Hal tersebut tidak mengherankan karena Bahlil sebelumnya adalah pengusaha yang pernah menjadi ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) periode 2015-2019.

Tapi, kemampuannya untuk menangkap peluang investasi perlu diasah lagi.

Di bawah Bahlil, Indonesia kehilangan peluang masuknya investasi dari perusahaan mobil listrik Amerika Serikat, Tesla, karena gagal memenuhi standar lingkungan dan perlindungan tenaga kerja. Akibatnya, Tesla yang malah beralih ke India.

Tampaknya Indonesia belum menyadari bahwa permintaan perusahaan dari negara maju saat ini tidak hanya terkait dengan iklim berbisnis yang ramah, tapi mereka menuntut adanya pemenuhan standar lingkungan hidup, perlindungan hak pekerja, dan praktik antikorupsi yang kuat.

Memang, sejauh ini realisasi investasi cukup positif meski di tengah pandemi. Dari target Rp 817 triliun, realisasinya Rp 826,3 triliun atau melebihi target Rp 9 triliun.

Tapi yang jadi pekerjaan rumah selanjutnya bukan mencapai target nilai investasi tapi mendorong investasi yang menyerap tenaga kerja yang besar dan punya nilai tambah harus lebih dominan.

Meski nilai investasi tumbuh 4,3% pada triwulan pertama tahun ini, tapi total serapan kerja hanya 311.000 orang). Jumlah ini stagnan jika melihat periode yang sama tahun lalu yang hanya menyerap 308.000 pekerja.

Tahun lalu, nilai investasi dari dalam dan luar negeri pada sektor manufaktur yang paling banyak menyerap tenaga kerja hanya menyumbang 40% dari total investasi yang masuk. Padahal, lima tahun sebelumnya, angkanya bisa mencapai hampir 55%.

Untuk mengembalikan ke angka semula, Kementerian Investasi memerlukan kreativitas dan koordinasi lintas sektor yang mulus.The Conversation

Luthfi T. Dzulfikar, Associate Editor, The Conversation dan Yessar Rosendar, Business + Economy (Indonesian edition), The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: